Muhasabah

Kita Butuh Pemimpin Islam

Tanggal 7 Desember 2020 pagi, saya mendapat kabar ada salah seorang pejuang dakwah meninggal dunia.  “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” itu yang otomatis keluar dari mulut saya.

Doa untuknya pun segera saya mohonkan kepada Allah SWT, Pemilik nyawa semua makhluk-Nya.  “Ya Rabbana, hampir tiap hari berita kematian menghiasi lembaran WA grup,” saya bergumam.  Kematian sejatinya merupakan kejadian biasa.  Allah SWT berfirman (yang maknanya): Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Jika telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya (TQS al-A’raf [7]:34).

Allah SWT pun berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemadaratan dan tidak pula kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang Allah kehendaki.” Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika telah datang ajal mereka,  mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya (TQS Yunus [10]: 49).

*****

Brak! Suasana hening Indonesia tersentak.  Pada hari yang sama, beredar kabar ada 6 orang pengawal Habi Rizieq Syihab meninggal dunia.  Ditembak.  Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran dalam keterangan pers mengatakan bahwa tim polisi Polda Metro Jaya menembak mati 6 orang yang disebut pengikut Habib Rizieq Syihab (7/12/2020).

Ini kejadian bukan biasa, namun luar biasa.  Kecaman pun datang dari banyak pihak.   “Mendesak kepada pemegang otoritas kebijakan agar membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independent, guna mengusut secara transparan apa yang riil terjadi,” begitu salah satu bunyi pernyataan sikap NU Garis Lurus (7/12/2020).

“Tidak ada tembak menembak.  Yang ada adalah penembakan.  Ini merupakan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat,” ujar Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) dalam konferensi pers (7/12/2020), dengan nada berat dan bergetar.

Keterangan pihak Kepolisian yang berubah-ubah terkait penembakan membuat masyarakat bertanya-tanya atas kebenarannya. Apalagi apa yang disampaikan oleh Kepolisian dengan apa yang disampaikan pihak FPI berbeda.  “Tapi aneh, ya.  Kok ada orang yang justru mendukung pembunuhan itu.  Alasannya, mengganggu NKRI,” Pak Asep berkomentar.

“Iya, perkara penembakan pengawal Habib yang akan mengisi pengajian keluarga, kok tiba-tiba menjadi mengganggu NKRI.  Terlihat upaya pengalihan,” Kang Eman menanggapi.

Omongan itu keluar dari masyarakat biasa. Mereka mengerti apa yang terjadi. Hanya saja ada juga yang menyetujuinya.  Benar orang yang mengatakan, “Saya bisa mengerti apabila ada orang yang tidak setuju dengan HRS.  Tapi, saya tidak mengerti kalau ada orang yang setuju dengan tindak pembunuhan.”

Ya, berbicara darah manusia bukanlah main-main.  Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya betapa berharganya nyawa manusia. Membunuh seorang tak berdosa sama dengan membunuh manusia semuanya.  Kini, membunuh satu orang manusia sama dengan menumpahkan darah lebih dari 6 miliar orang penduduk bumi.  “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sungguh telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” Begitu makna firman Allah SWT dalam al-Quran Surat al-Maidah [5] ayat 32.

Rasululullah saw. menegaskan dalam sabdanya, “Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga golongan. Orang yang melakukan pelanggaran di tanah haram, orang yang mencari-cari tradisi Jahiliah padahal telah masuk Islam, dan orang yang menumpahkan darah seseorang tanpa alasan yang benar.” (HR al-Bukhari).

“Namun, presiden di negeri Muslim terbesar ini baru menyampaikan komentar seminggu setelah kejadian berlalu.  Seakan menganggap sepele,” ujar Kang Dede.

Memang, Presiden baru berkomentar pada 13/12/2020.  “Ingat, aparat hukum itu dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya,” kata Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor.   “Untuk itu, tidak boleh ada warga dari masyarakat yang semena-mena melanggar hukum yang merugikan masyarakat, apalagi membahayakan bangsa dan negara, dan aparat hukum tidak boleh mundur sedikitpun,” ujarnya.

Menanggapi hal ini, Munarman mengatakan, “Kami mengecam sikap dan ucapan dari Presiden Republik Indonesia yang justru memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan negara terhadap warga negara sendiri,” katanya dalam keterangan tertulis (15/12/2020).

Memang, jika dilihat dari ungkapannya, tak terlihat ada simpati apalagi bela sungkawa.  Warga yang ditembak, warga juga yang dinasihati jangan semena-mena melanggar hukum.  Sikapnya jelas, aparat hukum tidak boleh mundur sedikitpun.  “Jangan heran apabila setelah itu akan terjadi hal-hal yang membuktikan ungkapan itu,” begitu saya sampaikan kepada Pak Asep.

Benar saja, tudingan teroris terhadap organisasi Islam FPI mulai didengungkan. Kotak-kotak amal pun diawasi dengan dalih itu untuk pendanaan terorisme.  Tekanan terhadap umat Islam pun semakin terasa.  La hawla wa la quwwata illa bilLahil ‘Aliyil ‘Azhim.  Lagi-lagi, umat Islam yang ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah menjadi pihak tertuduh.

Menyaksikan hal ini, saya teringat kisah Umar bin al-Khaththab ra.  Saat itu beliau sebagai pemimpin kaum Muslim, khalifah.  Tinggal di Madinah.  Suatu ketika beliau bertutur, “Seandainya seekor keledai terperosok ke sungai di kota Baghdad, nicaya Umar akan dimintai pertanggungjawabannya dan ditanya, ‘Mengapa engkau tidak meratakan jalan untuknya?’”

Begitu simpatik sikap Umar bin al-Khaththab terhadap keselamatan seekor keledai yang nun jauh di sana. Jarak Madinah ke Baghdad lebih dari 919 km. Bisa dibayangkan, betapa besar tanggung jawab beliau terhadap kematian seekor keledai akibat kelalaiannya.  Sudah dapat diperkirakan betapa tanggung jawab dan simpati beliau terhadap nyawa seorang warganya yang tak berdosa sekalipun jauh di seberang sana. Itu untuk nyawa yang jauh. Apatah lagi bila nyawa itu ada di pelupuk matanya.  Siapa pun akan dapat membayangkan betapa berdukanya dan besarnya tanggung jawab Umar jika menghadapi hal itu.

Sayang, sosok seperti Umar bin al-Khaththab kini sudah tidak ada lagi.  Apa yang terjadi saat ini jauh bertolak belakang dengan sikap pemimpin Islam pada masa silam.  Ya, kita butuh pemimpin Islam.  Pemimpin yang berpihak kepada Islam dan menyayangi umatnya.

WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + eight =

Check Also
Close
Back to top button