Muhasabah

Masih Layakkah Politik Sekuler?

Perubahan.  Itulah yang beberapa waktu ini menyeruak.  Tuntutan perubahan menggema dimana-mana.  “Semua yang ada di alam ini berubah, kecuali perubahan itu sendiri.” Begitu isi adagium yang sangat terkenal.

Salah satu semangat perubahan itu muncul dalam Pemilu yang lalu.  Calon Presiden yang mengusung tema perubahan mendapat banyak sambutan.  “Setiap acara yang beliau hadiri selalu membludak.  Harapan perubahan dibebankan di pundaknya,” ujar Pak Jajang.

Berbagai halangan yang dihadapi berhasil dilewati hingga pencalonan.  Mulai dari penggagalan pencalonan, tuduhan kasus Formula E, penghalang-halangan kampanye, hingga dugaan diperlakukan secara curang.  Isu hak angket yang diharapkan dilakukan DPR juga menggema.  “Namun, aneh banget.  Partai-partai yang merasa dicurangi tidak bergerak untuk menggoalkan hal angket di DPR.  Semua diam,” komen Pak Jajang lagi.

“Ternyata yang bermain itu bukan hanya partai pro rezim. Partai-partai yang mengusung isu perubahan pun sama saja.  Suara para cendekiawan, kalangan kampus, budayawan, mahasiswa, emak-emak, buruh dan pihak-pihak lain yang menghendaki DPR menggulirkan hak angket tidak digubris,” Pak Hari menimpali.

“Padahal, hanya butuh 25 tanda tangan anggota DPR dari 2 partai berbeda.  Ringan sekali.  Namun, semuanya diam,” tambahnya.

Di tengah tuduhan curang, di tengah demo masyarakat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 20 Maret 2024 mengumumkan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.  Prabowo-Gibran dinyatakan menang dengan meraih suara 58,6%.  Satu putaran.  “Muncul keanehan lagi.  Pada saat tim hukum Anies-Muhaimin melaporkan kecurangan ke Mahkamah Konstitusi (MK), partai pendukung malah menerima putusan KPU.  Katanya, curang, kok putusannya diterima?” Pak Jajang keheranan.

“Nasdem menerima putusan itu, malah mengucapkan selamat kemenangan kepada Prabowo-Gibran.  Begitu juga PKS, meskipun belakangan dibantah.  Ehhh … Prabowo pun menemui Surya Paloh, Ketua Umum partai Nasdem.  Karpet merah pun digelar,” Pak Hari menimpali.

“Anies-Muhaimin kasihan.  Jadi korban politik.  Maju ke MK dengan ditinggalkan partai pendukung,” tambah Pak Hari.

Saya sampaikan, sebenarnya yang kasihan itu rakyat yang ingin perubahan.  Mereka tidak bisa menentukan calon pemimpin negaranya, karena yang menentukan calon adalah partai.  Pada saat “pertarungan” dalam Pemilu, masyarakat habis-habisan membela pihak dan partai-partai yang dianggap mengusung perubahan.  Setelah pencoblosan usai dan suara partai meningkat, rakyat konstituen pun ditinggalkan.  Dibiarkan berjuang sendiri.  Kongkalingkong pun tampak siap dilakukan.  “Partai Nasdem belakangan mesra dengan calon presiden (capres) nomor urut 2 yang juga pemenang Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto.  Padahal dalam Pilpres, Nasdem merupakan pengusung pasangan capres-cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kemesraan Paloh dengan Prabowo itu pun lantas disinyalir menyiratkan sinyal bergabungnya partai pimpinan Surya Paloh tersebut ke kubu pemenang pilpres,” tulis Kompas (25/3/2024).

“Cak Imin-Prabowo kan pernah tergabung koalisi meskipun tidak jadi. Dalam konteks itu Prabowo akan menyambangi Cak Imin untuk menjalin kebersamaan koalisi pemerintahan mendatang,” kata pengamat politik Ujang Komarudin (27/3/2024).

Saya sampaikan kepada beberapa aktivis dan tokoh, “Katanya tidak percaya kepada MK, tapi kok melaporkan gugatan Pemilu ke MK.  Hak Angket pun akan berakhir di MK, kok malah mendorong hak Angket.  KPU dituding curang, Bawaslu dituduh tidak adil, tapi hasil hitungan mereka kok disetujui dan diterima?  Bukankah realitas menunjukkan bahwa yang bermasalah bukan hanya rezim, melainkan juga partai-partai?” Bang Edy Mulyadi malah bertanya retoris,

“Memang masih percaya DPR?  Kalau saya tidak.”

Chandra Purna Irawan menyampaikan, “Peristiwa politik yang dipertontonkan kepada publik semakin membuktikan bahwa setiap detik bisa saja berubah sehingga wajar saja publik meyakini partai-partai politik sudah mengalami degradasi moral politik. Bukan lagi demi kemaslahatan rakyat dan kebaikan Bersama, melainkan kepentingan prihadi dan kelompok yang dikedepankan mengatasnama-kan rakyat.”

Ketua LBH Pelita Umat itu segera menambakan, “Kepentingan rakyat dan bangsa hanya sekadar menjadi jargon-jargon politik seperti ‘demi rakyat’, ‘demi kepentingan bangsa’, ‘demi kedaulatan’ dan lain sebagainya.   Pertanyaannya: Apakah benar bahwa hakikat para politisi untuk kesejahteraan rakyat atau sebaliknya; merebut dan membagi-bagi kekuasaan itu kepada pribadi per pribadi serta kelompok kepentingan?”

Beliau segera bertanya, “Sepertinya kita mesti memikirkan ulang, apakah politik sekuler masih layak untuk dipertahankan?”

“Tuhan saja mereka bohongi, apalagi rakyat,” ujar Bang Damai saat bicara tentang rezim saat ini.

Saya menangkap dari ucapannya itu bahwa kalau orang tidak lagi mengindahkan perintah dan larangan Allah SWT, dapat dibayangkan apa yang dia lakukan terhadap rakyat.  Kezaliman, ketidakadilan, perlakuan semena-mena dan diskriminasi akan terjadi.  Hukum bukan lagi panglima, melainkan menjadi alat kekuasaan.  Bahkan posisi negara hukum akan sirna digantikan oleh negara kekuasaan. Akibatnya, akan muncul seburuk-buruk kepemimpinan. Seperti sabda Nabi saw., “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian; kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian; kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim).

Sebaik-baik pemimpin akan lahir saat ia taat pada Allah SWT dan Rasulullah saw.  Makna firman Allah SWT dalam QS an-Nisa’ ayat 59 menyebutkan: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) serta ulil amri (pemimpin) di antara kalianu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.

Jadi, pemimpin dan kepemimpinan harus menyatu dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.  Bukan pemimpin dan kepemimpinan sekuler.  Benar kata Bang Chandra, “Apakah politik sekuler masih layak untuk dipertahankan?” WalLaahu alam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − 2 =

Check Also
Close
Back to top button