Muhasabah

Mematikan Cahaya Islam

Trias politica ambyar,” ujar Prof. Suteki dalam suatu acara online awal Juni 2020 lalu.  Para tokoh yang hadir pun mengamininya.  Ungkapan ahli hukum tata negara itu tentu tidak main-main.  Eksekutif, legislatif, dan yudikatif berasal dari kelompok yang sama.  Tidak ada lagi praktik sistem checks and balances.  Prinsip dalam pemerintahan di mana cabang kekuasaan pemerintahan terpisah, untuk mencegah tindakan oleh cabang kekuasaan lain yang melanggar peraturan perundang-undangan dan konstitusi, hanya isapan jempol.  “Bila ini terjadi, sudah dapat dipastikan penguasa itu otoriter,” ujar salah satu peserta.  Hasilnya, apa pun yang dikehendaki rezim akan berjalan dengan mulus.  Tanpa hambatan.  “Tidak mengherankan di tengah pandemi Covid-19, undang-undang (UU) yang menguasai hajat hidup orang banyak pun diketuk palu dengan gampang.  Misalnya, UU Minerba,” ujar Marwan Batubara.  Menurut Direktur IRESS ini, dengan UU tersebut para konglomerat dapat mengangkangi aset rakyat tersebut antara 20 hingga 30 tahun ke depan.  “Bayangkan saja, keuntungan para kontraktor tersebut sekitar Rp 28 triliun pertahun!” tambahnya.  “Para penyelenggara negara, ternyata memilih untuk bekerja bagi kepentingan segelintir konglomerat dan negara/pengusaha asing!” simpulnya.

Hal yang sama terjadi pada pengesahan UU no. 2 tahun 2020, atau dikenal sebagai UU Covid-19.  Dalam UU tersebut ditetapkan bahwa pejabat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.  Semua berjalan mulus.

Contoh lain, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).  RUU ini didesakkan agar segera disahkan dalam situasi pandemi Covid-19.  RUU itu disepakati sebagai inisiatif DPR.  Realitasnya, Ketua DPR berasal dari partai berkuasa.  Ketua Panja pun berasal dari partai penguasa.  Presiden pun berasal dari partai berkuasa.  Tinggal ketok palu, selesai.

Beruntung, masyarakat banyak bereaksi sehingga RUU tersebut belum disahkan.  MUI mengeluarkan maklumat (12/6/2020) yang menengarai ada upaya pihak komunis untuk menjadikan Pancasila sesuai ajarannya.  Maklumat tersebut juga menghimbau umat Islam di Indonesia agar bangkit dan bersatu menolak paham Komunisme.  “Kalau ada prediksi dari para pakar dunia bahwa Indonesia akan hancur lebur pada 2030, salah satu penyebabnya adalah RUU Haluan Ideologi Pancasila ini,” kata Sekjen MUI, Anwar Abbas (13/6/2020).

Muhammadiyah pun melakukan penolakan.  NU Garis Lurus dalam suatu meme-nya mengatakan, “Jika ada warga NU yang saat ini woles saja terhadap isu kebangkitan PKI maka NU Garis Lurus mengajak pencinta NKRI Berdaulat menghentikan kebangkitan si pengkhianat bangsa dan mengusir para pendatang gelap kaum komunis Tiongkok Cina.”

Prof. Daniel Mohammad Rosyid dalam kajiannya menyimpulkan, “Membaca konteks proses legislasi, serta dinamika hubungan internasional mutakhir, terutama pengaruh RRC di Indonesia dalam kerangka mencari lebensraum baru melalui OBOR, RUU HIP ini harus ditolak dan dicegah menjadi UU. UU HIP ini adalah Omnibus Law Cipta Rezim Otoriter ala Partai Komunis Cina (PKC) dengan melakukan amandemen atas UUD 2002 secara diam-diam tanpa mengikuti prosedur amandemen dengan memanfaatkan kondisi darurat Pandemi Covid-19.”

Terlihat jelas ada perbedaan yang tegas sikap Pemerintah dan trias politica-nya di satu sisi dengan masyarakat di sisi lain.   Penguasa ke utara, rakyat ke selatan.

“Bila ditelisik lebih jauh, banyak bahaya dalam RUU HIP ini.  Di antara hal utamanya adalah membawa Indonesia menuju ‘sekularisme radikal’.  Peran Agama diminimalisasi bahkan dinafikan,” ungkap Ismail Yusanto.  Lebih detail, Wahyudi al-Marokiy mengatakan, “Dalam Pasal 22, agama disetarakan dengan ruhani dan kebudayaan. Aspek ketuhanan diminimalisir.”

Ketua Pamong Institute ini menambahkan, “Pada Pasal 7 draft RUU HIP tersebut, Pancasila diperas menjadi ekasila, yaitu gotong-royong.  Pada satu sisi ini menggambarkan bahwa Pancasila itu tidak final. Pada sisi lain intinya adalah gotong-royong. Bukan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Agama itu dianggap sebagai produk budaya.  Dampaknya, agama tidak boleh dijadikan dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.”

“Hal ini sebenarnya tidak mengherankan.  Lihat saja, siapa pengusung utamanya.  Kan PDIP sebagai partai penguasa,” ujar Pak Maman.  “Tengok saja rekam jejaknya.  PDIP hampir selalu tidak setuju dengan pengesahan UU yang dianggap berpihak kepada umat Islam.  Misalnya, UU Pendidikan, UU Ekonomi Syariah, UU Jaminan Produk Halal untuk Obat dan Makanan, serta UU Pornografi,” tambahnya.

Perda yang dianggap berasal dari Syariah pun dianggap sebagai bertentangan dengan Bhinneka Tunggal Ika.  Bila dilihat dari hal tersebut, dapat dimengerti bila RUU HIP ini lahir dari rahim sikap anti Islam.

Manakala masyarakat menuntut penghentian pembahasan RUU HIP karena dianggap sarat dengan muatan Komunisme, Sekjen PDIP Hasto Kristanto (14/6/2020) malah melebarkan persoalan dengan mengatakan, “Perlu menambahkan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terhadap ideologi seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme, serta bentuk khilafahisme.”.

Ini makin menegaskan alasan sebenarnya, yakni memerangi ajaran Islam dengan menyamarkannya dengan istilah radikalisme dan khilafahisme.  Menarik apa yang disampaikan oleh ahli hukum tata negara, Prof. Suteki.  “Dua nomenklatur itu selalu diarahkan kepada umat Islam,” ujarnya.  “Kita ketahui bersama bahwa khilafah atau sistem kekhalifahan itu adalah ajaran Islam. Lalu, pantaskah ajaran Islam itu dikriminalisasikan?” tanyanya secara retoris.  Beliaupun menambahkan, “Demikian pula radikalisme yang hingga sekarang masih lebih bersifat nomenklatur politik dibandingkan dengan nomenklatur hukum. Ia hanya akan menjadi alat gebuk terhadap warga negara yang kritis dan berseberangan dengan rezim.”  Beliau pun menambahkan, “RUU HIP berpotensi menjadi perangkat membangkitkan kembali UU Subversi melengkapi UU ORMAS 2017 dan UU ITE 2018.” Jelas,

“Ini adalah paket komplit dari sebuah rezim yang beraroma otoritarianisme di tengah sistem demokrasi yang dibangun bersama,” simpulnya.

Upaya untuk mematikan cahaya Islam terus terjadi dengan segala kamuflasenya.

WalLahu a’lam. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − 18 =

Back to top button