Mengulang Sejarah Gemilang
Sejarah adalah pelajaran, ‘ibrah, sekaligus cermin. Semua peristiwa yang telah berlalu berubah menjadi sejarah. Apa pun yang terjadi pada masa lalu, itulah sejarah. Al-Quran mengisyaratkan pentingnya mengkaji sejarah. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” Begitu makna QS al-Hasyr ayat 18.
Masa lalu tidak boleh dilupakan ataupun ditinggalkan. “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah! ” Begitu pidato kepresidenan Bung Karno yang disampaikan pada 17 Agustus 1966.
“Pihak PDIP dan rezim sekarang ngotot untuk menerapkan Pancasila 1 Juni,” ujar Pak Amirsyah. “Kalau itu dasarnya, berarti bisa diperas menjadi 3 sebagai trisila, bahkan menjadi satu unsur saja ekasila, yakni gotong royong,” tambahnya.
Pada sisi lain, mayoritas tokoh Islam menghendaki kelahiran Pancasila itu 18 Agustus 1945. Dengan demikian, akarnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak dapat diperas-peras. “Piagam Jakarta pun menjadi jiwanya. Artinya, penerapan syariah Islam di Indonesia itu konstitusional,” ujar Tengku Zulkarnaen.
Ini adalah satu contoh, pentingnya sejarah. Tarik menarik kepentingan. Hakikat sejarah pun diperebutkan.
Sejarah bergantung pada siapa penulisnya dan dari kaca mata siapa melihatnya. “Hanya saja, sejarah itu umumnya ditulis oleh pemenang. Sesuai dengan kehendaknya,” kata Kang Wahid.
“Ya, benar. Sejarah sering merupakan the second hand reality. Realitas tangan kedua. Bergantung pada siapa penulisnya,” ungkap saya.
Untuk itu, penting meluruskan sejarah. Saya menjadi teringat akan perkataan Prof. Mansyur Suryanegara saat shilah ukhuwah Idul Fithri. Beliau menyampaikan bahwa sejarah umat Islam banyak ditutupi dan dibelokkan. “Karenanya perlu pelurusan sejarah. Sejarah perlu ditulis ulang,” ujar ahli sejarah tersebut.
Beberapa pekan lalu di jagad dunia maya sedang ramai promosi film Jejak Khilafah di Nusantara alias JKDN. Sebuah film dokumenter yang menggambarkan hubungan Nusantara dengan Kekhilafahan Islam. Kesultanan-kesultanan Islam di berbagai penjuru Nusantara pada masa lalu ditelaah apakah berhubungan dengan Kekhalifahan. “Berbagai kesultanan Islam di Indonesia berkaitan dengan Kekhilafahan Islam kala itu. Bahkan, pengesahannya dilakukan oleh khalifah atau utusannya. Hanya saja dari segi penerapan hukum dan pengaturan masyarakat, kesultanan-kesultanan itu bersifat independen atau otonom,” kata Buya Tengku Zulkarnain yang sering disebut BTZ tersebut.
Film itu sendiri ditayangkan perdana pada 1 Muharam 1442H, bertepatan dengan 20 Agustus 2020M. Tentu, ini sebuah terobosan baru yang patut diapresiasi dan dihargai. Sebuah karya luhur dari generasi Islam milenial.
Hanya saja, belum juga tayang, film ini diterjang isu negatif dari segelintir orang. Bahkan ada yang menuduh berisi kebohongan. Nyinyir. “Aneh. Bulan lalu Kementerian Agama menghapus ajaran khilafah dan jihad dari kurikulum Pendidikan agama Islam dalam buku-buku SMP dan SMA. Lalu diubah menjadi sekedar pelajaran sejarah,” Muhammad Ismail Yusanto menanggapi. “Sekarang ada generasi muda yang membuat film berisi sejarah terkait jejak Khilafah di Nusantara, eh sudah ribut duluan. Tayang saja belum, nonton saja belum, kok sudah menuduh macam-macam,” tambahnya. “Padahal di dalamnya berisi bukti-bukti sejarah, pendapat pakar dan ilmuwan sejarah, dan referensi-referensi sejarah,” beliau menambahkan.
Barangkali pikiran-pikiran sempit dan sikap nyinyir seperti itu tidak perlu terlalu diperhatikan. Betapa tidak. Peluang besar pikiran itu lahir dari sebuah keangkuhan, kesombongan atau kekotoran hati. “Kata Nabi kita yang mulia, Rasulullah saw., al-kibru batharul haq wa ghamthun nas,” ungkap saya. “Kesombongan itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain,” saya sampaikan terjemahannya. “Bagi seorang ilmuwan, bila memang sesuatu pendapat dipandang tidak pas maka dilawan dengan pendapat lagi. Pemikiran lawan pemikiran, buku lawan buku, film lawan film, dan sebagainya,” tambah saya.
“Fitnah yang dilakukan tidak lebih hanya merupakan bukti kekalahan intelektual,” ungkap Kiyai Hafidz Abdurrahman.
Prof. Suteki berkomentar, “Jejak Khilafah tentu banyak versi dan mesti ada verifikasi dengan berbagai pihak. Pro-kontra pasti terjadi dan pembuat film harus siap dengan segala risiko,” tegasnya.
Cendekiawan yang dikenal tegas dan berani ini menambahkan, “Khilafah akan tetap menandai jejaknya bersama para pengemban dakwah yang gigih, tak kenal lelah dan kalah. “Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani,” pungkasnya mengutip pepatah Jawa.
Benar kata seorang teman, “Biarkan penonton sendiri yang menilainya.”
Begitulah sejarah. Apa yang terjadi saat ini, pada masa depan akan menjadi sejarah. Sebut saja, hiruk-pikuk dan gelegar JKDN sekarang akan menjadi catatan sejarah pada beberapa tahun ke depan.
Dulu Rasulullah saw. dan para sahabatnya berjuang, merencanakan, mengorganisasikan, melakukan, mengontrol dan mengevaluasi, menempuh sunnatullah sabab-musabab. Tak lupa mereka senantiasa berdoa kepada Allah SWT. Terjadilah hijrah, peradaban Islam terbangun. Para sahabat dan para khalifah sesudahnya melanjutkan. Kini, semua itu menjadi sejarah.
Dengan demikian kita bercermin pada sejarah. Lalu kita berjuang untuk Islam, umatnya dan umat manusia umumnya dengan bercermin pada sejarah masa lampau tersebut. Bukan sekadar bercermin, namun juga untuk merenda sejarah masa mendatang. Insya Allah peradaban Islam akan kembali berjaya.
Mengutip pernyataan James Burke, “Why should we look to the past in order to prepare for the future? Because there is nowhere else to look.” Sejarah masa depan bergantung pada perbuatan, perjuangan dan karya kita kini dan di sini.
So, tugas kita adalah membuat kembali sejarah gemilang. [Muhammad Rahmat Kurnia]