Ramadhan, Islam dan Kekuasaan
Pemilu 2024 Februari ini curang. Mulai dari pra pencoblosan, saat pencoblosan dan setelah pencoblosan,” ujar Bang Muslim Arbi.
Direktur Gerakan Perubahan itu menambahkan, “Sangat brutal. Bagaimana bisa suara rakyat sebagai suara Tuhan dipermainkan seperti itu.” (9/3/2024).
Sebagaimana tersebar luas di media sosial, guyuran bantuan sosial alias bansos sebanyak Rp 496,8 triliun disinyalir terkait keberpihakan Presiden kepada salah satu calon presiden (Prabowo Subianto) dan calon wakil presiden (Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo). Hal ini disebabkan pencairannya yang berdekatan dengan tanggal pelaksanaan pencoblosan. Saat pencoblosan banyak dikabarkan ada pencoblosan kartu suara sisa, pengerahan pejabat untuk mementangkan salah satu calon, dan sebagainya. Bahkan beberapa ahli IT membongkar sistem algoritma Sirekap. Hasilnya menyatakan sistem tersebut menguntungkan calon tertentu dengan mematok prosentasi kemenangan 58%. Wow. Tak heran muncul seruan agar DPR mengajukan hak Angket. Namun, tampaknya partai-partai dan para anggotanya enggan melakukannya. “Masuk angin,” simpul Bang Arbi.
Itu Pemilu tahun 2024. Saya bertanya kepada Bang Arbi, “Bagaimana Pemilu tahun 2019?’
Beliau menjawab, “Sama.”
“Pemilu sebelumnya?” kejar saya.
“Sama juga,” jawab beliau.
“Pemilu sebelumnya lagi, bagaimana, Bang?” desak saya. Beliau pun menjawab, “Sama juga.”
Saya katakan kepada beliau, “Bila dari Pemilu ke Pemilu mirip-mirip seperti itu, mengapa masih tetap berputar di tempat yang sama? Mengapa tidak mencari jalan lain?”
Rudi nimbrung sambil mengelus dada, “Iya juga sih. Sudah tahu MK seperti itu, Ketuanya itu Pamannya Gibran. Mengapa juga mengajukan kecurangan rezim kepada MK? Hak Angket pun ujungnya bergantung pada putusan MK. Gila ini!”
“Sudah terlalu banyak masukan dan pernyataan sikap dari rakyat. Semuanya tidak digubris oleh Presiden Jokowi,” ucap Edy Mulyadi.
Tak heran, menantu Bung Hatta, Prof. Sri Edi Swasono, menegaskan, “Sudah saatnya TNI menyatakan negara dalam bahaya. TNI harus menegur Presiden. TNI harus bergerak. Jangan diam saja!” (11/3/2024). Tampak kemuakkan memuncak.
Saya lihat, penyebab utama terjadinya hal ini adalah cara pandang sekuler. Memisahkan agama dengan kehidupan masyarakat dan negara. Agama tidak boleh ikut campur. Islam ditempatkan cukup di masjid. “Mengapa ya, para tokoh dan pemimpin partai yang periode sebelumnya sama-sama satu perahu dalam rezim, sekarang kok berbeda?” ujar Rudi.
Saya bilang, “Coba tengok baik-baik. Dulu juga berhadapan. Saling membongkar aib. Eehhh, ujungnya gabung dalam satu rezim.”
Merespon hal itu Rudi mengatakan, “Sekarang juga kayaknya sama. Para pihak yang berlawanan nanti akan saling berangkulan. Yang penting bagi-bagi cuan dan jabatan. Suara rakyat? Siapa peduli. Istilah remaja tahun 90an EGP. Emang gua pikirin.”
“Ketika menghadapi pihak-pihak yang hendak menerapkan ajaran Islam, mereka saling merapat. Cap radikal-radikul keluar dari mulutnya. Mereka menyatu saat berhadapan dengan kekuatan Islam. Namun, ketika berebut kepentingan sesamanya, mereka ribut sendiri,” ujar saya.
“Saya jadi paham. Kalau suara rakyat saja diabaikan apalagi kebutuhan rakyat. Sesuatu yang mereka perlukan saja, suara, mereka sepelekan. Apalagi kebutuhan masyarakat yang bukan keperluan mereka,” pungkas Rudi.
“Firman Tuhan saja mereka tidak pedulikan. Apalagi suara rakyat,” kata Muslim Arbi lagi.
“Slogan suara rakyat suara Tuhan, Vox populi vox Dei, tak lebih dari kepura-puraan. Toh, penentu kemenangan dalam demokrasi bukan suara rakyat, melainkan penghitung suara,” tegas saya.
“Iya. Penentunya KPU. Bukan rakyat. Rakyat yang menjadi korban,” sahut Bang Arbi. Jangan berharap keadilan datang dari demokrasi.
“Di situlah pentingnya agama disatukan dengan kekuasaan,” Rudi menyahut lagi.
Saya menyampaikan, ada sebuah pernyataan dari Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Beliau pernah mengatakan, “Ad-Diiin wa sulthaanu taw-amaani. Agama (Islam) dan kekuasaan itu saudara kembar. Ad-Diinu uss[un] wa as-sulthaanu haaris[un]. Agama (Islam) itu dasar/pondasi dan kekuasaan itu penjaga. Maa laysa lahu uss[un] fa mahdum[un] wa maa laysa lahu haaris[un] fa dhaai’[un]. Apa saja yang tidak punya dasar niscaya roboh dan apa saja yang tidak memiliki penjaga niscaya hilang.”
Pernyataan itu mengandung makna bahwa kekuasaan haruslah didasarkan pada Islam. Kekuasaan haruslah menerapkan hukum syariah Islam. Jika tidak, apa yang terjadi saat ini merupakan keniscayaan. Saat Islam tidak dijadikan landasan, muncullah krisis multidimensi, mulai dari psikologis hingga ke politik dan ekonomi. Pada waktu kaum Muslim tidak memiliki negara yang menerapkan Islam, hilanglah banyak kekayaan. Kekayaan akidah didangkalkan. Kekayaan seperti hutan, laut, nikel, batubara, minyak, gas, dan lainnya hilang, bahkan diserahkan kepada asing. Kawula muda sebagai bonus demografi pun terancam kerusakan akhlak. Umat Islam, saat tidak menjadikan Islam sebagai pondasi, akan roboh; dan saat tidak memiliki kekuasaan yang menjaga, akan banyak kehilangan.
Memadukan Islam dengan kekuasaan sebagai saudara kembar, momentumnya ada pada bulan Ramadhan yang tengah dijalani saat ini. “Bagaimana logikanya?” Tanya Rudi. Dulu, Rasulullah saw. membangun peradaban manusia berdasarkan al-Quran. Sebagaimana diketahui, al-Quran pertama kali diturunkan kepada beliau saw. pada bulan Ramadhan. Dikenallah hingga kini malam Nuzulul Quran. Sejak itu, beliau terus berjuang untuk menegakkan ajaran Islam. Tak kenal lelah. “Irtah, ya Ibnu ‘Am. Istirahatlah, wahai anak pamanku,” seru Khadijah ra.
Rasulullah saw. segera menjawab, “Laa raahata ba’da al-yawm, yaa Khaadijah. Tidak ada waktu untuk istirahat sejak hari ini, wahai Khadijah.”
Bukan hanya itu. Ketika kekuasaan Islam di Madinah sudah terwujud, dua tahun setelah hijrah, tepatnya Ramadhan tahun 2H, terjadi Perang Badar. Pasukan Rasulullah saw. yang hanya 313 orang menghadapi kafir Quraisy yang berjumlah 1000 dengan peralatan lengkap. Kala itu beliau mengadu kepada Allah SWT, “AlLahumma, in halaka hadzih al-‘ishaabah al-yawm, laa tu’bad ba’da al-yawm. Ya Allah jika kelompok kecil ini binasa hari ini maka Engkau tidak akan disembah setelah hari ini.”
Ini adalah ungkapan yang menyatukan Islam dengan kekuasaan. Allahu Akbar. Belum lagi Futuh Makkah terjadi pada Ramadhan tahun 8H. Negeri Makkah yang dulunya pusat syirik diubah menjadi pusat iman; yang semula pusat keangkuhan dan kesombongan diubah menjadi masyarakat Islami berbasis tauhid. Ramadhan sejatinya menjadi momen pertobatan dari penerapan sistem jahiliyah, sekaligus momentum penyatuan Islam dan kekuasaan berbasis ketakwaan.
WalLaahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]