Muhasabah

Renungan

Tiga periode.  Istilah itu mencuat begitu saja.  Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Ketua Partai Golkar dan Ketua Partai Amanat Nasional tiba-tiba menyuarakan presiden tiga periode.  Padahal di dalam UUD ditetapkan jabatan Presiden hanya boleh dua periode.  Sontak saja reaksi pun datang.  “Ini makar,” kata Bang Eggi Sudjana.  “Wong di UUD jelas-jelas dua periode, kok,” tambahnya.

Sikap Presiden sendiri terkait wacana penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan 2-3 tahun jelas.  Namun, terkait 3 periode belumlah jelas.  Presiden Jokowi menolak dengan tegas dan mengatakan bahwa isu tiga periode tersebut dicetuskan oleh orang-orang yang hendak menjerumuskan dia, mempermalukan dirinya atau cari muka di depannya (Kompas, 2 Desember 2019).

Lalu Presiden mengatakan kalau dirinya tidak berminat menjadi presiden tiga periode (Maret 2021).  Berikutnya, melonggar, dia menyampaikan wacana penundaan Pemilu tidak bisa dilarang. Sebab, hal itu bagian dari demokrasi (Kompas, 5 Maret 2022). Dia pun menganggap tiga periode itu keinginan masyarakat (CNN Indonesia, 30/3/2022). Bahkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan bahwa amandemen UUD terkait presiden tiga periode tidak tabu. UUD bukan kitab suci (CNN Indonesia, 6/4/2022).

Mahasiswa pun segera melawan.  Demo dilakukan pada 1/4/2022, dilanjutkan 11/4/2022.

Ada beberapa hal yang menarik direnungkan.  Di antaranya pernyataan Menteri Dalam Negeri bahwa UUD bisa saja diubah atau diamandemen sebab ia bukan kitab suci.  “Dulu juga, Ketua MPR bilang bahwa UUD memang bukan kitab suci, bisa diubah,” sambut Pak Bachtiar.

Ya, pernah ia mengatakan itu.  “UUD 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan (amendemen),” kata Bambang Soesatyo (Bamsoet) saat berpidato di acara peringatan Hari Konstitusi sekaligus perayaan HUT ke-76 MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (CnnIndonesia.com, 18/8/2021).

“Ini sebenarnya sebuah pengakuan yang jujur.  Yang tidak boleh diubah itu hanya kitab suci,” Pak Yuli berkomentar.  “Karenanya, yang harga mati itu kitab suci.  Bukan yang lain.  UUD bukan harga mati.  NKRI juga bukan harga mati,” tambahnya menjelaskan berapi-api.

Saya katakan kepada beliau, “Semua buatan manusia itu fana.  Termasuk peraturan buatan manusia. Pasti banyak kelemahan dan kekurangan.  Semua bisa berubah.”  Saya lanjutkan, “Berbeda dengan al-Quran yang merupakan firman Allah SWT.  Tidak mengandung kebatilan dan tidak dapat dimasuki kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.  Sebab, al-Quran merupakan kitab suci yang datang dari Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji sebagaimana disebutkan di dalam surat Fushilat ayat 42.”

Pak Yuli berkomentar, “Hanya saja, semuanya demi kepentingan.  Digunakanlah standar ganda.  Jika yang melakukan perubahan mereka dan untuk kepentingan mereka disebutlah itu ‘tidak tabu’.  Namun, bila para aktivis Islam ingin menerapkan Islam secara kaaffah teriaklah mereka ‘Itu radikal.  Ingin mengubah UUD’.  Tidak jujur.  Tidak konsisten.”

Hal lain yang menarik direnungkan adalah sikap masyarakat.  Sekalipun yang melakukan demo penolakan di lapangan itu adalah mahasiswa, dukungan dari masyarakat cukup besar. Media sosial dibanjiri oleh dukungan itu.  Mulai pelajar, buruh, purnawirawan, hingga emak-emak.  Tampaknya, tudingan radikal, intoleran dan cap negatif lainnya sudah tidak mempan.  Sejak lama, Prof. Suteki menyampaikan guyonan bahwa radikal itu ramah, terdidik, dan berakal.  “Kita itu memang harus radikal.  Radikal dalam pemahaman Islam.  Dalam arti Islam itu dipahami mulai dari akarnya dan diterapkan mulai dari akarnya,” ungkap Pak Bahruddin.

Intelektual itu menambahkan, “Kalau dituduh macam-macam itu wajar.  Nabi saw. saja yang tidak ada cacat dan cela dicaci maki, dicap gila, tukang sihir.  Apalagi kita yang bukan siapa-siapa.”

Saya katakan kepada beliau dan forum pada waktu itu, “Barangkali tudingan negatif itu cukup untuk kita ketahui, namun tidak perlu dimasukkan ke hati. Abaikan saja.  Sebab, orang-orang yang menuding negatif itu justru bisa lebih buruk daripada tudingannya itu.”

Pak Bachtiar menyambut, “Oh iya, saat dedengkot liberal ada yang mukul saat aksi mahasiswa 11/4/2022 itu, ada orang yang bilang dia korban radikalisme.  Namun, omongan-omongan sang dedengkot yang mengandung kebencian dalam banyak postingannya tidak pernah mereka sebut radikal.”

“Benar. Tudingan radikal itu hanya bahasa politik untuk membungkam para pengemban dakwah Islam.  Jadi, lupakan saja.  EGP, emang gua pikirin,” susulnya menggebu-gebu.

“Cacian apapun tak dapat menghentikan laju gerak perjuangan Islam,” komentar Pak Khudoro.

Mantan pengikut Arqam itu menambahkan, “Hukum Allah pasti tegak.  Kini, Islam itu dirindu dan ditunggu.”

“Hanya saja, kita perlu menjelaskan Islam yang sebenarnya.  Banyak orang yang baru paham Islam hanya kulitnya saja,” ujar Pak Machdarizal.

Hal lain yang perlu direnungkan adalah mengapa penguasa didemo oleh mahasiswa.  Secara kasatmata terlihat karena memaksakan kehendak untuk berkuasa tiga periode. Padahal UUD 1945 menetapkan hanya dua periode saja.

Selain itu, harga-harga naik.  Minyak goreng langka dan mahal, BBM naik, pajak melonjak, kebijakan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.  Perilaku juga demikian.  Ada gubernur yang mengaku biasa nonton film porno. Ada anggota DPR yang ketahuan nonton film porno saat rapat.  Menyesakkan.

Ada penjelasan menarik dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihyaa’ ‘Uluumiddiin.  Beliau mengatakan, “Fasadu ra’ayaa bi fasadil muluuk, wa fasadil muluuk bi fasadil ‘ulamaa, wa fasadul ‘ulamaa bi istila-i hubbil hayaati wal maal (Rusaknya masyarakat karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama karena mencintai kehidupan (dunia) dan harta.”

Realitas itu kini tampak di depan mata.  “Kalau kita dituding radikal atau tudingan negatif lain, ini berarti kita ini ditakuti,” ungkap Pak Sudarto.

“Kalau kita ditakuti, kita harus bangkitkan kekuatan.  Mari bersatu.  Wujudkan kepemimpinan yang adil dan mandiri, bukan boneka,” tambahnya.

WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 3 =

Back to top button