Toleransi Semu
Toleransi semu. Itu barangkali kata yang pas untuk menggambarkan kejadian-kejadian belakangan ini. Imbauan saling menghargai dan tidak saling menghina terlihat manis di mulut. Realitas menggambarkan kondisi sebaliknya. Ironis. “Masa ada pendeta yang menyerukan 300 ayat al-Quran dihapus, Ustadz. Ini jelas-jelas pelecehan dan penghinaan,” Kang Uus kesal.
Dia mengungkapkan kekesalannya itu kepada saya usai suatu acara. Barangkali yang dia maksudkan adalah kasus Pendeta Syaifuddin Ibrahim alias Abraham ben Moses. Pada awal 14 Maret 2022, dalam video yang viral, dia mengatakan, “Inilah menteri agama yang sangat toleran terhadap kaum minoritas…Bahkan jangan sekadar mengatur suara azan, atur juga kurikulum yang ada di madrasah, tsanawiyah, aliyah dan perguruan tinggi. Karena sumber kekacauan itu adalah dari kurikulum yang tidak benar.”
Ia melanjutkan permintaan kepada Menteri Agama, “Bahkan, kalau perlu, Pak, 300 ayat yang menjadi pemicu intoleran, pemicu hidup radikal, membenci orang lain karena beda agama itu diskip atau direvisi atau dihapuskan dari al-Quran Indonesia. Ini sangat berbahaya sekali.”
Ia juga menambahkan, “Ini yang menjadi perhatian saya agar ayat-ayat al-Quran yang keras itu tidak diajarkan di pesantren ataupun madrasah-madrasah di Indonesia, agar tidak menghancurkan bangsa kita. Karena mereka yang sudah kena radikal. Apa saja yang ada di depan mereka, mereka labrak, mau menghancurkan dirinya sendiri. Padahal, kita sadari selama ini semua teroris itu datangnya dari pesantren. Tidak ada teroris itu datang dari sekolah Kristen. Nggak mungkin….”
Wajar belaka, reaksi pun segera bermunculan. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsjah Tambunan berkomentar tegas. “Kami meminta Kepolisian agar mengusut pernyataan Syaifudin Ibrahim yang sudah pernah di penjara sebagai penista agama, agar diberi hukuman lebih berat, sehingga ada efek jera,” ujarnya (14/3/2022).
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 2019-2024 Hidayat Nur Wahid menyatakan, “Akan potensial menimbulkan kegaduhan dan kemarahan umat Islam. Oleh karenanya, sepantasnya penegak hukum segera bertindak cepat menangani radikalisme dan delik penistaan agama Islam yang dilakukan oleh penceramah ini.” (15/3/2022).
Mahfud MD meminta agar pendeta tersebut segera diperiksa. Dalam laman Youtube Kemenko Polhukam (16/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) mengatakan, “Waduh itu bikin gaduh itu. Itu bikin banyak orang marah. Oleh sebab itu, saya minta Kepolisian itu segera menyelidiki itu”.
Ketua Umum PA 212 Slamet Maarif menyatakan, “Kepolisian harus kejar dan tangkap tuh pendeta sebelum umat yang kejar dan tangkap. Itu bukan delik aduan. Bisa langsung ditangkap.”
Pada zaman Rasulullah saw. pernah ada kejadian orang kafir Quraisy meminta didatangkan al-Quran yang lain yang selama ini disampaikan Rasulullah saw. Hal ini terdapat di dalam QS Yunus ayat 15 (yang artinya): Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sungguh aku takut jika mendurhakai Tuhanku atas siksa hari yang besar (kiamat).” (TQS Yunus [10]: 15).
Tampak jelas sikap beliau sangat tegas.
Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa ada yang lancang menyampaikan permintaan penghapusan 300 ayat al-Quran itu? Kang Uus semangat menjawab, “Mungkin karena menurut dia begitulah toleransi itu.”
Pak Ferdi yang biasanya diam turut menimpali, “Mungkin karena menteri agamanya dianggap toleran.”
“Yang saya lihat di media sosial pendeta itu menyebutkan ‘Inilah menteri agama yang sangat toleran terhadap kaum minoritas’. Ini mengisyaratkan keyakinannya bahwa Menteri Agama akan menunaikannya dengan dalih toleransi,” kata saya.
Meski demikian, realitasnya pihak Kementerian Agama menolaknya. “Atau mungkin itulah yang dia maksudkan tentang toleransi, melindungi minoritas dan menjauhkan umat Islam yang mayoritas dari ajaran agamanya,” tambah Pak Ferdi.
“Semua kemungkinan bisa saja. Apalagi pada awal tahun 2022 Kemenag mencanangkan tahun 2022 sebagai tahun toleransi,” kata saya.
“Kejadian-kejadian belakangan ini boleh juga menjadikan orang-orang makin berani menista ajaran Islam, Ustadz,” ujar Kang Uus.
“Bisa dijelaskan apa maksudnya?” tanya saya.
“Lihat saja pengeras suara untuk azan di masjid dan mushala diatur, sementara pengeras suara di tempat ibadah lain tidak. Tersebar berita masjid dan pesantren didata mana yang radikal, sementara tempat ibadah dan sekolah agama lain tidak ada pendataan yang radikal. Istilah penceramah radikal kok ciri-cirinya mengarah ke ustadz-ustadz, sementara ke penceramah keagamaan yang lain tidak. Banyak dah…,” jawabnya.
“Pendeta yang mengusulkan 300 ayat al-Quran dihapus juga tidak ada pejabat yang menyebut dia pendeta radikal. Coba kalau ada ustadz yang mengusulkan 300 ayat kitab suci agama lain dihapus sudah dijamin jagad raya ini heboh dengan julukan ‘ustadz radikal’,” Pak Ferdi menambahkan dengan semangat.
Jika para penista Islam dianakemaskan, jangan heran islamophobia akan semakin semarak. Tentu, ini berbahaya bagi kehidupan masyarakat.
Rupanya penghapusan sebagian ayat al-Quran ada yang memandangnya sebagai toleransi. Ya, toleransi semu.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]