Al-Ghuraba (Bagian 1)
Islam datang pertama kali terasing di tengah-tengah kaum musyrik dengan kesyirikannya. Islam pun kembali terasing di tengah-tengah umat yang tak memahami Islam dan mengabaikannya. Beruntunglah mereka yang terasing demi menegakkan Islam. Abu Hurairah ra. bertutur bahwa Rasulullah saw. bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam pertama kali datang terasing dan akan kembali terasing sebagaimana permulaannya. Karena itu beruntunglah mereka yang terasing (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).
Dalam riwayat ‘Abdullah bin Mas’ud ra. dirinci: Ditanyakan, “Siapa yang dimaksud al-ghurabâ’?” Rasulullahsaw. menjawab:
النُّزَّاعُ مِنَ الْقَبَائِلِ
Mereka yang terpisah dari kaumnya (HR Ahmad, Ibn Majah dan ad-Darimi).
Hadis yang sarat makna ini menggambarkan uslub pendidikan yang sangat baik dari Rasulullah saw. (al-îdhâh ba’da al-ibhâm). Lafal gharîb[an] adalah hâl (keterangan) yang menunjukkan keadaan permulaan Islam dan kembali terasing pada akhir zaman sama seperti permulaannya dengan adanya penyerupaan (tasybîh) “kamâ bada’a”. Beruntunglah mereka yang terasing. Kiasan (al-majâz al-mursal) di balik kalimat fathûbâ li al-ghurabâ’ menyebutkan risiko (menjadi kaum terasing). Namun, yang dimaksud adalah sebab keterasingan itu sendiri; beruntung karena berpegang teguh pada Islam (ithlâq al-musabbab wa irâdat al-sabab). Kata thubâ adalah bentuk pujian. Ini merupakan bentuk fu’lâ dari ath-thayyib (kebaikan), bermakna meraih jannah-Nya.
Kata al-ghurabâ’ menunjukkan jumlah jamak (plural). Kata ini mengisyaratkan adanya golongan manusia (jamaah) yang senantiasa membela Islam pada akhir zaman. Mengapa terasing? Bukan karena Islam belum sempurna, melainkan karena tak dipahami dan diamalkan sebagaimana mestinya. Lalu mereka yang berpegang teguh pada Islam terasing (gharîb). Bahkan mereka terang-terangan distigma negatif oknum-oknum yang terpedaya dengan beragam stigma. Padahal karakteristik utama al-ghurabâ’ adalah: berpegang teguh pada Islam, senantiasa melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:
فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي
Beruntunglah mereka yang terasing, yakni mereka yang memperbaiki Sunnahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku (HR at-Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa al-ghurabâ’ di atas bukanlah para sahabat, melainkan mereka yang eksis membela Sunnah Rasulullah saw. pada masa tatkala manusia merusak sunnah tersebut. Adapun para Sahabat ra. tidak merusak Sunnah Rasulullah. Sunnah tersebut belum rusak pada zaman para Sahabat. Ini diperjelas dengan penggunaan huruf idzâ dalam redaksi hadis:
فَطُوبَى يَوْمَئِذٍ لِلْغُرَبَاءِ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
Beruntunglah pada hari itu mereka yang terasing tatkala manusia rusak (HR Ahmad).
Huruf idzâ digunakan untuk menunjukkan masa yang akan datang. Jelas hadis ini berbicara tentang kondisi setelah masa Sahabat berlalu. Hal tersebut terbukti pada masa kini. Manusia merusak sunnah kepemimpinan dalam Islam, Al-Khilâfah, dengan menstigma negatif sunnah tersebut. Mereka mencurigai bahkan mempersekusi para pengembannya. Ini sejalan dengan khabar dari Abu Umamah al-Bahili ra. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:
لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ
Ikatan-ikatan Islam akan terlepas satu-persatu. Setiap kali satu ikatan terlepas, orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang pertama kali terlepas adalah al-hukm (pemerintahan) dan yang terakhir adalah shalat (HR Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Apa sebabnya? Umar bin al-Khaththab r.a menggambarkan: “Sungguh ikatan Islam hanyalah terlepas satu-persatu jika di dalam Islam tumbuh orang yang tidak mengetahui perkara jahiliah.”
Berapa banyak orang yang terkungkung keyakinan dan pemahaman Jahiliah dalam persoalan Khilafah? Karena itu sudah seharusnya kaum Muslim yang sadar, teguh merajut kembali ikatan Islam meskipun sulit bagaikan menggenggam bara api.
Kata yushlihûna merupakan al-fi’l al-mudhâri’ yang menunjukkan pekerjaan dinamis, terus-menerus (al-istimrâr) menjaga dan membela Sunnah Rasulullah saw. memperbaiki masyarakat yang rusak. Ini menunjukkan bahwa mereka yang beruntung terasing karena Islam bukanlah mereka yang diam, menjauhi masyarakat dan sibuk memperbaiki diri sendiri (al-’uzlah). Apalagi dalam Lisân al-‘Arab (VI/4395) diisyaratkan keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat:
نزُّاع القَبائِل غُرَباؤهم الذين يُجاوِرُون قَبائِلَ ليسوا منهم
Nuzzâ’ al-qabâ’il (yang terpisah dari kabilah-kabilah) sama dengan ghurabâuhum (orang-orang yang terasing dari mereka), yakni orang-orang yang bertetanggaan dengan kabilah-kabilah, tetapi bukan bagian darinya.
Dengan demikian relevan disimpulkan bahwa keterasingan tersebut terjadi lebih karena sikap berpegang teguh pada Islam. Karena itu beruntunglah mereka yang terasing demi menegakkan Islam. Anas bin Malik ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
Kelak akan datang suatu masa kepada manusia. Saat itu orang-orang yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka bagaikan orang yang menggenggam bara api (HR at-Tirmidzi).
Prof. Dr. Abdullah al-Dumaiji menegaskan bahwa Rasulullah saw. membangun negara yang menegakkan seluruh ajaran-ajaran Islam. Berbagai hal menunjukkan bukti nyata eksistensi negara dan tugas-tugas kepemimpinan dalam Islam. Ia lalu menukil pendapat Imam Abu Ishaq asy-Syathibi (w. 790 H), “Telah pasti bahwa Nabi saw. tidak wafat hingga datang menjelaskan segala hal yang dibutuhkan berkenaan dengan urusan agama dan dunia. Tidak ada dari kalangan ahl as-sunnah yang menyelisihi hal ini.” (Asy-Syathibi, Al-I’tishâm, hlm. 49).
Bukankah tak samar adanya sunnah fi’liyyah Rasulullah saw. membangun negara dengan sistem pemerintahan agung dari mulai asas, fondasi, visi dan misi hingga pilar-pilar asasi kenegaraan yang sifatnya khas dan baku. Ini menunjukkan keistimewaan sistem pemerintahan Islam yang wajib diteladani ketika membangun sistem kenegaraan, Al-Khilâfah. Menghidupkan dan menjaga sunnah ini adalah keberuntungan. Anas bin Malik ra. bertutur bahwa Rasulullah saw. bersabda:
من أحيا سنتي فقد أحبني، ومن أحبني كان معي في الجنة
Siapa saja yang menghidupkan Sunnahku, sungguh ia telah mencintaiku. Siapa saja yang mencintaiku, ia bersamaku menjadi penghuni surga (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
Sunnah Rasulullah saw. tersebut mencakup kepemimpinan umat. Poros kehidupan Rasulullah saw. di Madinah menggambarkan kedudukan kepala negara yang mengatur umat dengan syariah-Nya. Imam Izzuddin ash-Shan’ani (w. 1182 H) menjelaskan, “(Siapa saja yang menghidupkan sunnah) dengan mengamalkan, menyiarkan, dan menafikan penyimpangan kaum yang menyimpangkan-nya.” (Ash-Shan’ani, Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr (X/55).
Berpegang teguh secara kokoh pada sunnah ini pun diperintahkan Rasulullah saw. diumpamakan (al-isti’ârah al-tamtsîliyyah) dengan kuatnya gigitan geraham. Bahkan ini mencakup sunnah para khalifah yang tertunjuki (al-Khulafâ’ al-Râsyidûn). Al-’Irbadh bin Sariyah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Hendaklah kalian berdiri di atas Sunnahku dan sunnah para khalifah ar-râsyidîn al-mahdiyyîn (para khalifah yang mendapatkan petunjuk). Gigitlah oleh kalian hal tersebut dengan geraham yang kuat (HR Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).
[Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]