Al-Ghurabâ’ (Bagian 2)
Ghurabâ’ (kaum yang terasing), selain aktif memperbaiki kehidupan, mereka pun disifati sebagai golongan yang saling mencintai karena rûhuLlâh. Yang dimaksud “rûh” Allah adalah Dinul Islam. Dengan demikian perkara yang menjadi pengikat di antara mereka adalah ideologi Islam, bukan selainnya. Mereka tak diikat oleh ikatan yang lain; nasab, kekerabatan, kemaslahatan atau kemanfaatan duniawi. Tak pula diikat oleh ’ashabiyyah; fanatisme buta atas dasar ras, suku, asal usul dan kelompok. Mereka semata-mata diikat oleh ikatan Islam. Abu Hurairah ra. berkata:
قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ: إِنَّ مِنَ الْعِبَادِ عِبَادًا يَغْبِطُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ، قِيلَ : مَنْ هُمْ ياَ رَسُولَ للهِ؟ قَالَ: هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوْا بِرُوحِ اللهِ عَلَى غَيْرِ أَمْوَالٍ وَلَا أَنْسَابٍ، وُجُوهُهُمْ نُورٌ -يَعْنِي عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ، لَا يَخَافُونَ إِنْ خَافَ النَّاسُ، وَلَا يَحْزَنُونَ إِنْ حَزِنَ النَّاسُ، ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةِ {أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }
Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok hamba-Nya yang menjadikan para nabi dan syuhada pun ghibthah kepada mereka (pada Hari Kiamat).” Ditanyakan: “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau bersabda, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan “ruh” Allah bukan karena kepentingan harta benda, tidak pula karena adanya jalinan nasab. Wajah-wajah mereka adalah cahaya, yakni di atas mimbar bercahaya. Mereka tidak takut ketika manusia takut. Mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.” Kemudian beliau membacakan firman Allah SWT (yang artinya): Ingatlah, sungguh para kekasih Allah itu tidak mempunyai rasa takut (kepada selain Allah) dan tidak bersedih.” (QS Yunus [10]: 62) (HR an-Nasa’i dan al-Baihaqi).
Hadis mulia ini menggambarkan karakter al-ghurabâ’ sebagai golongan yang saling mencintai di atas landasan Islam. Wajah mereka diserupakan (al-tasybîh) dengan cahaya. Ini menegaskan keutamaan mereka. Merekalah kaum shâlihûn mushlihûn pada akhir zaman. Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam Kasyf al-Musykil (III/448) menjelaskan: Begitu pula kaum shalih pada akhir masa (muta’akhkhirûn). Mereka menjadi kaum terasing (ghurabâ’) dan menampakkan (amalan Islam) yang telah terasing.
Ini diperjelas riwayat dari Ibn ‘Umar ra. yang menyebutkan karakter:
تَصَادَقُوا فِي اللهِ وَتَحَابَّوْا فِيهِ
Mereka saling berteman di jalan Allah dan saling mencintai karena Allah (HR al-Hakim).
Dalam hadis riwayat ath-Thabarani, Amru bin Abasah, sebagaimana juga ditegaskan Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (X/77), berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
هُمْ جَمَاعٌ مِنْ نَوَازِعِ الْقَبَائِلِ، يَجْتَمِعُونَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ، فَيَنْتَقُوْنَ أَطَايِبَ الْكَلَامِ كَمَا يَنْتَقِي آكِلُ التَّمْرِ أَطَايِبَهُ
Mereka adalah kumpulan manusia dari orang-orang yang terasing dari kabilah-kabilah. Mereka berkumpul atas dasar zikir kepada Allah. Mereka kemudian memilih perkataan yang baik-baik sebagaimana seseorang memakan buah-buahan memilih yang baik-baik (HR ath-Thabarani).
Kalimat min nawâzi’ al-qabâ’il mengisyaratkan bahwa mereka berasal dari berbagai kelompok, yang bersatu atas dasar zikir kepada Allah (al-ijtimâ’ alâ dzikriLlâh). Kalimat berkumpul atas dasar zikir kepada Allah (al-ijtimâ’ alâ dzikriLlâh) berbeda dengan berkumpul untuk berzikir kepada Allah (al-ijtimâ’ li dzikrillâh). Berkumpul atas dasar zikir kepada Allah berarti zikir itu merupakan perkara yang menjadi pengikat di antara mereka, sama saja apakah mereka duduk bersama-sama ataukah mereka berpisah.
Karakter “saling mencintai karena rûh Allah, saling berteman karena Allah dan berkumpul atas dasar dzikruLlâh,” dalam hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa al-ghurabâ’ adalah golongan mulia yang diikat oleh ikatan paripurna. Itulah akidah Islam. Akidah ini menjadi asas dari al-ukhuwwah al-islâmiyyah, membuahkan visi yang sama, membumikan tegaknya syariah Allah di muka bumi, merealisasikan karakter senantiasa memperbaiki kehidupan yang dirusak manusia. Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ ١٠
Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).
Al-Hafizh Ibn al-Jauzi (w. 597 H) dalam At-Tabshirah (II/273) menuturkan: “Ketahuilah, kalimat bermakna yang menyatukan Muslim adalah Islam. Sungguh mereka menjalin persaudaraan asasi dengan Islam. Islam mewajibkan mereka karenanya hak-hak satu sama lain.”
Ibn al-Jauzi lalu menukil hadis:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْسَّهَرِ وَالحُمَّى
Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal saling cinta, kasih sayang dan simpati di antara mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu organ sakit maka seluruh tubuh demam dan tak bisa tidur (HR Muslim dan Ahmad).
Karakteristik ini menyiratkan bahwa al-ghurabâ’ pada akhir zaman adalah golongan yang kokoh mendakwahkan tegaknya Islam dalam kehidupan, dan terealisasinya persatuan kaum Muslim. Islam menjadikan Khilafah sebagai metode untuk menegakkan syariah Islam secara totalitas dan menjadi simbol persatuan kaum Muslim. Ini diisyaratkan oleh sabda Rasulullah saw.:
مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa saja yang memisahkan diri dari al-Jamâ’ah (al-Khilâfah) meskipun hanya sejengkal, lalu ia mati, maka tidaklah ia mati kecuali mati seperti mati jahiliah (HR Muttafaq[un] ‘alayh).
Hadis ini mengandung kiasan al-kinâyah, menyebut al-Khilâfah dengan istilah al-jamâ’ah. Ini didukung oleh Ijmak Sahabat atas kesatuan Khalifah sebagai hasil akhir diskusi alot di Saqifah Bani Sa’idah. Dalam atsar-nya Ibn Mas’ud r.a. berkhutbah, “Hai manusia, kalian wajib berpegang teguh pada ketaatan dan al-jamâ’ah, karena sungguh ia adalah tali Allah yang Dia memerintahkan untuk (berpegang teguh) padanya. Apa saja yang kalian benci ada pada al-jama’ah, lebih baik daripada apa saja yang kalian cintai di atas perpecahan.”
Al-Imam Waliyullah ad-Dahlawi (w. 1176 H) ketika menjelaskan hadis innama al-imâm junnat[un] dalam HujjatuLlâh al-Bâlighah (II/232) menjelaskan: “Aku menyatakan bahwa Rasulullah saw. memposisikan Imam/Khalifah pada kedudukan sebagai junnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum Muslim dan perlindungan atas mereka.”
Begitu pula al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H). Ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]: 30 dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264), ia mencirikan bahwa Khilafah berfungsi untuk menyatukan kalimat kaum Muslim. Karena itu relevan jika Qadhi Yusuf bin Isma’il al-Nabhani pun menyifati kedudukan Khalifah sebagai pemersatu umat, tatkala berbicara tentang Sulthan Abdul Hamid II sebagai khalifah yang menjadi simbol kesatuan, “Ketahuilah, penguasa yang agung kedudukannya ialah sultan yang tunggal untuk kaum yang menganut akidah tauhid.”
Dengan demikian terang-benderang, al-ghurabâ’ yang meraih predikat beruntung ini bukan golongan yang aktif menjegal dakwah demi membela paham-paham jahiliah dan bergerak karena landasan ’ashabiyyah pada suku, ras dan golongan hingga tersesat menomorduakan Islam, Rasulullah saw. memperingatkan:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Bukan golongan kami orang yang menyerukan ‘ashabiyyah, bukan golongan kami orang yang berperang di atas ‘ashabiyyah dan bukan golongan kami orang yang mati karena ‘ashabiyyah (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan al-Baidhawi).
Betapa meruginya mereka yang terjangkit penyakit ’ashabiyyah. Mereka tak layak meraih predikat mulia: menjadi al-ghurabâ’. Sebaliknya, beruntunglah mereka yang menjadi al-ghurabâ’ karena berpegang teguh pada Islam dan terus mendakwahkan Islam.
Wa biLlâhi at-tawfîq. []