Nafsiyah

Ancaman Allah SWT bagi Perampas Tanah

Risalah Islam hadir menjaga manusia dan menjamin pemeliharaan harta yang menjadi haknya (al-muhâfazhah ’alâ al-mâl). Harta adalah milik Allah (Asy-Syâri’) yang Allah izinkan untuk dimanfaatkan oleh hamba-hamba-Nya dengan sebaik mungkin. Karena itu Islam mengatur kepemilikan individu, masyarakat umum dan negara. Islam pun mengatur cara meraih dan menggunakan kepemilikan. Seluruhnya wajib sejalan dengan aturan Allah. Karena itu pula melanggar batas-batas kepemilikan yang telah Allah tetapkan adalah kezaliman.

Kezaliman (al-zhulm), menurut Al-’Allamah Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 70) adalah: “mendudukkan sesuatu tidak pada tempatnya (wadh’u asy-syai-i fî ghayr mahallihi); kita memahami hal ini berdasarkan makna, ’sungguh kesyirikan benar-benar merupakan kezaliman yang besar”.

Demikian pula halnya dengan perbuatan mengambil tanah orang lain secara zalim. Ini pun pada dasarnya menempatkan sesuatu tak pada tempatnya, apapun alasannya.

 

Takutlah Berbuat Zalim dengan Merampas Tanah Orang Lain

Tentu kezaliman besar tindakan merampas tanah milik orang lain dan tanah kelahirannya. Rasulullah saw. memperingatkan:

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Siapa saja mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh lapis kumi kepada dirinya (HR Muttafaq ‘alayh).

 

Hadis yang mulia ini mengandung peringatan tegas atas siapa saja, termasuk penguasa, yang mengambil hak orang lain, meskipun sejengkal tanah, dengan ancaman akan dikalungkan tujuh lapis bumi kepada dirinya di Neraka Jahanam. Lafal syibr[an] menunjukkan kiasan (majâz) dari kadar sekecil apapun yang diambil secara zalim. Yang tampak di permukaan hanya sejengkal, namun hakikatnya, sebagaimana ditegaskan Al-Hafizh an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim (XI/48), berikut kedalaman berlapis-lapis tanah di bawahnya. Karena itu wajar jika pelaku perampasan tanah diganjar dengan dikalungi tujuh lapis bumi. Ini sesuai dengan realita bumi dalam firman-Nya:

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَ سَبۡعَ سَمَٰوَٰتٖ وَمِنَ ٱلۡأَرۡضِ مِثۡلَهُنَّۖ ١٢

Allahlah Yang telah menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi (QS ath-Thalâq [65]: 12).

 

Mahabenar Allah dengan kekuasaan-Nya. Kalimat ber-tawkîd (penegasan): fainnahu yuthawwiquhu yawm al-qiyâmah min sab’i ardhîn (maka sungguh Allah akan mengalungkan tujuh bumi pada Hari Kiamat kepada dirinya) menjadi indikasi tegas (qarînah jâzimah) haramnya perbuatan merampas tanah, dengan konsekuensi berat yang takkan pernah dibayangkan seorang Mukmin, dan bisa dipastikan menjadi sebab kebinasaan dunia dan akhirat.

 

Kezaliman Adalah Sebab Kebinasaan

Cukuplah kebinasaan bagi orang yang zalim. Allah SWT menegaskan:

وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ  ٥٧

Allah tidak menyukai kaum yang zalim (QS Ali ‘Imrân [3]: 57).

 

Kezaliman adalah sebab atas ragam kegelapan pada Hari Kiamat kelak. Jabir ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

اتَّقُوْا الظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Jauhilah oleh kalian perbuatan zalim. Sungguh kezaliman akan menjadi kegelapan-kegelapan pada Hari Kiamat (HR Muslim).

 

Kezaliman, apa pun bentuknya, adalah malapetaka baik bagi para pelaku utama maupun para pendukungnya. Bukan hanya di dunia, bahkan ancaman azab di akhirat jauh lebih berat. Hendaklah mereka yang zalim dan penyokongnya sadar. Al-Hafizh Ibn Abdil Barr (w. 463 H) menukilkan syair dalam Al-Istidzkâr (VIII/618):

نامت جفونك والمظلوم منتبه #

يدعو عليك وعين الله لم تنم #

Tertutup rapat kelopak matamu/sementara orang yang dizhalimi terbangun

mendoakan keburukan bagimu/sementara mata Allah tidaklah tidur

 

Rasulullah saw. pun mengingatkan bahwa Allah memang menunda balasan bagi para pelaku kezaliman. Namun, ketika Allah menurunkan siksa-Nya, tak ada yang dapat lolos dari azabnya. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ

Sungguh Allah pasti menunda (hukuman) bagi orang zalim. Namun, jika Allah telah menyiksa orang zalim itu, Allah tidak akan melepaskan dirinya (HR al-Bukhari).

 

Nasihat Rasulullah saw. kepada Penguasa

Salah satu peringatan Rasulullah saw. kepada penguasa (juga pejabat bawahannya) adalah peringatan untuk tidak berbuat zalim kepada rakyatnya. Muadz bin Jabal ra. yang diangkat sebagai gubernur (wali) di Yaman menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda kepada dirinya:

اتَّقِ دَعْوَة المظْلُومِ فإنها لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الله حِجَابٌ

Takutlah pada doa orang yang dizalimi. Sungguh tidak ada hijab antara doanya dan Allah (HR Muttafaqun ‘alayh).

 

Kalimat “tiada hijab” dalam hadis ini menunjukkan bahwa do’a orang yang dizalimi mustajâb, pasti dikabulkan Allah. Abu Hurairah ra. menuturkan bawha Nabi saw. bersabda:

ثلَاثُ دَعواتٍ مُستَجَاباتٍ دَعوة المظلومِ، ودَعوة المسافِرِ، ودَعوةُ الوَالِد عَلى وَلده

Tiga doa yang pastu dikabulkan: doa orang yang dizalimi; doa orang yang sedang safar; dan doa orangtua atas anaknya (HR al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad).

 

Hadis ini mengandung tarhîb (peringatan) agar tidak berbuat zalim, termasuk dengan memaksa rakyat untuk menyerahkan tanah yang telah mereka tempati dan miliki; melanggar batas-batas kepemilikan yang telah Allah tetapkan atas manusia sebagai Tuhan Yang Maha Pemilik segala sesuatunya. Karena itu mereka yang merampas tanah orang lain hakikatnya telah berhadapan dengan Allah. Siapa yang mampu menghadapi penghisaban-Nya?

Pada saat yang sama Islam mewajibkan penguasa menegakkan keadilan. Ini sebagaimana penafsiran Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) atas QS Shad [38]: 26 dalam Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1228): “Allah mengajari Nabi-Nya bahwa suatu kefardhuan atas beliau dan nabi sebelumnya, begitu pula umat manusia, jika mereka menghukum manusia maka harus menghukumi mereka dengan adil. Adil yakni ittibâ’ (mengikuti) hukum-Nya yang telah diturunkan (kepada manusia).”

Ini menunjukkan kewajiban penguasa menegakkan keadilan Islam bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya. Ini sejalan dengan kaidah syar’iyyah:

تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

Kebijakan seorang al-Imâm (Khalifah) atas rakyat harus senantiasa berorientasi pada kemaslahatannya.

 

Artinya, berorientasi pada syariah Allah dan Rasul-Nya. Pasalnya, kemaslahatan semata-mata terwujud dalam perkara yang sejalan dengan tuntunan dan tuntutan syariah-Nya. Ini sejalan dengan ungkapan Imam asy-Syafi’i (w. 204 H) dalam Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir (hlm. 121):

مَنْزِلَةُ اْلاِمَامِ مِنَ الرَّعِيِّةِ مَنْزِلَةُ الْوَلِىِّ مِنَ الْيَتِيْمِ

Kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim.

 

Bagaimana mungkin orangtua berbuat jahat kepada anaknya? Bagaimana mungkin wali berbuat sewenang-wenang atas anak yatim yang berada pada tanggungannya? Hendaknya ingat:

وَنَادَىٰٓ أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ أَن قَدۡ وَجَدۡنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقّٗا فَهَلۡ وَجَدتُّم مَّا وَعَدَ رَبُّكُمۡ حَقّٗاۖ قَالُواْ نَعَمۡۚ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنُۢ بَيۡنَهُمۡ أَن لَّعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ  ٤٤

Para penghuni surga berseru kepada para penghuni neraka, “Sungguh kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami janjikan kepada kami. Lalu apakah kalian telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan telah Dia janjikan (kepadamu)?” Mereka (penduduk neraka) menjawab, “Betul.” Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu, “Kutukan Allah ditimpakan kepada kaum yang zalim.” (QS. al-A’râf [7]: 44).

 

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Irfan Abu Naveed]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five − 2 =

Back to top button