Nafsiyah

Hakikat Al-Ghurabâ’

Di antara perkara gaib yang dikabarkan Rasulullah saw. jauh-jauh hari adalah kembalinya Islam menjadi terasing pada akhir zaman. Hal ini diinformasikan dalam bentuk uslûb khabarî ibtidâ’î (ungkapan tanpa satupun penegasan), yang menunjukkan bahwa informasi tersebut merupakan informasi baru yang tidak diragukan, tidak diingkari, dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُربَاءِ

Islam pertama kali datang terasing dan akan kembali terasing sebagaimana permulaannya. Karena itulah beruntunglah mereka yang terasing (HR Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

 

Kata al-ghurabâ’ menunjukkan bentuk jamak (plural). Ini mengisyaratkan adanya golongan manusia (jamaah) yang senantiasa membela Islam pada akhir zaman. Padahal karakteristik utama al-ghurabâ’ adalah mereka yang berpegang teguh pada Islam; senantiasa melakukan perbaikan ketika manusia telah rusak:

فَطُوبَى لِلْغُرباء الَّذِينَ يُصْلِحُونَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي

Karena itu beruntunglah mereka yang terasing, yakni mereka yang memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh manusia setelahku  (HR at-Tirmidzi).

 

Kata kerja yushlihûna dengan subjek jamak dalam ayat ini memperjelas bahwa kelompok al-ghurabâ’ ini berjamaah, berdakwah secara kolektif. Aktivitas tersebut dilakukan secara dinamis, berkesinambungan. Ini ditandai lafal yushlihûna yang merupakan al-fi’l al-mudhâri’ yang berfaedah al-hudûts (dinamis). Apa maknanya? Maknanya adalah menyesuaikan kembali sesuatu yang telah menyimpang ke asalnya, yakni pada Islam. Siapakah mereka? Al-Imam al-Munawi al-Qahiri (w. 1031 H) dalam Faydh al-Qadîr (VI/468) ketika menyebutkan sebagian golongan al-ghurabâ’ menjelaskan:

وهم القابضون على دينهم عند الفتن كالقابض على الجمر وهم النزاع من القبائل وهم المؤمنون بالغيب إلى غير ذلك مما لا يعسر على الفطن استخراجه من الأحاديث

Mereka adalah kaum yang berpegang pada agama mereka tatkala tersebarnya fitnah, bagaikan orang yang memegang bara api. Mereka adalah kaum yang terpisah dari suku-suku. Mereka adalah orang-orang yang mengimani perkara gaib dan lain sebagainya yang tidak sulit bagi orang-orang yang cerdas mengambil dari sumber hadis-hadis.

 

Keterasingan tersebut bisa jadi lahir karena manusia belum mengenal hakikat kebenaran Islam; muncul di tengah tersebarnya kemungkaran. Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) dalam Qawâ’id al-‘Aqâ’id (hlm. 101) menyiratkan:

النَّاس أَعدَاء مَا جهلوا

Manusia (kadang) menjadi musuh atas apa saja yang tidak mereka ketahui.

 

Artinya, tak dipahami dan diamalkan sebagaimana mestinya, hingga mereka yang berpegang teguh padanya dianggap aneh (gharîb), bahkan terang-terangan distigma negatif oknum-oknum yang terpedaya dengan stigma radikalis, fundamentalis (dalam konotasi negatif), dimonsterisasi agar semakin dikucilkan, diasingkan masyarakat. Untuk mengantisipasi semua ini diperlukan upaya memperkenalkan kebenaran Islam ke tengah-tengah masyarakat, menjadikan Islam sebagai opini publik, bahkan bukan hanya dibicarakan melainkan juga diamalkan.

Keterasingan yang ada pun bukan lahir dari sikap apriori, tidak peduli terhadap keburukan yang menimpa masyarakat, hingga ‘uzlah dengan menjauh dari masyarakat. Kenyataannya, Rasulullah saw. tidak pernah melakukan ‘uzlah setelah turunnya risalah. Rasulullah saw. justru ‘terasing’ dari masyarakat jahiliah yang telah menggelari beliau sebagai al-amîn (orang yang sangat dipercaya) setelah menyebarkan risalah Islam ke tengah-tengah masyarakat jahiliah.

Pandangan ini relevan dengan keterangan bahwa kalimat fathûbâ li al-ghurabâ’ merupakan kalimat kiasan, yang menisbatkan keberuntungan pada akibat (al-musabbab) “al-ghurabâ’” (menjadi kaum terasing), namun yang dimaksud adalah sebab keterasingan itu sendiri; beruntung karena berpegang teguh pada Islam. Dalam perspektif ilmu balaghah ia termasuk kiasan al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah; ithlâq al-musabbab wa irâdat al-sabab (yang disebutkan akibat, namun yang dimaksud adalah sebabnya).

Keterasingan tersebut bukanlah bukti bahwa Islam tidak benar. Sebabnya, kebenaran tidak ditentukan oleh ketenaran, pengikut dan pengakuan manusia itu sendiri. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun seandainya mayoritas manusia menolaknya. Ini karena kebenaran adalah apa saja yang datang dari Allah ’Azza wa Jalla berupa wahyu-Nya, sebagaimana firman-Nya:

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ  ١٠٨

Katakanlah, “Hai manusia, sungguh teIah datang kepada kalian kebenaran (al-Quran) dari Tuhan kalian. Sebab itu, siapa saja yang mendapat petunjuk, sungguh (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Siapa saja yang sesat, sungguh kesesatannya itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri. Aku bukanlah seorang penjaga terhadap diri kalian (QS Yunus [10]: 108).

 

Kalimat yâ ayyuhan nâs dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kebenaran dari Allah adalah satu-satunya standar kebenaran bagi seluruh umat manusia. Kalimat Qad jâ’akum al-haqq min Rabbikum mengandung penegasan (tawkîd) bahwa kebenaran datang dari Allah (wahyu-Nya). Siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk maka ia meraih kebaikan untuk dirinya sendiri. Siapa saja yang mengabaikannya maka ia meraih keburukan akibat kesesatannya sendiri. Kebenaran tersebut dibawa oleh Rasulullah saw.:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلرَّسُولُ بِٱلۡحَقِّ مِن رَّبِّكُمۡ فَ‍َٔامِنُواْ خَيۡرٗا لَّكُمۡۚ وَإِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمٗا  ١٧٠

Wahai manusia, sungguh telah datang Rasul (Muhammad) itu kepada kalian dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan kalian. Karena itu berimanlah kalian. Itulah yang lebih baik bagi kalian. Jika kalian kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) maka sungguh apa yang di langit dan di bumi itu adalah milik Allah. Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana (QS an-Nisa’ [4]: 170).

 

Ayat ini memperjelas standar kebenaran itu sendiri, sangat definitif, jelas batasannya, berdasarkan kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Dengan itu kebenaran bisa dipahami oleh manusia, bukan berdasarkan apa yang dikehendaki hawa nafsu fulan dan fulan, sebagaimana klaim kaum liberal yang merasa bebas berbicara tentang al-Quran semaunya, hingga melibas ajaran Islam itu sendiri.  Penyair bertutur:

عجِبْتُ لِقوْمٍ أضَلّوا السّبيلَ *

وقد بيّنَ الله سبلَ الهدى

فما عرفوا الحقّ لماّ استبانَ *

ولا أبصروا الفجرَ لماّ بدا

Aku heran kepada kaum yang tersesat dari jalan kebenaran

Sungguh Allah telah menjelaskan jalan petunjuk

Mereka tak mengenal kebenaran tatkala ia terang-benderang

Tidak pula melihat fajar tatkala ia terbit

 

Bagi mereka yang tenggelam dalam kebatilan, hendaklah ingat dengan pesan bijak dari Amîr al-Mu’minîn, Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a., sebagaimana dinukil  oleh A-Hafizh Ibn Katsir dalam Musnad Amîr al-Mu’minîn Abi Hafsh ‘Umar bin al-Khaththâb r.a. (II/775). Dikisahkan, Khalifah Umar menulis surat kepada bawahannya, Abu Musa al-Asy’ari r.a.:

إِنَّ مُرَاجَعَةَ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ

Sungguh kembali pada kebenaran (kebaikan) lebih baik daripada berlarut-larut dalam kebatilan.

 

Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka senantiasa aktif memperbaiki kehidupan yang dirusak oleh manusia dengan kemungkaran mereka hingga kehidupan kembali sejalan dengan Islam. Beruntunglah al-ghurabâ’. Mereka meraih keberuntungan di dunia dan akhirat dengan menjalani kehidupan dalam keridhaan-Nya, berkah hidupnya di dunia dengan akidah dan syariah, berbahagia selama-lamanya di akhirat di Jannah-Nya. Merekalah permata di tengah gelapnya dunia.

WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

6 + 3 =

Back to top button