Nafsiyah

Meneguhkah Jiwa Tawakal kepada Allah SWT

Perjuangan membutuhkan dukungan kekuatan. Kekuatan terbesar seorang mukmin ketika berjuang adalah lurusnya keimanan, benarnya pemahaman dan pengamalan. Ibn Abi al-Dunya (w. 281 H) mengetengahkan atsar Said bin Jubair r.a.:

التَّوَكُّلُ عَلَى الله جَمَاعُ الْإِيماَنِ

Bertawakal kepada Allah menggenapkan keimanan.

 

Ketawakalan adalah bagian dari keimanan yang benar. Ia tidaklah terpatri dalam jiwa setiap Mukmin melainkan karena lurusnya keyakinan dan benarnya pemahaman. Buahnya adalah amal yang membuahkan keberkahan, termasuk amal memperjuangkan tegaknya Islam dalam kehidupan. Ia pantang mundur ke belakang karena bergantung hanya kepada Zat Yang Maha Menguasai alam semesta.

Tawakal berasal dari lafal tawakkala-yatawakkalu-tawakkul[an]. Maknanya, menjadikan pihak lain sebagai wakîl, yakni wakil seseorang dalam urusan tertentu. Imam al-Alusi (w. 1342 H) dalam Rûh al-Ma’âni (V/164) mendefinisikan tawakkal sebagai sikap menampakkan kelemahan dan ketergantungan pada pihak lain; merasa cukup hanya kepadanya dalam melakukan aktivitas yang dia perlukan. Sifat ini membuahkan ketenangan pada jiwa orang yang bertawakal.

Bertawakal kepada Allah bahkan merefleksikan prinsip tauhid itu sendiri. Ini relevan dengan firman Allah yang menyandingkan ketauhidan dengan ketawakalan:

ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١٣

(Dia-lah) Allah tidak ada Sesembahan selain Dia. Hendaklah orang-orang beriman bertawakal kepada Allah semata (QS ath-Taghabun [64]: 13).

 

Dalam ayat ini, Allah mengawali informasi (al-uslub al-khabari) dengan prinsip tauhid, diikuti dengan perintah wajib (al-uslub al-insya’i) untuk semata-mata bertawakal kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Diperjelas dalam ayat lainnya:

قُل لَّن يُصِيبَنَآ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَا هُوَ مَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٥١

Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah Allah tetapkan untuk kami. Dialah Pelindung kami. Hanya kepada Allah kaum Mukmin harus bertawakal.” (QS at-Taubah [9]: 51).

 

Frasa ’alalLâhi dalam dua ayat di atas dikedepankan dari kata kerjanya (taqdîm ’alâ al-fi’l), mengandung faidah qashr (pengkhususan), bahwa ketawakalan hanya boleh ditujukan kepada Allah, tidak boleh kepada selain-Nya, membuahkan keridhaan-Nya:

فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩

Jika kamu telah bertekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya (QS Ali Imran [3]: 159).

 

Rasulullah saw. pun bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانَا

Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung; ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang (HR Ahmad, Ibn Majah dan al-Hakim).

 

Lantas, apakah ikhtiar bertentangan dengan tawakal? Bertawakal kepada Allah SWT dan memenuhi kaidah kausalitas adalah perwujudan sempurna ketawakalan seseorang. Keduanya tak bertentangan. Bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan; mencakup segala ikhtiar yang wajib dilakukan sesuai tuntunan syariah, kapan pun dan dimana pun. Ini sebagaimana tuntunan Baginda Rasulullah saw. Dalam syair dinyatakan:

في كل حال على المولى توكله # كم في التوكل منجاة من العطب

          Dalam segala hal hendaklah kepada Al-Mawlâ (Allah) tawakalnya ditujukan

          Betapa banyak dalam ketawakalan terdapat keselamatan dari kehancuran

 

Bukankah kita mendapati kemenangan yang diraih oleh seorang KhalilulLah Nabi Ibrahim a.s., yang senantiasa bertawakal kepada Allah ketika menghadapi rezim Namrud dan kaum musyrik, dengan doa yang ia ajarkan:

رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِير

Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.

 

Apakah Nabi Ibrahim as. hanya berdoa dan berpangku tangan? Tidak. Ibrahim as. mencontohkan bahwa tawakal yang benar harus dibuktikan dengan amal perbuatan:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَة حَسَنَة في إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَه إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِماَّ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ الله كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَة وَالْبَغْضَاء أَبَدًا حَتَّى تؤُْمِنُوا وَحْدَه إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَاوَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِير

Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sungguh kami berlepas diri dari kalian dari dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari (kekafiran) kalian. Telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya hingga kalian hanya mengimani Allah saja.” Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya, “Sungguh aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tidak dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata), “Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakal, hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.” (QS al-Mumtahanah [60]: 4).

 

Bagaimana pula seorang Kalîmullâh Musa as. menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya. Begitu pula Sayyid al-Mursalîn Rasulullah saw. yang menghadapi berbagai tempaan di jalan perjuangan. Mereka semua adalah teladan dalam bertawakal kepada Allah. Tidak diam berpangku tangan, melainkan teguh berjuang memperjuangkan tegaknya Din Allah dalam kehidupan. Demikian sebagaimana Allah gambarkan dalam firman-Nya:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang berkata, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka.” Namun,  perkataan itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali Imran [3]: 173).

 

Jawaban para pejuang pada masa Rasulullah saw. ini, hasbunaLlâhu wa ni’mal wakîl, menunjukkan kekuatan iman yang terucap di lisan dan tersirat dalam sikap teguh di atas jalan kebenaran. Keimanan bahwa Dialah Allah Yang Mahakuasa, menguasai segala urusan manusia, hingga tak ada zat yang layak dijadikan pijakan kecuali Allah. Bukankah Allah Zat Yang Mahatinggi atas seluruh hamba-Nya (QS al-An’am [6]: 61)?

Al-Hafizh Ibn Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) dalam Badâi’i al-Fawâ’id (II/464-465) menggambarkan:

 

Tawakal kepada Allah adalah termasuk sebab yang paling kuat untuk melindungi diri seorang hamba dari gangguan, kezaliman dan permusuhan orang lain yang tak mampu dia hadapi sendiri. Allah akan memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakal kepada-Nya. Siapa saja yang telah diberi kecukupan dan dijaga oleh Allah maka tidak ada harapan bagi musuh-musuhnya untuk bisa mencelakakan dirinya. Bahkan ia takkan ditimpa kesusahan kecuali sesuatu yang lazim terjadi (dirasakan semua makhluk), seperti panas, dingin, lapar dan dahaga. Adapun gangguan yang dikehendaki musuhnya maka selamanya takkan menimpanya.

 

Catatan emas perjuangan Rasulullah saw. dan sahabatnya menjadi teladan terbaik dalam bertawakal kepada Allah. Allah pun memenangkan mereka meskipun orang-orang kafir benci (QS ash-Shaff [61]: 9) dan berupaya menjegal Din-Nya. Allah tetap menyempurna-kan agama-Nya (QS ash-Shaff [61]: 8).

WaLlâh al-Musta’ân. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; [Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawi]]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten + 16 =

Back to top button