Takut Hanya Kepada Allah SWT
Ketakwaan itu bertanda. Tandanya adalah takut kepada Allah dengan mendekatkan diri kepada-Nya (khasyyatuLlâh) dan menjauh dari kemurkaan-Nya (al-khauf minaLlâh). Tidak melekat sifat ini kecuali pada orang yang bertakwa. Karena itu sifat ini relevan diwajibkan oleh Allah SWT melekat pada diri orang beriman (lihat: QS al-Baqarah [2]: 40-41).
Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam tafsirnya mendefinisikan ketakwaan:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَالْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَالْإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
Takut kepada Al-Jalîl (Allah Yang Mahamulia), mengamalkan at-Tanzîl (al-Quran al-Karîm) dan mempersiapkan diri untuk menghadapi Hari Akhir.
Mendekatkan diri kepada Allah SWT direalisasikan dengan menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Itu semua tak bisa diraih kecuali dengan menegakkan Dinul Islam dalam kehidupan. Bukankah Allah SWT mengaitkan sifat takut dengan pengetahuan terhadap-Nya dan hukum-hukum-Nya? Pengetahuan berlandaskan iman inilah yang menjadi dasar ketakwaan untuk menegakkan Din-Nya:
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ ٢٨
Sungguh yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama (QS Fathir [35]: 28).
Al-Hafizh Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310 H) dalam Jâmi’ al-Bayân (XX/462) menjelaskan bahwa sifat takut kepada Allah ditunjukkan dengan menghindari siksa-Nya, senantiasa taat kepada-Nya dan berbekal pengetahuan terhadap apa yang Dia kehendaki.
Imam Abu Bakar al-Jashshash (w. 370 H) pun menegaskan di dalam Ahkâm al-Qur’ân (V/246-247), bahwa di dalam ayat tersebut terdapat pujian terhadap keutamaan ilmu, dan bahwa ilmu membuahkan rasa takut kepada Allah dan ketakwaan kepada-Nya. Ini merupakan buah dari pengetahuan atas Kemahatunggalan Allah dan Keadilan-Nya berdasarkan petunjuk-petunjuk-Nya.
Salah satu wujud takut kepada SWT Allah adalah takut pada kemurkaan-Nya. Salah satunya dengan tidak mengabaikan dakwah, termasuk dakwah mengoreksi penguasa zalim. Rasa takut inilah yang mendorong Rasulullah saw. dan para Sahabat teguh di jalan dakwah dan tegar berjihad fî sabîliLlâh meski musuh berkali-kali lipat jumlahnya. Inilah yang menghiasi lisan Abdullah bin Rawahah ra., panglima agung Perang Mu’tah, ketika memotivasi para mujahid menyongsong pasukan Romawi yang berjumlah besar:
وَللهِ يَا قَوْمُ، إِنَّ الَّذِي تَكْرَهُوَنَ لَلَّذِي خَرَجْتُمْ لَهُ تَطْلُبُونَ الشَّهَادَةَ، وَمَا نُقَاتِلُ الْعَدُوَّ بِعدَّةٍ وَلاَ قُوَّةٍ بِهَذَا الدِّينِ الَّذِي أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ، فَانْطَلِقُوا فَإِنَّمَا هِيَ إِحْدَى الْحُسْنَيَيْنِ: إِمَّا ظُهُوَرٌ وَإِمَّا شَهَادَة
Demi Allah, wahai kaum, sungguh apa saja yang kalian benci adalah hal yang kalian cari, yakni mati syahid. Kita memerangi manusia tidak dengan jumlah, kekuatan dan pasukan yang banyak. Namun, kita memerangi mereka dengan Dîn ini, yang dengan itulah Allah memuliakan kita. Karena itu bergegaslah kalian karena sungguh apa yang ada di hadapan di antara dua kebaikan: apakah kemenangan atau mati syahid (HR Abu Nu’aim dalam al-Hilyah).
Mahabenar Allah Yang berfirman:
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ ٥٢
Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, merekalah orang-orang yang mendapat kemenangan (QS an-Nur [24]: 52).
Rasa takut kepada Allah inilah yang mendorong Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berdiri di atas mimbar mengoresi kebijakan Khalifah al-Muqtafi. Padahal ketika banyak orang diam dibungkam rasa takutnya pada penguasa. Saat itu Khalifah al-Muqtafi mengamanahkan jabatan peradilan kepada hakim yang zalim. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyampaikan kritiknya secara terang-terangan di atas mimbar masjid ketika khalifah berada di hadapan sang ulama panutan:
وَلَيْتَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ أَظْلَمَ الظَّالِمِيْنَ وَمَا جَوَابُكَ غَدًا عِنْدَ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
“Engkau telah mengangkat seseorang untuk kaum Muslim yang paling zalim di antara orang-orang zalim. Lantas apa jawabanmu esok hari (di Akhirat) di hadapan Tuhan Penguasa alam?” (Dr. Ali Muhammad ash-Shallabi, Asy-Syaikh ’Abd al-Qadîr al-Jailâni, hlm. 85).
Itu semua ditegakkan tanpa gusar terhadap celaan orang-orang tercela (lawmata lâ’im), sebagaimana terucap di masa kini di balik stigma negatif “radikal” dari mereka yang terpedaya dunia:
يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٥٤
(Mereka) berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Mahatahu (QS al-Maidah [5]: 54).
Berani Menghadapi Tiran
Salah satu tanda takut kepada Allah (khasyyatuLlâh) adalah teguh berdakwah memperjuangkan Din-Nya meskipun dihadapkan pada ancaman para penguasa tiran yang cinta dunia. Bukankah Rasulullah saw. dan para Sahabat telah mencontohkan sikap teguh menghadapi berbagai tantangan dakwah? Bukankah Allah SWT pun telah menggambarkan bagaimana keteguhan NabiyuLlâh Musa as. dan Harun as. yang mendakwahi Fir’aun? Rasa takut manusiawi yang muncul dalam benak mereka (khawf) mampu dikalahkan oleh rasa takut kepada Allah (khasyyatuLlâh). Buktinya, mereka teguh mendakwahi Fir’aun dan sekutunya:
ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ ٤٣ فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ ٤٤ قَالَا رَبَّنَآ إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفۡرُطَ عَلَيۡنَآ أَوۡ أَن يَطۡغَىٰ ٤٥ قَالَ لَا تَخَافَآۖ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسۡمَعُ وَأَرَىٰ ٤٦
Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun. Sungguh dia telah melampaui batas. Berbicaralah kalian berdua kepada dia (Fir’aun) dengan kata-kata yang lembut. Mudah-mudahan dia sadar atau takut. Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, sungguh kami khawatir (takut) ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” Allah berfirman, “Janganlah kalian berdua khawatir. Sungguh Aku beserta kalian berdua. Aku mendengar dan melihat.” (QS Thaha [20]: 43-46).
Apa yang terjadi? Nabi Musa dan Harun as. tetap menyambut perintah Allah dengan mendakwahi Fir’aun. Ini sebagaimana digam-barkan Allah dalam QS Thaha [20]: 47-98.
Sebaliknya, takut kepada makhluk-Nya dengan mendurhakai-Nya merupakan sebab kebinasaan. Ini sebagaimana terjadi pada kaum terlaknat, kaum ’Ad:
وَتِلۡكَ عَادٞۖ جَحَدُواْ بَِٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ وَعَصَوۡاْ رُسُلَهُۥ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَمۡرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٖ ٥٩ وَأُتۡبِعُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَآ إِنَّ عَادٗا كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا لِّعَادٖ قَوۡمِ هُودٖ ٦٠
Itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, mendurhakai para rasul Allah dan menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) pada Hari Kiamat. Ingatlah, sungguh kaum ‘Ad itu kafir kepada Tuhan mereka. Ingatlah kebinasaanlah bagi kaum ‘Ad (yaitu) kaum Hud itu (QS Hud [11]: 59-60).
Allah SWT menginformasikan bahwa di antara sebab kebinasaan mereka adalah memenuhi syahwat rezim yang bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran yang dibawa para rasul pilihan. Makhluk itu fana. Kekuasaan mereka pun akhirnya binasa. Sebaliknya, Allah SWT sebaik-baiknya Pelindung (wa kafâ biLlâhi nashîr[an]) dan sebaik-baiknya Pemelihara (wa kafâ biLlâhi wakîl[an]). Jangan terpedaya sehingga termasuk mereka yang disabdakan Rasulullah saw.:
مَنِ التَمَسَ رِضَاء الله بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ الله مُؤْنَة النَّاسِ، وَمَنِ التَمَسَ رِضَاءَ النَّاسِ بِسَخَطِ الله وَكَلَهُ إِلَى النَّاسِ
Siapa saja yang mencari keridhaan Allah meskipun mendatangkan kemurkaan manusia, Allah akan mencukupkan dia dari bantuan mereka. Siapa saja yang mencari keridhaan manusia dengan mendatangkan kemurkaan Allah, Allah akan menyerahkan dia kepada manusia.” (HR at-Tirmidzi).
WalLâhu a’lam. [Irfan Abu Naveed; (Dosen, Peneliti Balaghah al-Quran dan Hadis Nabawi)]