Jaminan Sejati Perempuan Ada Pada Islam
Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) diselengarakan secara global selama 16 hari, dari 25 November-10 Desember setiap tahun. Pada peringatan tahun 2019 ini, Komnas Perempuan melaporkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) menjadi semakin kompleks dan meluas serta tidak tertangani dan terlindungi.
Sepanjang tahun 2016 – 2018 terjadi 17.088 kasus KTP (kekerasan terhadap perempuan). Sebanyak 42%-nya adalah kekerasan seksual dan 52% dari kekerasan seksual tersebut adalah tindak perkosaan.
Perjuangan untuk menghilangkan KTP ini sudah cukup lama. Sejak tahun 1979 ada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang ditindaklanjuti dengan upaya para feminis untuk mendorong pemerintah masing-masing menerbitkan berbagai aturan yang mendukung penghapusan KTP. Di Indonesia, salah satunya adalah pengesahan UU – Penghapusan KDRT tahun 2004. Kini gerakan perempuan fokus mendorong Pemerintah agar mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual (PKS) yang belum dilegalkan.
Pertanyaan kritis patut kita lontarkan terhadap perjuangan panjang feminis ini. Mengapa tak kunjung membuahkan hasil, bahkan justru masalah semakin kompleks?
Kritik Cara Pandang
Para feminis menempatkan ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan sebagai masalah utama KTP. Mereka mengatakan, ada konstruksi seksualitas di masyarakat patriarki yang mewajarkan laki-laki bersikap agresif terhadap perempua, sehingga permisif terhadap kekerasan seksual. Perempuan menjadi pihak yang disalahkan. Misal, ada pelembagaan bahwa perempuan tidak boleh keluar malam, tidak boleh pakai baju terbuka, dan sebagainya. Mestinya, penting berpikir bahwa laki-laki juga harus mengontrol tubuhnya, menahan diri dan tidak berpikiran kotor. Jika ada kasus KTP, bukan perempuan yang mesti disalahkan, tetapi bahwa pelaku harus dihukum dengan seberat-beratnya.
Cara berpikir seperti di atas, menunjukkan kekacauan berpikir dan kesembronoan mereka. Sebab ada kontradiksi yang sangat jelas antara tuntutan adanya UU yang melindungi perempuan dan tuntutan untuk ‘membebaskan’ perempuan. Ada kontradiksi antara himbauan untuk menghormati perempuan dan pembiaran terhadap perkembangan industri iklan, bisnis dan hiburan yang mengeksploitasi perempuan; juga pembiaran terhadap peredaran minuman keras, penyalahgunaan narkoba dan hiburan porno yang memicu laki-laki memperkosa perempuan.
Kontradiksi inilah yang menjadi ciri khas idelogi kapitalis liberal. Ideologi ini menyanjung nilai-nilai kebebasan individu dan mengabaikan akibat buruk pada masyarakat. Kebutuhan individu manapun mesti dipenuhi selama mereka menginginkannya. Tidak peduli apakah keinginan itu benar atau salah. Kapitalisme menganggap bahwa unsur masyarakat hanya individu saja. Mereka menafikan aturan, pemikiran dan perasaan yang dibentuk oleh aturan tersebut. Fokusnya pada kepentingan individu dan mewujudkan semua kebutuhannya. Aturan dibuat ketika muncul pergesekan atau konflik di antara kepentingan individu-individu tersebut. Sebab itu, aturan dari ideologi kapitalis seperti ‘pemadam kebakaran’. Baru dirumuskan jika masalah sudah terjadi. Bersifat tambal sulam dan kontradiktif. Tidak menyelesaikan sama sekali. Selamanya masyarakat di sistem kapitalis liberal akan bergulat dengan masalah yang tidak kunjung usai, seperti KTP ini.
Karena itu penanganan KTP tanpa kembali pada persoalan dasar manusia tentu tidak akan menemukan titik terang yang menunjukkan solusi. Keyakinan feminis bahwa KTP dapat diselesaikan dengan legislasi UU, namun tidak mempersoalkan bercokolnya ideologi kapitalis yang mendewakan kebebasan individu dan merendahkan martabat perempuan, adalah kesia-siaan. Sebab di satu sisi mereka minta perempuan di-’merdeka’-kan dengan tidak diikat nilai atau aturan yang mengekang, apakah itu agama atau budaya. Di sisi lain mereka tidak bisa menolak doktrin kapitalisme yang mewajibkan pemenuhan kepentingan individu, apa dan siapapun itu. Mereka tidak memahami bahwa berbagai persoalan yang menimpa perempuan sesungguhnya lahir dari ide kebebasan ini.
Penanganan yang sungguh-sungguh atas kasus KTP memerlukan sistem pemerintahan yang menjamin perwujudan perlindungan terhadap perempuan sebagai pilar utama di setiap level kebijakan.
Jaminan Perlindungan Sejati
Sesungguhnya yang memahami potensi dan karakter manusia itu adalah Pencipta-Nya sendiri, Allah SWT. Zat Yang Mahatahu ini telah menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan syariah untuk mengaturnya.
Berikut adalah Jaminan Sistem Islam untuk mengatur interaksi lawan jenis dalam masyarakat Islam, yang tidak akan menimbulkan KTP dan persoalan lain yang ditimbulkan dari interaksi ini.
- Jaminan dengan Sistem Pergaulan.
Pertama: Memandang perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik. Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (Perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).”
Di rumah tangga, mereka seperti dua orang sahabat yang saling support kebutuhan masing-masing. Bekerjasama dalam mendidik generasi. Dalam kehidupan publik mereka adalah mitra sejajar dalam memajukan masyarakat. Tidak membenarkan memandang perempuan sebagai obyek pemuas hasrat seksual. Islam membatasi perbincangan seksual hanya dalam ranah domestik, di antara suami-istri. Pandangan ini diedukasi dalam pendidikan keluarga oleh orangtua, juga di sekolah formal termasuk pendidikan non-formal di masyarakat. Dengan itu terbentuk pandangan khas masyarakat Islam terhadap interaksi laki-laki dan perempuan dalam rangka melestarikan manusia dan bukan pandangan seksualitas semata, seperti pandangan Barat sekular.
Kedua: Perintah kepada laki-laki dan perempuan untuk menutupi auratnya dan menjaga kemaluannya. Pasalnya, semua bermula dari pandangan yang tidak dijaga, yang akan menjerumuskan pada keharaman.
Ketiga: Memudahkan urusan untuk menikah. Tidak mempersulit. Pasalnya, menikah adalah sarana penyaluran naluri seksual yang sah. Menikah juga akan menjaga kehormatan masing-masing pasangan.
Keempat: Melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj=menonjolkan kecantikan kepada laki-laki lain) yang merangsang naluri seksual laki-laki.
Kelima: Mencegah laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas yang merusak akhlak. Perempuan tidak dibolehkan bekerja yang mengeksploitasi sisi kewanitannya, seperti menjadi SPG, dan lain-lain.
Keenam: Memerintahkan mahram untuk menemani perjalanan perempuan yang lebih dari sehari semalam dalam rangka menjaga kehormatannya.
- Jaminan dengan Sistem Penerangan dan Media.
Mengawasi pemilik media massa untuk tidak menyebarkan konten porno dan akan menindak tegas jika melanggar dengan mencabut izin pendiriannya.
- Jaminan dengan Sistem Ekonomi.
Menjamin kebutuhan finansial perempuan melalui pemberian nafkah oleh wali atau suaminya. Tidak mewajibkan wanita bekerja. Dengan itu ia dapat menjalankan secara sempurna tugas utama dan strategisnya dalam mendidik dan menjaga generasi.
- Jaminan dengan Sistem Sanksi.
Menangani kelemahan individu yang terjerumus dalam penyimpangan dengan hukum yang jelas dan tegas. Menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosan, pacaran, pembunuhan dan sejenisnya dengan hukuman setimpal.
Penutup
Dari pemaparan singkat di atas, tampak bahwa hanya Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan. Jaminan perlindungan pada seluruh sistem di atas hanya bisa diterapkan oleh negara Khilafah yang menjadikan syariah Islam sebagai sumber aturan. Khilafah adalah negara yang menolak prinsip-prinsip rusak kapitalisme liberal dan mengagungkan nilai-nilai ketakwaan. Khilafah melarang segala bentuk aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai obyek komoditas dan merendahkan perempuan. Khilafah adalah negara yang memberi rasa aman pada perempuan baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Khilafah memberi kesempatan pada perempuan berkontribusi aktif di bidang politik, pendidikan, ekonomi dan layanan publik lain yang bebas dari pelecehan.
WalLâhu a’lam bish shawâb. [Ratu Erma R.]