Kesetaraan Gender Menambah Derita Perempuan
Seperempat abad sejak dunia dipaksa mengadopsi Aksi Beijing (Beijing Declaration and Platform for Action/ BPfA), Barat menilai kemajuannya sungguh lambat. Masih terjadi ketimpangan (gender parity) yang menghambat capaian kesetaraan. Pada tahun 2020 ini World Economic Forum (WEF) mengingatkan dunia akan komitmen internasionalnya, menuju target capaian Sustainable Development Goals/SDGs 2030 yang bersinergi dengan peringatan BPfA +25.1
Kesetaraan Gender, Penjajahan Kapitalistik
Kesetaraan gender, sebagai tujuan ke-5 SDGs, adalah penjajahan Barat yang diselubungi utopi kesejahteraan perempuan. Semua ‘permufakatan’ internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat adalah sumber malapetaka. ‘Kemajuan’ gender yang dipropagandakan hanyalah mantra sihir yang menyuburkan mimpi perempuan dan keluarganya untuk meraih kebahagiaan semu. Lihat saja, semua parameternya hanya bernilai materialistik.
Realitasnya, kapitalis yang serakah terus-menerus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang disetir oligark pengendali Multi National Corporation strategis telah menguasai SDA vital dan bisnis global. Tentu mereka membutuhkan SDM untuk mengelola produksi barang dan jasa di korporasi miliknya. Tenaga kerja perempuan memiliki keunggulan komparatif. Karena itu ditebarkanlah propaganda demi memobilisasi keterlibatan mereka yang akan menjadi sumbangsih bagi kesejahteraan keluarga dan bangsanya.
Selain menggerakkan roda ekonomi, perempuan adalah pasar potensial produksi barang dan jasa. Karena itu perempuan yang mandiri secara finansial akan mengalirkan keuntungan bagi brankas bos-bos MNC. Karena itu pula Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara menderaskan kesetaraan gender. UNDP (United Nations Development Programme) didapuk untuk mengawal capaian tersebut demi mengesankannya sebagai target pembangunan. Lalu dibuatlah Gender Inequality Index (GII) sejak 2010 untuk memperbaiki kekurangan indikator sebelumnya, Gender Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM), yang diperkenalkan sejak 1995.
Dimensi yang digunakan untuk mengukur capaian target sungguh kapitalistik, yakni kesehatan reproduksi (kespro), pemberdayaan dan partisipasi pasar tenaga kerja. Laporan yang dirilis WEF, yakni Global Gender Gap Report, memberi tolok ukur pada 153 negara terhadap partisipasi ekonomi, capaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, pemberdayaan politik serta profesi masa depan.
Target kapitalistik itu tercermin pada ‘pengakuan’ WEF yang membutuhkan 257 tahun untuk menutup kesenjangan gender terkait capaian ekonomi. Karena itu faktor kespro, kesehatan dan kelangsungan hidup menjadi perhatian. Semua itu terkait dengan seberapa besar manfaat yang akan diberikan para pekerja perempuan dalam proses produksi. Bukan semata-mata keinginan untuk menyehatkan perempuan atau meminimalisir AKI (Angka Kematian Ibu, akibat proses kelahiran) sebagai bentuk tanggung jawab sebuah negara. Capaian pendidikan bagi perempuan diperlukan untuk mendapatkan akses ekonomi, baik lapangan kerja, permodalan ataupun pasar. Adapun pemberdayaan politik dibutuhkan untuk membuat regulasi yang berpihak pada mobilisasi perempuan.
Mobilisasi—tepatnya eksploitasi—tenaga kerja perempuan harus lebih didongkrak demi target efisiensi. Karena itu saat angkatan kerja perempuan hanya mengisi 46,9% ceruk lapangan kerja, sementara laki-laki mengisi 76,1 %, mereka tak bisa menerimanya. Ilusi Barat adalah mewujudkan Planet 50:50, kesetaraan paripurna pada semua bidang. Barat mengiming-imingi dunia, bahwa jika perempuan memiliki peran identik dengan laki-laki di lapangan kerja, hal itu bakal meningkatkan PDB global pada tahun 2025 sebesar USD 28 trilliun.2
Dunia memang gagal dalam menyelesaikan semua masalah. Ini adalah akibat sistem sekular yang mereka terapkan. Termasuk gagal dalam menyelesaikan masalah perempuan. Bagaimana tidak disebut gagal bila konseptor ide gender tak pernah tulus menghargai martabat perempuan, kecuali hanya menjadikan perempuan sebagai obyek ekonomi dan pelengkap penderita atas permasalahan utama dunia kapitalistik. Mereka mengeksploitasi semua potensi perempuan demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi korporatokrasi. Padahal sudah jelas, kampanye kesetaraan gender yang eksis seumur hegemoni Kapitalisme tak pernah mampu membuat satu negara pun mencapai kesetaraan gender.3
Pengakuan itu menjadi pembuktian bahwa ide gender adalah ide absurd yang harus segera dibuang.
Derita Perempuan dan Keluarga
Kerusakan sendi-sendi hubungan sosial kemasyarakatan, baik di sektor privat ataupun publik, menjadi realitas yang kini dihadapi. Masyarakat dunia serempak memiliki penyakit sosial yang berawal dari pembangkangan mereka atas aturan syariah Islam kaffah. Padahal aturan syariah sungguh sederhana sekaligus kompleks dalam menjaga keharmonisan relasi sosial antar anggota masyarakat dan keluarga.
Watak liberal yang disandang Kapitalisme turut memberi andil terhadap penghancuran peran sentral setiap anggota keluarga. Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalis juga telah mereduksi nilai perempuan; hanya dianggap berharga bila mandiri secara finansial.
Pengistimewaan posisi perempuan dalam dunia kerja tak jarang turut memelihara mentalitas ketidakpedulian laki-laki terhadap tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Betapa banyak perempuan depresi karena target pekerjaan sekaligus menjadi breadwinner plus bertanggung jawab mengendalikan rumah dan keluarganya. Wajar jika kerap terjadi perselisihan tentang tanggung jawab dalam pernikahan dan pengasuhan anak. Sebabnya, posisi laki-laki sebagai qawwam tak terjadi. Pernikahan bukan lagi untuk menjalani mitsaq[an] ghalizha. Banyak pasangan yang tak mampu melewati ujian pernikahan hingga perceraian menjadi pilihan logis. Apalagi ketika perempuan memiliki penghasilan. Hal itu cukup menjadi pembuktian bahwa dia bisa hidup tanpa laki-laki.
Belum lagi masalah terkait pengasuhan anak. Suka tak suka, perempuan pekerja memilih membayar orang lain untuk memelihara dan membesarkan anak-anak. Padahal sebuah survei PEW Research Center (2013) di AS melaporkan lebih 50% responden memilih anak-anak lebih baik dengan ibu yang tidak memiliki pekerjaan dan berada di rumah sepanjang waktu. Melewatkan pengasuhan anak ternyata mempengaruhi kesejahteraan mental anak-anak. Bahkan di Swedia yang menjadi Top 4 dalam kesetaraan gender,4 lebih dari 90% anak dari usia 18 bulan hingga 5 tahun yang berada dalam penitipan anak justru memiliki masalah disiplin tertinggi di Eropa.
Begitu berat hidup berumah tangga. Tak pelak, turut berkembang perilaku menunda atau menghindari memiliki anak demi mengejar karier. Dengan menolak melahirkan, bagaimana mereka mampu mewujudkan fitrah keibuan yang telah diberikan Allah SWT? Apalagi kini dunia maju telah tertimpa population ageing, yakni jumlah kelahiran menurun drastis. Fatalnya, saat nafsu seksual perlu penyaluran, justru manusia sekular melakukan perbuatan terlaknat seks bebas, aborsi hingga LGBT sebagai gaya hidupnya.
Khatimah
Inilah fenomena kerusakan yang dirasakan di seluruh penjuru dunia. Bagaimanapun Kapitalisme beserta turunannya—demokrasi, liberalisme hingga kesetaraan gender—adalah sistem destruktif hingga mampu menghancurkan tatanan masyarakat. Untuk menghentikan destruksinya, butuh solusi struktural bukan individual ataupun komunal. Dunia butuh Khilafah. Negara yang memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada undang-undang kufur internasional dan memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam kaffah. Hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan kehidupan (Lihat: QS Thaha ayat 123). [Pratma Julia Sunjandari]
Catatan kaki:
1 https://www.weforum.org/agenda/2019/12/closing-gender-gap-accelerator/
2 https://twitter.com/unwomenasia/status/1206458962167697408?s=09
3 https://twitter.com/UN_Women/status/1212381725638189059
4 https://www.weforum.org/reports/gender-gap-2020-report-100-years-pay-equality