Perempuan Di Tampuk Kekuasaan Demokrasi
Kemenangan Kamala Harris sebagai wakil presiden perempuan pertama dalam sejarah AS sangat fenomenal.1 Harris dianggap memecah kebuntuan perempuan untuk menembus tampuk kekuasaan di negara pengekspor utama demokrasi. Keberpihakan pada partisipasi perempuan makin terasa nyata ketika pemenang Pilpres AS, Joe Biden, berkomitmen untuk menyusun kabinetnya dari perempuan berbagai kalangan.2
Tentu para pegiat jender bergembira dengan pencapaian tersebut. Pasalnya, sekian lama mereka berkampanye untuk meningkatkan jumlah perempuan di tampuk kekuasaan.
Peningkatan perempuan pemimpin memang menjadi salah satu fokus agenda global kesetaraan gender yang dipimpin oleh UNWomen. Apalagi hingga 25 tahun paska Deklarasi Beijing, dunia masih miskin perempuan pengambil keputusan. Hanya ada 10 kepala negara perempuan (6,6 persen) dan 12 kepala pemerintahan perempuan (6,2 persen) sebagaimana laporan Women in Politic Map 2020.3
Karena itu entitas perempuan PBB itu kian gencar memandu kampanye untuk mendudukkan perempuan sebagai pemimpin di seluruh dunia. Apalagi kepemimpinan perempuan dan partisipasi setara merupakan elemen kunci demokrasi dan dianggap prasyarat capaian pembangunan berkelanjutan.
Peringatan Hari Perempuan Internasional tahun 2021 yang akan datang pun dikaitkan dengan target tersebut. Temanya sangat tendensius: “Women in leadership: Achieving an equal future in a COVID-19 world”. Ini selaras dengan tema prioritas sidang ke-65 Komisi Status Perempuan: “Women’s full and effective participation and decision-making in public life, as well as the elimination of violence, for achieving gender equality and the empowerment of all women and girls”.4
Kepemimpinan Perempuan dan Pertumbuhan Ekonomi
‘Kamala Effect’ dianggap mampu meruntuhkan penghalang dan memberikan pengaruh positif bagi perempuan yang berambisi mengejar kursi pemerintahan. Fenomena itu relevan dengan Indonesia yang mengadakan Pilkada serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Pada Pilkada 2020 ini, memang banyak perempuan yang maju sebagai calon kepala daerah. Bahkan tingkat partisipasi calon perempuan tahun ini sebesar 10,6 persen, sedikit meningkat dari Pilkada 2018, dengan partisipasi 8.85 persen perempuan calon kepala daerah.5
Terpilihnya Harris dianggap dapat menjadi inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk tampil di pentas politik.6 Penekanannya bahwa perempuan adalah kandidat yang paling mengerti aspirasi sesama kaumnya,7 dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mampu memberdayakan perempuan serta memastikan pemberdayaan itu.8
Kepemimpinan perempuan menjadi mimpi dunia sejak deklarasi Beijing Platform for Action (BPfA) tahun 1995 yang menetapkan 12 area kritis pemenuhan hak perempuan. Salah satu di antaranya adalah area ke tujuh tentang “Perempuan dalam Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan”. Area ke tujuh ini mengharuskan 189 negara-negara yang ikut menandatangani BPfA untuk mengambil langkah-langkah yang menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan.9
Keberadaan pemimpin perempuan pada posisi pengambilan keputusan politik tingkat tinggi diyakini akan menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat.10 Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan jumlah perempuan pemimpin. Apalagi the Global Gender Gap Report 2020 menyebutkan kesetaraan gender dalam politik baru akan tercapai dalam waktu 95 tahun.11
Kepemimpinan perempuan menjadi penting. Ia dianggap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dunia mengklaim, makin banyak perempuan bekerja dan berada pada posisi kepemimpinan, makin meningkat pertumbuhan dan produktivitas ekonomi.12
Berbagai penelitian IMF dari beragam perspektif dengan jelas menunjukkan manfaat ekonomi dari promosi kebijakan kesetaraan gender. Banyaknya perempuan dalam angkatan kerja dan di posisi yang lebih tinggi tidak hanya menguntungkan perempuan, namun juga menguntungkan bisnis dan ekonomi negara mereka.13
Perempuan pemimpin sangat strategis untuk membuka keran partisipasi perempuan dalam lapangan kerja, yang masih menjadi persoalan saat ini. Arus pekerja perempuan jelas ditunggu para kapitalis untuk menjaga kelangsungan bisnis dan mendongkrak keuntungan yang mereka terima. Inilah sesungguhnya yang disasar Barat. Mereka mendorong perempuan berada dalam tampuk kekuasaan. Tujuannya agar mereka menjadi perpanjangan tangan kepentingan kapitalis.
Laporan McKinsey Global Institute (MGI) tahun 2015 menyebutkan bahwa dalam skenario potensi penuh perempuan, saat perempuan setara dengan laki-laki, maka PDB tahunan global pada tahun 2025 dapat bertambah sebanyak $28 triliun atau 26 persen.14 Jelas, ini keuntungan yang sangat menggiurkan bagi para pemilik modal.
Bukan Solusi atas Persoalan Perempuan
Direktur Eksekutif UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka mengatakan jika lebih banyak perempuan dalam posisi pengambilan keputusan politik tingkat tinggi, hal itu akan mengarah pada kebijakan yang menguntungkan seluruh masyarakat.15
Pertemuan World Economic Forum Januari 2020 menyatakan pemberdayaan perempuan adalah kunci dari kenaikan pendapatan suatu bangsa yang akan menentukan kemajuan negara.16 Narasi yang sangat manis didengar telinga. Namun sejatinya, narasi tersebut hanya angan-angan kosong.
Mungkin benar jargon ‘perempuan pemimpin lebih memahami perempuan dan persoalannya’, namun keberadaan perempuan pemimpin tidak serta-merta menyelesaikan berbagai persoalan yang menimpa kaumnya. Banyak faktor yang saling terkait hingga memicu kemunculan berbagai persoalan perempuan. Berbagai faktor tersebut sesungguhnya bermuara pada sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yaitu demokrasi kapitalis.
Demokrasi dengan jargon kebebasannya memastikan pihak yang kuatlah yang akan menang dan berkuasa. Perempuan pemimpin hanya menjadi simbol liberalisme itu. Selebihnya, kekuasaan sebenarnya masih bertumpu di tangan para pemilik modal. Demokrasi yang menaungi kekuasaan di era Kapitalisme akan selalu meniscayakan oligarki kekuasaan. Dengan demikian kepentingan para oligarklah yang akan menjadi pengendali kekuasaan, bukan keberpihakan pada kepentingan perempuan. Karena itu nasib perempuan tetap terpinggirkan, bahkan legal atas nama undang-undang, sebagaimana legislasi UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Perempuan dalam Naungan Khilafah Islam
Islam telah melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan. Rasulullah saw. bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَة
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada perempuan (HR al-Bukhari).
Oleh karena itu, haram hukumnya seorang Muslimah menduduki tampuk kekuasaan atau-pun menerima jabatan terkait pemerintahan.
Namun, bukan berarti Islam menafikan peran politik perempuan. Meskipun Islam mengharamkan perempuan menjadi penguasa, Islam memperbolehkan partisipasi politik seorang Muslimah dalam batas-batas yang ditetapkan syariah. Seorang Muslimah boleh untuk menjadi anggota partai politik dan terlibat dalam kegiatan politik seperti melakukan muhasabah lil hukkam dan memilih pemimpin. Perempuan juga diizinkan menjadi anggota Majelis Ummah yang merupakan lembaga perwakilan umat dalam struktur pemerintahan Khilafah Islam.
Lebih dari itu, dalam Islam, perempuan dijamin hidup sejahtera, tanpa perlu jargon kesetaraan. Meski Khalifah sebagai pemimpin negara Islam adalah laki-laki, Islam mengharuskan dia memperhatikan kebutuhan perempuan sebagaimana halnya kebutuhan laki-laki. Pasalnya, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai rakyat. Islam memiliki sistem ekonomi yang handal. Dengan itu Khilafah mampu menjamin nafkah perempuan tanpa mengharuskan mereka untuk bekerja. Kalaupun mereka bekerja, upah mereka terjamin sesuai dengan kontrak kerja berdasar profesionalitas. Islam juga memiliki berbagai mekanisme untuk menjamin nafkah perempuan, mulai dari nafkah walinya, santunan negara, sedekah dan zakat bagi perempuan yang tidak mampu.
Islam juga melindungi hak-hak perempuan sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Untuk itu, Islam tidak membutuhkan kesetaraan jender karena syariah memuliakan dan menghormati perempuan sebagaimana laki-laki. Islam juga menjamin perlindungan perempuan tanpa harus mendudukkan mereka sebagai pemimpin di tampuk kekuasaan.
Jelaslah, hanya naungan Khilafah Islam yang mampu membuat perempuan hidup aman, sejahtera dan mulia. [Arum Harjanti]
Catatan Kaki:
2 https://www.harianaceh.co.id/2020/11/13/inikah-para-wanita-calon-potensial-untuk-kabinet-biden/
3 Women in Politic Map 2020
4 https://www.unwomen.org/en/news/stories/2020/11/announcer-international-womens-day-2021
6 https://www.genpi.co/polhukam/69876/pelajaran-dari-pilpres-as-psi-rasisme-harus-dilawan
9 https://beijing20.unwomen.org/en/about
11 https://www.weforum.org/reports/gender-gap-2020-report-100-years-pay-equality
12 https://www.apec.org/Press/News-Releases/2019/0430_PPWE#:~:text=Studies%20show%20that% 20more%20women,transformation%20by%20pro moting%20more%20women.&text=%E2%80 %9CThe%20private%20sector%20plays %20a%20very%20important%20role.
13 https://blogs.imf.org/2020/03/03/on-board-with-more-women-in-leadership/
15 https://www.ipu.org/news/press-releases/2020-03/in-2020-world-cannot-afford-so-few-women-in-power