Jangan Tembak!
Sebagian publik menyoroti tindakan polisi yang menembak dengan peluru tajam sehingga mengakibatkan warga Seruyan, Kalimantan Tengah meninggal. Dua lainnya dikabarkan kritis.
Dalam kasus ini Propam Polda Kalimantan Tengah diharapkan memeriksa aparat yang melesatkan peluru ke arah warga Bangkal, Seruyan, Kalteng. Polri didorong untuk mengusut peristiwa meninggalnya warga dengan menurunkan Propam dan memeriksa aparat yang menembak dengan peluru tajam. Apakah terjadi pelanggaran prosedur dan pidana dalam penanganan demo warga sehingga terjadi insiden yang mengakibatkan seorang warga meninggal.
Sejumlah pihak juga menyayangkan aparat yang menggunakan peluru tajam dalam menangani aksi. Peluru tajam boleh digunakan jika ada serangan dari pendemo yang membahayakan nyawa warga dan petugas.
Mungkin terlihat di lapangan bahwa masyarakat yang demo itu membawa senjata tajam. Namun, perlu dipertimbangkan tradisi masyarakat yang kebiasaannya membawa senjata di wilayah tersebut entah untuk kerja di lapangan atau apa.
Penanganan aksi yang tepat adalah menggunakan gas air mata dan tameng. Senjata hanya digunakan untuk melumpuhkan dan bukan membunuh. Sebelum menggunakan senjata api, mesti ada aba-aba dan memperingatkan pendemo yang akan menyerang. Setelah diberi peringatan, baru dilakukan tembakan peringatan dengan membidik kaki. Menjadi persoalan serius jika langsung tembak dada.
Alhasil, harus diperiksa apakah prosedur dilakukan dan apakah korban ini membahayakan petugas atau masyarakat. Terkait pihak yang harus dimintai pertanggung jawaban, komandan lapangan dan atasannya harus segera diperiksa dengan cermat dan terbuka. Agar tidak terulang, Satgas Investasi wajib memberikan panduan penanganan konflik agraria dan mengedepankan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kami meminta aparat cermat dalam menggunakan senjata serta menghormati hak masyarakat adat.
Menyikapi konflik agraria yang sering terjadi di Nusantara, Islam mewajibkan negara melindungi kepemilikan rakyat termasuk tanah. Tidak boleh ada seorang pun yang menggusur tanah milik rakyat meskipun negara. Sebagaimana kisah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang didatangi seorang Yahudi yang rumahnya digusur oleh Gubernur Mesir Amru bin al-‘Ash. Yahudi tersebut mengadu kepada Khalifah Umar. Khalifah Umar pun memberikan tulang yang diberikan goresan lurus agar tulang itu disampaikan kepada gubernurnya. Ketika tulang itu diberikan, wajah Amru bin al-‘Ash pucat pasi. Saat itu pula ia mengembalikan rumah Yahudi yang ia gusur.
Inilah contoh perlindungan negara kepada rakyat. Perlindungan bisa diberikan dalam bentuk pemberian bukti kepemilikan berupa sertifikat. Dengan begitu hak kepemilikan tanah bagi rakyat tidak ada yang bisa mengganggu gugat, bahkan mengambil secara paksa. [Nanang Setiawan; (Ketua Aliansi Buruh Indonesia)]