Opini

Memutus Mata Rantai Koruptor

Korupsi adalah problem serius di negara ini. Korupsi bukan monopoli elit partai atau penguasa. Di negeri ini semangat mencuri uang negara telah dipraktikkan generasi di kalangan birokrasi. Seakan telah terjadi regenerasi koruptor.

Para koruptor muda maupun tua itu seperti bunglon yang mudah bersalin warna. Di depan televisi mereka membungkus diri sebagai pembela rakyat. Cukup memprihatinkan, melihat kaderisasi dan regenerasi koruptor yang kian berkembang.

Di kalangan masyarakat bawah ada semacam sindiran tentang koruptor di Indonesia, “Setelah mengeruk uang negara, koruptor justru mendapat berbagai fasilitas. Koruptor bergelimang duit. Dia menjadi kaya-raya hingga tujuh keturunan karena menilap duit negara. Jika perbuatan para koruptor terbongkar oleh KPK, polisi, atau kejaksaan, mereka tak perlu terlalu khawatir. Toh, negara melalui mekanisme hukum telah menyiapkan banyak kenikmatan dan fasilitas lain.”

Entah karena memang sudah ‘putus asa’, atau sekadar ekspresi emosional sesaat, atau memang bentuk keseriusan dalam memerangi korupsi, sejumlah kalangan lantas mengajukan kembali wacana untuk menindak tegas para koruptor. Paling tidak, ada tiga usulan yang dilontarkan oleh sejumlah tokoh di seputar perlunya menghukum secara tegas para koruptor, yaitu: hukuman mati, pembuktian terbalik dan pemiskinan.

Wacana tentang perlunya menindak tegas para koruptor boleh saja terus bergulir. Termasuk kemungkinan pemberlakuan hukuman mati. Namun persoalannya, di tengah karut-marutnya sistem hukum di negeri ini, didukung oleh banyaknya aparat penegak hukum yang bermental bobrok (baik di eksekutif/pemerintahan, legislatif/DPR maupun yudikatif/peradilan), termasuk banyaknya markus yang bermain di berbagai lembaga pemerintahan (ditjen pajak, kepolisian, jaksa, bahkan hakim dll), tentu wacana menindak tegas para koruptor hanya akan tetap menjadi wacana.

Pasalnya, wacana seperti pembuktian terbalik maupun hukuman mati bagi koruptor bakanlah hal baru. Ini mudah dipahami karena banyaknya kalangan (baik di Pemerintahan, DPR maupun lembaga peradilan) yang khawatir jika hukuman yang tegas itu benar-benar diberlakukan, ia akan menjadi senjata makan tuan, alias membidik mereka sendiri.

Semua langkah dan cara di atas memang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam, mustahil bisa dilaksanakan dalam sistem sekular yang bobrok ini. Karena itu perjuangan untuk menegakkan sistem Islam dalam wujud tegaknya syariah Islam secara total dalam negara (yakni Khilafah Islam) tidak boleh berhenti. Sebab, tegaknya hukum-hukum Allah jelas merupakan wujud nyata ketakwaan kaum Muslim. Jika kaum Muslim bertakwa, pasti Allah SWT akan menurunkan keberkahannya dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96). [Mahfud Abdullah ; (Direktur Indonesia Change)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + one =

Back to top button