
Omong-Kosong Kedaulatan Rakyat
Dalam demokrasi dikenal slogan, “Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan).” Karena itulah inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Dalam bahasa Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun demikian, semua klaim di atas hanyalah omong-kosong. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang selama ini berdaulat (berkuasa penuh) bukanlah rakyat, tetapi para elit (sekelompok kecil) wakil rakyat, termasuk oligarki (sekelompok kecil) penguasa dan pengusaha. Mengapa bisa begitu?
Pasalnya, Pemilu dalam demokrasi menjadikan suara terbanyak sebagai ukuran, sementara banyaknya perolehan suara bergantung pada tingkat popularitas partai dan para calegnya. Dalam sistem semacam ini, tentu ketergantungan partai maupun para caleg terhadap kebutuhan modal (uang) sangatlah besar, yaitu untuk mendongkrak popularitas partai maupun para calegnya. Karena itu tidak aneh jika partai dan para calegnya membutuhkan dana ratusan juta hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu. Dari mana dananya, sementara kebanyakan partai dan para caleg tidak memiliki dana dalam jumlah besar. Dari sinilah keberadaan pengusaha/para pemilik modal menjadi sangat penting bagi partai/para caleg.
Para pengusaha/pemilik modal pun memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya. Dalam kondisi demikian, gayung bersambut. Partai dan para caleg akhirnya bekerjasama sekaligus membuat semacam ‘kontrak politik’ yang saling menguntungkan dengan para pengusaha/pemilik modal. Celakanya, sering terjadi, dana dalam jumlah besar itu justru hanya dimiliki oleh pihak asing. Lalu mengucurlah dana dari mereka kepada partai-partai/para caleg yang diperkirakan bakal meraih suara cukup banyak. Akibatnya, keterlibatan asing dalam ‘money politic’ untuk menyokong partai atau para caleg tertentu sering terjadi. Tentu tidak secara terbuka dan terang-terangan. Kenyataan ini—meski sulit dibuktikan—sering terjadi setiap menjelang Pemilu dan sudah banyak diungkap oleh sejumlah kalangan.
Akhirnya, bisa diduga, saat partai/para caleg yang disokong para pengusaha/pemilik modal—khususnya pihak asing—itu berhasil duduk di DPR atau menduduki kursi kekuasaan, politik ‘balas budi’ pun terjadi. Bahkan para penguasa/pemilik modal dan pihak asing kemudian bisa mendikte penguasa dan DPR. Pada akhirnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para pengusaha/para pemilik modal dan pihak asing tersebut. Karena itulah wajar jika kemudian penguasa/DPR akan membuat kebijakan dan UU yang selaras dengan kepentingan mereka, bukan demi kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Lahirnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Omnibuslaw, UU Minerba dll jelas harus dibaca dari sisi ini. Pasalnya, semua UU tersebut jelas-jelas ditujukan hanya demi melayani kepentingan pengusaha/pemilik modal, termasuk pihak asing, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi obyek pesakitan seraya terus memendam impian perubahan, yang entah kapan bisa terwujud. [Yuli Sarwanto]