Opini

Politik APBN Dalam Sistem Islam

APBN Indonesia banyak kekurangan. Berbeda dengan APBN dalam sistem Khilafah. APBN-nya tidak disusun tiap tahun. Pasalnya, baik anggaran pendapatan maupun belanjanya merupakan hukum syariah yang sudah baku. Tidak membutuhkan pembahasan atau musyawarah. Mengenai besarannya juga demikian. Ini mengikuti hukum pokoknya. Meski diserahkan kepada Khalifah, pada dasarnya khalifah tetap menginduk pada hukum pokok tersebut. Hanya saja, Khalifah diberi hak untuk menentukan besaran tersebut sesuai dengan pandangannya.

Dengan mekanisme seperti ini, di dalam Khilafah tidak ada masalah yang terkait dengan penyusunan APBN. Dengan cara yang sama, sistem ini telah mampu mengiliminasi potensi konflik kepentingan antara partai pemerintah dan oposisi, yang bertarung untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan begitu, rakyat tidak akan menjadi korban politik kepentingan. Negara juga tidak akan mengalami Government Shutdown.

Dengan mekanisme yang simpel, yaitu keputusan di tangan Khalifah, tidak akan terjadi pembahasan APBN yang bertele-tele, dan melelahkan. Pasalnya, semua keputusan ada di tangan khalifah. Bahkan Majelis Umat pun tidak diberi hak untuk membahas untuk mencampuri masalah APBN ini. Ini bukan wilayah yang harus dibahas dengan mereka. Jika pun memberi pandangan, pandangan mereka tidak memiliki kekuatan hukum. Pendapat mereka dalam hal ini tidak bersifat mengikat.

Dengan mekanisme seperti ini, negara tidak akan mengalami masalah, baik ketika APBN normal ataupun membengkak. Ketika APBN membengkak pun, dengan mudah Khalifah langsung membuat keputusan. Tidak perlu menunggu majelis umat. Pasalnya, masalah membengkaknya anggaran ini hanya terkait dengan besarannya, yang nota bene merupakan derivasi dari hukum-hukum pokok yang terkait dengan APBN tadi.

Masalah timbul, ketika pendapatan APBN tersebut tidak bisa menutupi besaran belanjanya. Dalam kondisi seperti ini, Khalifah mengambil sejumlah langkah yang memang dibenarkan oleh syariah. Di antaranya dengan mengambil pajak dari kaum Muslim, laki-laki dan dewasa. Ini dialokasikan untuk: (1) Menutupi kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil dan jihad fi sabilillah; (2) Menutupi kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali); (3) Menutupi kebutuhan Baitul Mal untuk kemaslahatan publik yang bersifat vital, seperti jalan raya, penggalian sumber air, pembangunan masjid, sekolah dan rumah sakit;

(4) Menutupi kebutuhan Baitul Mal karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi.

Pajak yang diambil oleh Khilafah dalam hal ini bersifat darurat. Hanya boleh diambil sebatas untuk menutupi kebutuhan di atas. Tidak lebih.

Hanya saja, selain opsi pengambilan pajak ini, Khilafah juga dibenarkan untuk mencari dana talangan (pinjaman) jika kondisinya sangat kritis.

Kebolehan mencari dana talangan (pinjaman), karena kondisi darurat, dan dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kerusakan tersebut dialokasikan untuk menutupi beberapa kebutuhan, antara lain: (1) Kebutuhan fakir, miskin, ibn sabil, jihad fi sabilillah; (2) Kebutuhan yang merupakan kompensasi, seperti gaji PNS, tentara, dan para hukkam (Khalifah, Mu’awin Tafwidh dan Wali); (3) Kebutuhan karena  kondisi darurat, seperti untuk mengatasi paceklik, angin taufan dan gempa bumi. [Aminudin Syuhadak ; (Direktur LANSKAP)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − two =

Back to top button