Komparasi Indonesia-Suriah
Beberapa bulan terakhir ini, muncul jargon “Jangan Suriahkan Indonesia” untuk memojokkan dakwah syariah dan khilafah. Kesan yang diinginkan pengujar kalimat itu adalah, bahwa kemelut di Suriah muncul dari sekelompok orang yang memperjuangkan syariah dan khilafah. Konon salah satu cara yang digunakan kelompok ini adalah provokasi pendiskreditan pemerintahan [Presiden Basyar Assad]. Tujuannya agar rakyat berani aksi turun ke jalan, beramai-ramai minta parlemen atau tentara menurunkan [Basyar Assad], yang partainya telah memerintah Suriah nyaris sendirian sejak 8 Maret 1963 dan ayahnya Hafiz Assad menjadi presiden sejak 1971 hingga matinya tahun 2000.
Gelombang aksi melawan dirinya itu dijawab Basyar dengan mengirim tentara berikut alat-alat tempurnya untuk menembaki rakyatnya sendiri. lalu meletuslah revolusi Suriah mengikuti revolusi Arab musim semi pada 2011.
Untuk membuktikan valid tidaknya jargon “Jangan Suriahkan Indonesia”, kita akan lihat dulu perbandingan latar belakang Indonesia–Suriah, kemudian beranjak ke sejarah modern Suriah dan akar kemelut saat ini.
Perbandingan Latar Belakang Indonesia-Suriah
Dari sisi demografi, Indonesia terdiri dari 300 suku bangsa. Adapun Suriah hanya terdiri dari 7 suku bangsa, yaitu Syrian Arabs, Arameans, Kurds, Turkomans, Assyrians, Circassians dan Armenians. Sejumlah 300 suku bangsa di Indonesia itu menggunakan lebih dari 700 bahasa dan dialek lokal. Adapun 7 suku bangsa di Suriah semua berbahasa Arab.
Dari sisi agama, Indonesia menurut Sensus 2010 terdiri dari 87,2% Islam, 9,9% Kristen (7% Protestan, 2,9% Katholik). Sisanya Hindu, Budha dan Konghucu. Di Suriah hampir sama: 87% Islam, 10% Kristen (Orthodox Suriah) dan 3% Druze (agama sinkretis Syiah-Ismailiyah, Hindu dan ajaran-ajaran filsafat kuno).
Dari sisi pemerintahan, Indonesia adalah republik kesatuan multipartai yang dipimpin seorang presiden dan wakil presiden. Adapun Suriah adalah republik dengan satu partai yang mendominasi dan dipimpin oleh seorang presiden, sedangkan urusan sehari-hari dilakukan oleh seorang perdana menteri. Di Indonesia legislasi dilakukan oleh MPR, DPD dan DPR. Di Suriah oleh suatu Dewan Rakyat.
Suriah dibentuk sebagai Kerajaan Arab Suriah pada 8 Maret 1920 pasca kalahnya Khilafah Utsmani dalam Perang Dunia II. Pada 1 Desember 1924, Suriah ada di bawah mandat Prancis yang ditunjuk oleh Liga Bangsa-Bangsa menangani warisan Khilafah Utsmani yang telah dibubarkan. Pada 24 Oktober 1945, pasca Perang Dunia II, Suriah diberi kemerdekaan dengan berakhirnya mandat ke Prancis. Pada 17 April 1946 Suriah diproklamirkan sebagai republik. Pada 8 Maret 1963, sesaat setelah perginya tentara Prancis terakhir, terjadi kudeta oleh Partai Ba’ats, yang tetap berkuasa hingga hari ini.
Secara ekonomi, luas Suriah kurang dari sepersepuluh daratan Indonesia, yakni hanya 185.183 km2. Sebagian besarnya juga padang pasir. Dari sisi penduduk, perkiraan terakhir Indonesia dihuni oleh 261 juta orang. Adapun Suriah hanya sekitar 18 juta orang. Produk Demestik Bruto (GDP) perkapita Suriah menurut daya belinya adalah US$ 5.040/tahun, sedangkan Indonesia adalah US$ 13.162 walaupun nominalnya di Suriah adalah US$ 2,802 sedang di Indonesia US$ 4.052. Lalu rasio Gini sebagai indikator pemerataan di Suriah termasuk tinggi, yaitu 55,8, dibandingkan dengan 39,5 di Indonesia. Secara umum, dapat dikatakan, bahkan sebelum perang saudara pun, Suriah tidak lebih maju dari Indoneisa. Ini adalah salah satu bagian yang memotivasi rakyat Suriah yang menginginkan perubahan untuk ikut dalam aksi protes untuk mengganti presiden atau bahkan sistem yang sedang berkuasa.
Sejarah Modern Suriah
Suriah menjadi republik merdeka pada tahun 1946 setelah bertahun-tahun diperintah Prancis pasca Perang Dunia II. Pemerintahan demokratis di Suriah berakhir dengan kudeta pada Maret 1949. Diikuti dua kudeta lagi pada tahun yang sama. Pemberontakan yang populer terhadap kekuasaan militer pada 1954 merencanakan transfer kekuasaan tentara kepada sipil. Dari tahun 1958 hingga 1961, Suriah sempat singkat bergabung dengan Mesir menjadi Republik Persatuan Arab. Pada 1963 terjadi kudeta oleh Partai Ba’ats yang sekuler sekalipun dalam ritual keagamaan berhaluan Syiah Alawiyah/Ismailiyah (Syiah yang meyakini sifat ketuhanan Ali).
Pada Maret 1971, Hafiz Assad, mendeklarasikan diri sebagai presiden. Pada 31 Januari 1973, Hafiz Assad menerapkan konstitusi yang tidak mengharuskan presiden Suriah seorang Muslim. Demonstrasi sengit terjadi di banyak kota yang diorganisir oleh Ikhwanul Muslimin dan para ulama. Secara sporadis di beberapa tempat juga terjadi perlawanan bersenjata. Namun, Assad dapat mempertahankan kedudukannya itu hingga kematiannya pada tahun 2000.
Sejak tahun 1970, Suriah yang sekular menganut mazhab satu partai. Pemilihan multi-partai pertama menuju Dewan Rakyat Suriah baru terjadi pasca revolusi Arab musim semi, yaitu tahun 2012.
Setelah kematian Hafiz Assad pada tahun 2000, putranya Basyar Assad menggantikan dia sebagai presiden Suriah. Basyar Assad dan istrinya Asma, seorang Muslim Sunni yang lahir dan dididik di Inggris, pada awalnya menginspirasi harapan untuk reformasi demokratis. “Musim Semi Damaskus”, periode perdebatan sosial dan politik, terjadi antara Juli 2000 dan Agustus 2001 pasca kematian Hafiz Assad. Namun, ini semua berakhir pada Agustus 2001 dengan penangkapan dan pemenjaraan sepuluh aktivis terkemuka yang menyerukan pemilu demokratis dan pembangkangan sipil.
Menurut pendapat pengritiknya, Basyar Assad gagal memenuhi reformasi yang dijanjikan. Basyar Assad menyatakan bahwa tidak ada ‘oposisi moderat’ terhadap pemerintahannya, dan bahwa semua kekuatan oposisi adalah para jihadis yang berniat menghancurkan kepemimpinan sekularnya. Dalam sebuah wawancara April 2017 dengan koran Kroasia, Vecernji List, dia menegaskan kembali pandangannya bahwa kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Suriah ‘terkait dengan agenda negara-negara asing’.
Perkembangan Politik Suriah
Suriah sejak tahun 1963 memang dekat dengan Russia karena Partai Baats menganut ideologi sosialis. Kemudian sejak 1979 dekat dengan Iran, tidak hanya karena kesamaan mazhab keagamaan, yaitu Syiah. Lebih dari itu, karena Iran berseberangan dengan Amerika Serikat, yang merupakan sekutu Israel, musuh bebuyutan Suriah.
Sejak revolusi Arab musim semi, Amerika memang punya kepentingan untuk mengganti pemimpin Suriah agar lebih akomodatif pada kepentingan Amerika di kawasan. Namun, Amerika masih ingin “bermain cantik” dengan tidak bertindak langsung. Lebih efisien bagi Amerika untuk menunggangi pihak oposisi selama tetap bisa dikendalikan.
Namun, di antara oposisi ada yang tak ingin revolusi yang dikendalikan Amerika. Ibarat lepas dari mulut beruang Rusia masuk mulut elang Amerika! Ini tentu tidak membuat Amerika senang. Mereka yang bertindak independen itu biasanya tidak hanya ingin mengganti Basyar, tetapi juga mengganti sistem dengan menegakkan Islam atau bahkan Khilafah.
Karena itulah hal ini kemudian dicoba dikanalisasi oleh Amerika dengan operasi intelijen membentuk ISIS. Mereka yang menginginkan sistem khilafah dikanalisasi dan dipermudah untuk berpindah ke wilayah yang dikontrol ISIS. Selain itu mereka dibuat takut dan ngeri dengan ISIS. Beberapa rekaman video dari eksekusi-eksekusi tahanan ISIS dibuat viral di dunia.
Amerika kemudian berusaha hadir di Suriah secara legitimated, yakni untuk memerangi ISIS yang sudah disahkan oleh PBB sebagai organisasi teroris. Sebagai tamu terhormat, Amerika tidak akan membuka front dengan rezim yang di belakangnya ada Russia. Namun, dengan dalih memerangi ISIS, Amerika bisa ikut menjatuhkan bom di area oposisi yang tidak dapat dikontrolnya.
Muncullah “perang saudara” (civil war) di Suriah. Setidaknya terdapat tiga front, yakni pihak Pemerintah Basyar Assad (yang dibantu Rusia dan Iran), oposisi yang dibantu Amerika dan oposisi yang independen.
Peta berikut mungkin bisa dijadikan acuan dalam melihat konstelasi terkini para pihak dalam perang Suriah. Yang terluas terlihat memang area yang dikontrol pasukan Pemerintah Suriah, yang dibantu Russia dan Iran. Yang kedua adalah oposisi Federasi Suriah Utara yang berhaluan moderat (pro-Amerika). Selebihnya jauh lebih kecil adalah Barisan Ahrar as-Syam, kelompok pro Turki-Erdogan, ISIS dan kelompok al-Nusra yang menginginkan Khilafah.
Situasi militer dalam Perang Suriah per 22 Mei 2018:
Dikontrol oleh pemerintah Republik Arab Suriah.
Dikontrol oleh Federasi Suriah Utara.
Dikontrol oleh Oposisi Suriah & Ahrar as-Syam.
Dikontrol oleh kelompok pro Turki
Dikontrol oleh ISIS.
https://en.wikipedia.org/wiki/Islamic_State_of_Iraq_and_the_Levant
Dikontrol oleh Tahrir as Syam (an Nusra).
Beda dengan Indonesia
Sejarah politik Suriah ini sangat berbeda dengan Indonesia. Pada zaman Khilafah masih tegak, Suriah adalah negara inti. Adapun kesultanan-kesultanan di Nusantara adalah “negara satelit”. Suriah baru benar-benar terjajah pasca runtuhnya Daulah Utsmani. Kemerdekaan Suriah direkayasa oleh penjajah. Penguasa yang dimunculkan adalah yang sekular sejati. Revolusi Suriah saat ini adalah pertarungan antara kekuatan Amerika dan Suriah yang berebut pengaruh. Ini sudah terjadi di Indonesia di tahun 1960-an. Penguasa diktator di Indonesia juga sudah ditumbangkan tahun 1998. Kalaupun sekarang di Indonesia ada perebutan pengaruh, itu adalah Amerika dengan Tiongkok.
Dengan melihat fakta seperti ini, kita jadi tahu bahwa jargon “Jangan Suriahkan Indonesia” ini ternyata lebih bermuatan politis daripada merefleksikan kenyataan. Indonesia memiliki karakteristik alam dan sosial politik yang amat berbeda dengan Suriah. Lantas apa yang benar-benar akan “mensuriahkan Indonesia”?
Indonesia akan berubah menjadi negeri penuh kemelut, bahkan perang, sebagaimana Suriah jika: Pertama, rezim yang berkuasa gagal mensejahterakan rakyat. Meskipun rezim sekarang ini rajin membangun infrastruktur, infrastruktur seperti jalan tol sering hanya terpakai saat musim mudik saja. Sebaliknya adanya jalan tol sering justru mematikan sektor usaha yang berada di sepanjang jalan arteri. Di sisi lain, nasib guru honorer dari seluruh Indonesia ternyata dilupakan, sampai mereka datang demo di depan istana hingga bermalam, dan tetap tidak ditemui.
Kedua, rezim yang berkuasa anti aspirasi. Mereka tidak hanya membiarkan persekusi terhadap para narasumber yang diundang oposisi, tetapi bahkan industri pers pun mulai “dikondisikan”. Jadi tak perlu heran, bila presiden meresmikan pemasangan listrik di sebuah desa diberitakan, tetapi peristiwa besar di ruang publik (seperti aksi 212 dengan jutaan peserta) tidak diberitakan.
Ketiga, rezim gemar mengadu-domba rakyat. Karena sistem demokrasi menjadikan berpendapat itu hak asasi manusia, maka bila ada tokoh atau ornas yang pendapatnya berseberangan, rezim kesulitan membungkam atau membubarkannya begitu saja. Rezim lebih suka “membayar” tokoh atau ormas tertentu untuk memusuhi para oposan itu dengan aneka program berkedok deradikalisasi, toleransi atau kebangsaan. Kemudian bila terjadi bentrokan, rezim tinggal menghukum tokoh dan ormas yang dia target. Penegakan hukum “suka-suka kami”.
Keempat, rezim membiarkan campur tangan asing dalam segala urusan, baik politik, ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya. Asing baik Amerika atau Tiongkok menyusup di berbagai kementerian; menghasilkan berbagai peraturan yang saling bertentangan. Kalau ada reaksi publik, peraturan seperti itu sering hanya berusia beberapa hari saja sebelum dibatalkan.
Hal-hal semacam ini, andaikata tak ada, tentu akan membuat negara terasa lebih hadir dan berwibawa sehingga rakyat tidak merasa perlu untuk mengganti presiden apalagi sistemnya. Jadi, menuduh seruan dakwah syariah dan khilafah akan membuat negeri ini berkemelut seperti Suriah, itu salah sasaran.
Alhasil, latar belakang alam, sosial politik dan sejarah Indonesia berbeda dengan Suriah. Tuduhan bahwa seruah dakwah syariah dan khilafah akan membuat negeri ini berkemelut seperti Suriah, itu jelas ahistoris dan salah sasaran.
WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar; Dosen Luar Biasa Universitas Pertahanan (Unhan)]