Menyoal TWK Ala KPK
Kontroversi TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) pegawai KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk alih status menjadi ASN (aparatur sipil negara) ramai mengisi ruang opini di negeri ini sejak awal Mei 2021 sampai sekarang.
Setelah diadakan rapat antara pimpinan KPK, BKN (Badan Kepegawaian Negara) dan pihak-pihak terkait, terdapat 51 orang pegawai KPK dinyatakan tak lulus TWK dengan indikator “merah” dan menjadi “harga mati” tak bisa melanjutkan karirnya di KPK. Sangat besar kemungkinan 51 orang ini akan dipecat dari KPK per November 2021. Sebanyak 24 orang pegawai KPK lainnya yang awalnya tidak lulus, dinyatakan masih bisa dibina melalui diklat bela negara dan wawasan kebangsaan karena tidak terdapat indikator “merah”.
Menurut pengumuman resmi, klaster indikator “merah” atau indikator “harga mati” adalah terkait PUNP (Pancasila, UUD 1945 dan seluruh turunan perundang-undangannya, NKRI, Pemerintah yang sah). Namun, sampai saat ini publik tak pernah mendapatkan pengumuman resmi terkait poin-poin pertanyaan apa saja yang masuk dalam klaster indikator ini dan apa standar jawaban yang sesuai wawasan kebangsaan yang dimaksud. Akhirnya, polemik pun terus bergulir.
TWK KPK Terindikasi Phobia Islam
Ramai beredar beberapa pertanyaan dalam TWK yang penuh kontroversi dan banyak dipertanyakan oleh publik. Misalnya, pilih mana al-Quran atau Pancasila, dan terus didesak untuk memilih salah satu. Pertanyaan ini absurd, karena bagi umat Islam, al-Quran adalah pedoman dan tuntunan hidup yang menentukan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Banyak kalangan yang menerima Pancasila karena anggapan tidak bertentangan dengan al-Quran. Pertanyaan dalam TWK ini malah mempertegas bahwa Pancasila berbeda dengan al-Quran dan bernuansa sekularistik, pemisahan agama dengan kehidupan. Dengan berpegang teguh pada al-Quran maka pegawai KPK malah akan memiliki kekuatan ruhiyah yang menjadikan mereka tidak takut dalam aktifitas pemberantasan korupsi. Namun, sikap tidak takut kecuali hanya kepada Allah ini sepertinya menjadi indikator “merah” yang menyebabkan beberapa pegawai KPK tak lulus TWK.
Pertanyaan kepada pegawai perempuan soal lepas jilbab dan bila enggan lepas jilbab dianggap lebih mementingkan diri sendiri daripada bangsa dan negara adalah pertanyaan yang juga absurd. Di dalam Islam, seorang Muslimah setelah balig memiliki kewajiban menutup auratnya dengan mengenakan kerudung dan jilbab. Sikap istiqamah mengenakan jilbab adalah sikap yang terpuji dalam Islam. Sikap demikian bukanlah intoleran. Tak akan merusak bangsa dan negara. Sikap istiqamah dalam berjilbab malah akan berdampak pada sikap tegas kepada koruptor sebagai bentuk ketaatan pada Allah SWT.
Pertanyaan kontroversial lainnya adalah terkait Islamnya Islam apa, ikut pengajian apa, ustadz idola/favoritnya siapa, terkait doa qunut. Pertanyaan ini sangat tendensius. Tak ada kaitannya dengan wawasan kebangsaan dan pemberantasan korupsi. Dikhawatirkan pertanyaan demikian malah akan memecah-belah bangsa dan Negara. Pasalnya, antar kelompok Islam, jenis peribadatan dan ustadz akan dibelah antara yang “radikal” dan “moderat” dan ujungnya menimbulkan adu domba. Bukankah hal demikian adalah remote Barat untuk memecah-belah umat Islam seperti yang dimuat dalam dokumen Rand Corporation hasil besutan Cheryl Benard.
Dalam TWK pegawai KPK juga muncul pertanyaan terkait nikah beda agama. Pertanyaan ini menimbulkan dugaan, bahwa yang tidak setuju nikah beda agama berarti radikal dan intoleran. Padahal dalam konteks ini Islam memberikan gambaran yang jelas, yakni wanita Muslimah haram hukumnya menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan laki-laki Muslim haram hukumnya menikah dengan wanita musyrik. Sikap demikian, bila dianggap tak berwawasan kebangsaan, maka TWK tersebut sangat tendensius.
Pertanyaan dalam TWK tentang mengucapkan Selamat Natal juga kontroversial. Ada dugaan bahwa yang tak setuju mengucapkan Selamat Natal adalah intoleran dan radikal. Padahal dalam Islam sangat jelas keharaman mengucapkan Selamat Natal. Pertanyaan ini jelas membahayakan aqidah umat.
Ada juga pertanyaan terkait perilaku homoseks dan LGBT. Ada dugaan bahwa yang tak setuju dengan homoseks dan LGBT adalah melanggar HAM, intoleran dan radikal. Padahal dalam Islam sangat jelas hukum terkait hal ini. Apakah berpegang teguh pada hukum Islam dianggap tak memiliki wawasan kebangsaan? Sungguh pertanyaan dan standard yang absurd.
Yang menarik juga muncul indikator “merah” bila menyetujui pandangan tentang Khilafah. Ini sungguh aneh karena khilafah adalah ajaran Islam yang jelas dalilnya baik dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Termasuk indikator “merah” dalam TWK ini adalah bila tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah membubarkan HTI dan FPI. Ini sungguh aneh, karena banyak ahli hukum tata negara juga tidak menyetujui terkait kebijakan ini karena termasuk kebijakan yang otoriter. Apalagi bila dikaitkan dengan perjuangan yang dilakukan HTI dan FPI adalah penegakan syariah Islam secara kaffah, maka indikator ini sungguh sangat absurd.
Beberapa contoh pertanyaan dan indikator TWK pegawai KPK di atas menunjukkan indikasi phobia terhadap Islam dan perjuangan penegakan Islam secara kaffah.
Dalam konteks global, hal ini merupakan bagian dari proses deradikalisasi yang tak bisa dipisahkan dari remote Barat terkait war on radicalism yang sejatinya adalah war on Islam. Upaya deradikalisasi dilakukan dengan gerakan moderasi beragama yang tak lain adalah moderasi Islam. Arah dari gerakan ini adalah mengebiri ajaran Islam dan mengeliminasi peran Islam dalam kehidupan negara dan bangsa.
Akhirnya, semua ini tak bisa dilepaskan dari gerak beberapa kalangan yang menjerumuskan Indonesia ke arah sekularisme radikal, yang semakin phobia Islam. Ujungnya menjadikan negeri ini semakin terjerembab dalam penjajahan kapitalisme global dan pastinya akan terus terjerat dalam lingkaran setan korupsi.
Terindikasi Pelemahan KPK
Dari aspek kelembagaan, pembentukan KPK ditujukan untuk melakukan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang dulu cukup marak pada masa Orde Baru. Perpindahan kekuasaan dari masa Orde Baru ke Orde Reformasi ternyata tak menyurutkan tindakan korupsi, bahkan lebih marak dan meluas.
Tindakan koruptif pun terindikasi kuat berjalan secara sistematis. Pelaksanaan demokrasi membutuhkan biaya yang tinggi dan biaya ini diperoleh dari kekuatan pemegang modal maupun dengan menggerogoti APBN/APBD. Kondisi ini telah memacu maraknya perilaku koruptif para pejabat publik berkolaborasi dengan para pemegang modal pada berbagai level. Bahkan korupsi telah berlangsung secara berjamaah membentuk lingkaran setan persoalan yang sistemik. Keberadaan KPK cukup mengganggu perilaku koruptif sistematis ini. Oleh karena itu pengendalian terhadap kelembagaan KPK menjadi sangat penting bagi para pelaku korupsi. Setiap pemangku kepentingan kekuasaan di negeri ini sangat berkepentingan terhadap KPK demi memperoleh dan melanggengkan kekuasaan.
Pelemahan KPK pun diduga dilakukan secara sistematis agar lebih mudah dikendalikan demi kepentingan kekuasaan. Setidaknya ada 3 tahapan penting pelemahan sistematis ini yaitu: 1) melakukan revisi UU KPK; 2) pemilihan komisioner KPK yang penuh kontroversial dan cenderung pro pada rezim penguasa; 3) penggantian satgas dan penyidik agar dapat dikendalikan.
Langkah ke-1 dan ke-2 relatif sudah dilampaui. Tinggal langkah ke-3. Polemik TWK pegawai KPK ini diduga kuat terkait penyelesaian langkah ke-3 ini.
Oleh karena itu kita tak perlu kaget muncul indikator “merah” pada TWK bila tidak menyetujui Revisi UU KPK dan bila tidak menyetujui keterpilihan Ketua Komisoner KPK yang baru, yaitu Saudara Firli Bahuri.
Termasuk tak perlu kaget muncul indikator “merah” bila tidak mau diintervensi oleh pimpinan KPK, Dewan Pengawas KPK atau Pemerintah, menolak perintah dari siapa pun jika bertentangan dengan hati nuraninya dan hanya takut kepada Tuhan.
Secara faktual satgas/penyidik yang ada sekarang masih bisa “menggigit” dengan melakukan OTT (operasi tangkap tangan) pada para pelaku koruptor yang terkait dengan kekuasaan. Termasuk satgas dan penyidik yang tidak lulus TWK ini diduga sedang menangani kasus-kasus megakorupsi yang diduga kuat akan menjerat jejaring penguasa, seperti kasus korupsi Bansos Covid-19 ratusan triliun rupiah.
Keberadaan satgas dan penyidik yang tak bisa dikendalikan diduga akan menghambat penggarongan anggaran negara untuk modal election demokrasi tahun 2024. Kita tahu bersama sektor usaha saat ini sedang lamban karena pandemi covid-19 maka modal yang diduga akan diambil untuk election 2024 adalah dari APBN. Ini jelas sangat mengerikan dan merusak.
Mereka ingin langkah ke-3 sukses sehingga bisa menempatkan satgas dan penyidik dari kubu mereka sehingga mudah dikendalikan. Bila langkah ke-3 ini sukses maka sempurnalah proses sistematis pelemahan KPK.
Proses demikian sebenarnya model klasik yang berulang. Penguasa termasuk partai penguasa akan berusaha dengan sistematis mengendalikan KPK. Tentu demi kepentingan melanggengkan kekuasaan. Inilah pola yang akan berjalan dalam sistem demokrasi.
Pandangan Islam tentang Wawasan Kebangsaan
Islam sangat memahami bahwa secara sunnatullah manusia diciptakan oleh Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal satu dengan yang lainnya (QS al-Hujurat [49]: 13).
Keberadaan suku dan bangsa bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab, keturunan, suku, bangsa maupun tanah air tempat kelahiran. Sesungguhnya kebanggaan dan kemuliaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan. Hal ini menjadi kesadaran diri dan lingkungan yang penting dalam Islam. Ketakwaan menjadi bagian penting yang harus lahir dalam kehidupan diri dan lingkungan, termasuk dalam berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu Islam tidak mempermasalah-kan pluralnya suku dan bangsa termasuk plural-nya warna kulit, tetapi yang penting bagaimana keberadaan pluralnya suku dan bangsa ini disatukan dalam ketakwaan. Oleh karena itu persaudaraan dalam Islam dibangun dalam takwa melampaui sekat suku, bangsa dan warna kulit.
Wujud ketakwaan dalam diri dan lingkungan adalah dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan. Jika ketakwaan ini diterapkan maka Allah akan memberikan keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Terkait dengan pluralnya agama, maka Islam juga tak mempermasalahkan dan tak ada paksaan dalam beragama. Toleransi dibangun antaragama tanpa menggadaikan dan mencampuradukkan aqidah dan ibadah agama.
Islam menawarkan hukum pengaturan urusan publik yang penuh berkah, menggantikan perspektif sekularisme-kapitalis yang selama ini merusak ruang publik manusia, termasuk merusak bangsa dan negara ini. Oleh karena itu dalam konteks privat, dipersilakan masing-masing agama menjalankan aktivitas peribadatannya, sedangkan dalam urusan publik (seperti politik, ekonomi, sosial, pidana dll) diterapkan hukum Islam sebagai pengganti sekulerisme-kapitalis.
Inilah wawasan Islam dalam memandang bangsa dan suku serta agama, yang dibangun dengan konsep yang unik penuh persatuan dan keberkahan.
WalLahu a’lam. []