Relasi Penguasa-Rakyat Dalam Islam
Dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harusnya saling menguatkan. Ibnu Qutaibah (w. 276H) mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumalLah: “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.” 1
Kekuasaan: Untuk Menegakkan Islam
Perumpamaan di atas bermakna bahwa tiang (kekuasaan), tali dan pasak (rakyat) tidak ada maknanya jika tidak diberdayakan untuk menegakkan tenda (Islam). Sebaliknya, tenda tidak bisa berdiri tegak tanpa adanya tiang yang dikuatkan oleh tali dan pasaknya. Untuk apa tenda berdiri? Tidak lain untuk menaungi dan memberikan kemaslahatan kepada siapa saja yang bernaung di bawahnya.
Rasulullah saw. melobi kekuasaan adalah demi tegaknya Islam. Beliau menolak kekuasaan yang akan meninggalkan salah satu hukum Islam. Ketika Baiharah bin Firas dari Bani ‘Amr mempertanyakan kekuasaan pasca wafatnya Rasulullah, apakah mereka yang mewarisi jika mereka membaiat beliau? Beliau menjawab:
اَلْأَمْرُ إلَى الله يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
Perkara (kekuasaan) itu kembali kepada Allah. Dialah yang memberikan kekuasaan kepada yang Dia kehendaki.
Baiharah kemudian menolak beliau dengan berkata, “Apakah leher-leher kami akan dijadikan sasaran bangsa Arab karena membelamu. Lalu saat Allah memenangkanmu, kekuasaan itu milik selain kami? Kami tidak ada urusan denganmu!”2
Penolakan tersebut tidak membuat Rasul saw. bergeser sedikitpun dari hukum syariah. Konsekuensinya, beliau tidak mendapatkan kekuasaan dari Bani Amr.
Khalifah Abu Bakar ra. mempertaruhkan eksistensi negara dan nyawanya demi menjaga tegaknya Islam. Pada saat yang sulit, karena menghadapi serangan orang-orang murtad, ada sebagian kabilah yang mau mengingkari kewajiban zakat. Abu Bakarpun berkata, “Demi Allah, jika mereka menghalangiku dari mengambil zakat ternak yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah, lalu pepohonan, tanah, jin dan manusia bersatu membantu mereka, niscaya tetap akan aku perangi mereka hingga nyawaku berjumpa dengan Allah.” 3
Dalam perhitungan militer, andai orang-orang yang tidak mau membayar zakat dibiarkan saja, tentu akan mengurangi musuh yang harus dihadapi. Namun, Abu Bakar bersikeras; negara boleh lenyap; nyawa boleh melayang, namun hukum syariah tidak boleh ‘dimutilasi’. Beliau berkata, “Sungguh wahyu telah terputus. Agama ini telah sempurna. Apakah agama ini akan berkurang (padahal) aku masih hidup.”4
Oleh karena itulah Imam al-Mawardi (w. 450 H) menyatakan bahwa diantara tugas Khalifah (kepala negara) adalah menjaga Islam agar senantiasa berada di atas pondasinya dan apa saja yang telah disepakati oleh generasi terdahulu dari umat ini, juga menerapkan hudud (hukum-hukum Allah) untuk menjaga larangan-larangan Allah dari penodaan.5
Adapun tawar-menawar dalam selain penegakan hukum Allah masih memungkinkan dilakukan kepala negara. Rasulullah saw. pernah melakukan Perjanjian Hudaibiyah yang terkesan merugikan umat Islam. Beliau juga pernah menawarkan sepertiga hasil kebun Madinah kepada Bani Ghathfan sebagai kompensasi agar mereka mundur dari pasukan Ahzab yang memerangi kaum Muslim meskipun kemudian hal tersebut tidak terealisasi.6
Tawar-menawar ini tidak bisa dipandang sebagai pengurangan penerapan hukum syariah. Justru sebaliknya, ia merupakan penerapan hukum syariah itu sendiri.
Penguasa Wajib Melayani Rakyat
Rasulullah saw. bersabda:
فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya.7
Makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman8 (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah). Penguasa/pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya.9
Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah melihat orang tua yang mengemis. Ia ternyata beragama Yahudi. Beliau bertanya, “Apa yang memaksa engkau mengemis?” Dia menjawab, “Untuk membayar jizyah (sejenis pajak), kebutuhan hidup dan karena aku sudah tua (tidak sanggup bekerja).” Lalu Khalifah Umar ra. mengutus dia kepada penjaga Baitul Mal dan berkata kepada penjaganya, “Lihatlah orang ini dan yang seperti dia! Demi Allah, kita tidak adil kepada dia jika kita mengambil jizyah pada masa mudanya, kemudian kita menistakannya ketika telah tua.”10
Setelah itu beliau membebaskan orang tua tersebut dari membayar jizyah. Bahkan beliau memberi dia subsidi dari Baitul Mal.
Jika kemaslahatan duniawi rakyat wajib diperhatikan, apalagi kemaslahatan ukhrawi rakyat. Penguasa wajib menjauhkan apa saja yang bisa merusak akidah dan akhlak rakyat. Ia wajib mengarahkan rakyat agar taat kepada Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِى أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لاَ يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلاَّ لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمُ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum Muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka.11
Rakyat Wajib Menjaga Penguasa
Dalam perumpamaan sebelumnya, fungsi tali dan pasak adalah untuk menjaga tiang agar tidak miring atau roboh. Demikianlah rakyat. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariah. Rasulullah saw. bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَاد كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ، أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah kata-kata yang adil (haq) di depan penguasa yang zalim atau amir yang zalim.12
Jika rakyat tidak memiliki kemampuan mengubah kemungkaran penguasanya. Hal paling minim yang harus mereka lakukan adalah dengan membenci dan menampakkan sikap tidak rela terhadap kemungkaran tersebut. Ketika menjelaskan hadis Ummu Salamah r.a terkait kemungkaran penguasa, Imam an-Nawawi menyatakan:
فَمَنْ عَرَفَ الْمُنْكَرَ وَلمْ يَشْتَبِهْ عَلَيْهِ فَقَدْ صَارَتْ لَه طَرِيْقُ الْبَرَاءَة مِنْ إثْمِهِ وَعُقُوبَتِهِ بِأَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِلِسَانِهِ فَإنْ عَجِزَ فَلْيَكْرَهُه بِقَلْبِهِ
Siapa saja yang mengetahui kemungkaran dan tidak meragukan kemungkarannya, maka itu telah menjadi jalan bagi dia menuju kebebasan dari dosa dan hukuman dengan cara dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya atau lisannya. Jika dia tidak mampu, hendaklah dia membenci kemungkaran itu dengan hatinya. 13
Harus dipahami bahwa kemungkaran tidak mesti berupa perbuatan maksiat secara langsung yang lumrah diketahui masyarakat luas seperti berzina, mabuk dll. Kemungkaran juga bisa berupa kebijakan maupun pemikiran, seperti memberikan izin lokalisasi perzinaan, membolehkan riba, memungut pajak yang membebani rakyat, mengkriminalisasi hukum syariah dan sebagainya.
Imam an-Nawawi pernah ‘terusir’ dari Kota Damaskus gara-gara memprotes pajak yang akan dipungut oleh Sulthan Dzahir Baibars. Walaupun pungutan itu untuk biaya jihad, beliau tetap menganggap itu kezaliman karena rakyat sedang kesusahan, sementara gaya hidup pejabat masih sangat tinggi. 14
Saat Soekarno menyatakan bahwa jika negara berdasarkan Islam maka akan banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri,15 semangat keislaman rakyat membuat mereka memprotesnya. KH Isa Anshari dari Masyumi melayangkan nota protesnya. Protes resmi juga dilayangkan oleh PBNU, Partai Islam Perti, Gerakan Pemuda Islam dan PB Persis. Rakyat juga memprotes lewat poster-poster berbunyi: “Kami cinta kepada presiden, tetapi lebih cinta kepada negara. Kami cinta kepada negara, tetapi lebih cinta kepada agama.”16
Protes seperti ini dan semisalnya, asalkan sesuai dengan hukum syariah, hendaknya dilihat sebagai bentuk pertolongan sekaligus penunaian kewajiban rakyat. Bukan dianggap penentangan apalagi makar. Bahkan andaikan rakyat diam, penguasalah yang seharusnya turun lapangan untuk meminta kritik dari rakyat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ra.17
Sengketa Rakyat-Penguasa
Dalam Islam rakyat dan penguasa memiliki kedudukan yang sama di depan hukum syariah. Jika terjadi perselisihan antar mereka, mereka harus tunduk kepada hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ ٥٩
Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Kebijakan apapun yang bertentangan dengan hukum syariah adalah kezaliman, baik itu disukai ataupun dibenci rakyat. Ketika harga-harga melambung, para sahabat mengusulkan kepada Rasulullah saw. untuk mematok harga (tas’îr). Namun, beliau bersabda, “Aku sungguh berharap kelak akan berjumpa dengan Allah dan tidak ada seseorang pun yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dirinya dalam perkara yang bekaitan dengan darah atau harta.”18
Rasulullah saw. telah menjadikan pematokan harga sebagai sebuah kezaliman. Padahal itu diusulkan/disukai masyarakat. Jika terjadi kebijakan zalim seperti itu, Rasul saw. pun telah menjadikan pemeriksaan atas perkara-perkara tersebut sebagai bagian dari kewenangan Qâdhî Mazhâlim. Dialah yang akan menyelesaikan sengketa penguasa dengan rakyat berdasarkan hukum syariah. AlLâhu A’lam. [Muhammad Taufik NT]
Catatan kaki:
1 Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri, ‘Uyûn al-Akhbâr (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1418), Juz 1, h. 54.
2 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1955), Juz 1, h. 424.
3 Muhammad Yusuf bin Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi, Hayâtu As-Shahâbah, Pentahkik. Baysar Awwad Ma’ruf, Cet. I. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1999), Juz 2, h. 28.
4 Nûr al-Dîn al-Mulla al-Harawi al-Qâri, Mirqâtu Al-Mafâtîh Syarh Misykâtu al-Mashâbîh, Cet. 1. (Beirut: Dâr al-Fikr, 2002), Juz 9, h. 3890.
5 Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah (Kairo: Dâr al-Hadits, t.th), h. 40.
6 Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1976), Juz 3, h. 202; Ibnu Hisyam, Al-Sîrah al-Nabawiyyah, Juz 2, h. 223.
7 Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Pentahkik. Muhammad Zuhair bin Nashir, Cet. I. (Dâr Tûq al-Najâh, 1422), Juz 3, h. 120.
8 Muhammad Abd Al-Aziz bin Ali As-Syadzili, Al-Adab an-Nabawi, Cet. 4. (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1423), h. 48.
9 Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Abdul Malik Al-Qasthalâni, Irsyâd As-Sâri Li Syarh Shahih al-Bukhari, Cet. 7. (Mesir: Mathba’ah Al-Kubra Al-Amiriyyah, 1323), Juz 2, h. 167.
10 Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Sa’ad Al-Anshari, Al-Kharaj, Pentahkik. Thaha Abdurra’uf Sa’ad dan dan Sa’ad Hasan Muhammad (Kairo: Maktabah Al-Azhariyah Lit Turats, t.th), h. 139.
11 Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, tt), Juz 1, h. 126.
12 Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats Al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Pentahkik. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, tt), Juz 4, h. 124; Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), Juz2, h. 1329.
13 Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 12, h. 243.
14 Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi and Pentahkik. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Husn Al-Muhâdharah Fî Târîkh Mishr Wa al-Qâhirah, Cet. I. (Mesir: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1967), Juz 2, h. 105.
15 A.M.W. Pranarka, Sejarah Perkembangan Pemikiran Tentang Pancasila Sebagai Ideologi (Jakarta: Yayasan Proklamasi, Centre for Strategic and International Studies, 1985), h. 130-131.
16 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 3, h. 64.
17 Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 20, h. 46.