![](https://alwaie.net/wp-content/uploads/2018/07/2018-7-sirah.jpg)
Bolehkah Hadits Dha’if Dijadikan Hujjah?
Soal:
Boleh atau tidak berargumen dengan hadis yang dianggap lemah (dha’îf)? Misalnya, hadis tentang ar-Rayah dan al-Liwa’ atau hadis tentang akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah?
Jawab:
Pertama: Menurut para ulama hadis mu’tabar:
اَلضَّعِيْفُ : هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ فِيْهِ صِفَات الصَّحِيْحِ وَلا صِفَاتِ الْحَسَنِ
Hadis dha’îf adalah hadis yang tidak terkumpul di dalamnya sifat-sifat hadis shahih dan sifat-sifat hadis hasan.”1
Kedua: Keliru menilai hadis dha’îf, hanya karena datang dari berbagai jalur yang sama-sama dha’îf, derajatnya meningkat menjadi hadis hasan atau hadis shahih. Jika kelemahan hadis tersebut disebabkan oleh kefasikan perawinya, atau karena tertuduh dusta secara nyata, kemudian datang dari jalur lain yang serupa, maka justru akan semakin bertambah lemah.2
Ketiga: Hadis dha’îf memang tidak bisa dijadikan hujjah atau dalil hukum syariah.3 Namun, meski dha’îf, hadis tersebut tidak serta-merta harus ditolak. Lebih tepat dan hati-hati untuk menyatakan bahwa hadis tersebut dha’îf menurut jalur si Fulan. Dalam konteks ini, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
فَلاَ يُرَدُّ حَدِيْثٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَسْتَوْفِ شُرُوْطَ الصَّحِيْحِ مَا دَامَ سَنَدُهُ وَرُوَّاتُهُ وَمَتَنُهُ مَقْبُوْلَةً, أَيْ مَتَى كَانَ حَسَناً بِأَنَّ كُلَّ رِجَالِهِ أَقَلَّ مِنْ رِجَالِ الصَّحِيْحِ, أَوْ كَانَ فِيْهِ مَسْتُوْرٌ أَوْ كَانَ فِيْهِ سَيِّءٌ الْحِفْظِ وَلَكِنْ تَقَوَّى بِقَرِيْنَةٍ تَرَجِّحُ قَبُوْلَهُ,كَأَنْ يَتَقَوَّى بِمُتَابِعٍ أَوْ شَاهِدٍ, أَيْ بِرَاوٍ ظُنَّ تَفَرُّدُهُ, أَوْ حَدِيْثٍ آخَرَ, فَلا يَتَنَطَّعُ فِي رَدِّ الْحَدِيْثِ مَا دَامَ يُمْكِنُ قَبُوْلُهُ حَسْبَ مُقْتَضَيَاتِ السَّنَدِ وَالرَّاوِيْ وَالْمَتَنِ. وَلا سِيَّمَا إِذَا قَبِلَهُ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَاسْتَعْمَلَه عَامَة الْفُقَهَاءِ فَإِنَّه حَرِيٌّ لْقَبُوْلِ, وَلَوْ لمَ يَسْتَوْفِ شُرُوْطَ الصَّحِيْحِ لِأَنَّهُ يَدْخُلُ فِي الْحَسَن.
Sebuah hadis tidak tertolak hanya karena tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih. Tentu selama sanad, para perawi dan matan-nya diterima, atau ketika hadis tersebut hasan; yakni para perawinya lebih rendah kualitasnya daripada para perawi hadis shahih. Bisa juga dalam hadis tersebut ada yang mastûr (tersembunyi), atau buruk hapalannya, tetapi hadis diperkuat dengan suatu qarînah (indikasi) yang menguatkan penerimaan atas hadis tersebut. Misalnya, diperkuat dengan adanya muttabi’, yaitu dengan adanya seorang perawi yang diduga meriwayatkannya sendiri, atau dengan adanya syâhid, yakni hadis lain. Karena itu menolak hadis tidak boleh serampangan. Selama masih bisa diterima, sesuai ketentuan sanad, perawi dan matan-nya. Apalagi jika telah diterima oleh sebagian besar ulama dan digunakan oleh para fuqaha’, maka hadis tersebut telah terpilih dan layak diterima walaupun tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih karena ia termasuk hadis hasan.” 4
Beliau menegaskan:
تُعْتَبَرُ قُوَّة السَّنَدِ شَرْطاً فِي قَبُوْلِ الَحَدِيْثِ, إِلا أَنَّه يَنْبَغِيْ أَنْ يُعْلَمَ أَنَّه لا يَلْزَمُ مِنَ الْحُكْمِ بِضَعْفِ سَنَدِ الْحَدِيْثِ الْمُعَيَّنِ الْحُكْمُ بِضَعْفِهِ فِي نَفْسِهِ. إِذْ قَد يَكُوْنُ لَه إِسْنَادٌ آخَرُ, إِلا أَنْ يَنُصَّ إِمَامٌ عَلَى أَنَّهُ لاَ يُرْوَى إِلا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ. فَمَنْ وَجَدَ حَدِيْثاً بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ فَالأَحْوَطُ أَنْ يَقُوْلَ أَنَّهُ ضَعِيْفٌ بِهَذَا اْلإِسْنَادِ وَلا يَحْكُمُ بِضَعْفِ الْمَتَنِ مُطْلَقاً مِنْ غَيْرِ تَقْيِيْد. وَلِذَلِكَ رَدُّ الإِسْنَادِ لا يَقْتَضِي رَدَّ الْحَدِيْثِ.
Kuatnya sanad dianggap sebagai syarat dalam penerimaan hadis. Hanya saja patut diketahui, bahwa lemahnya sanad hadis tidak mengharuskan hadis tersebut juga dihukumi dha’îf (lemah). Pasalnya, hadis tersebut kadangkala memiliki sanad lain, kecuali seorang imam menyebutkan bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan kecuali melalui satu jalur. Maka dari itu, siapa saja yang mendapatkan sebuah hadis dengan sanad yang lemah, lebih baik mengatakan bahwa hadis ini lemah dengan sanad ini. Tidak boleh menghukumi secara mutlak dengan menyatakan matan-nya lemah, tanpa catatan. Jadi, ketika sanad-nya ditolak tidak otomatis hadis juga ditolak.” 5
Keempat: Dalam menggunakan hadis untuk menjadi hujjah atau dalil hukum syariah, status hadis tersebut diterima sebagai dalil adalah bagi orang yang menggunakannya, meski bagi yang lain tidak. Dalam konteks ini, Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
إلا أَنَّ اِعْتِبَارَ الْحَدِيْثِ صَحِيْحاً أَوْ حَسَناً إِنَّمَا هُوَ عِنْدَ الْمُسْتَدِلِّ بِهِ إِنْ كَانَتْ لَدَيْهِ الأَهْلِيَّة لِمَعْرِفَةِ الْحَدِيْثِ، وَلَيْسَ عِنْدَ جَمِيْعِ الْمُحَدِّثِين. ذَلِكَ أَنَّ هُنَاكَ رُوَّاة يُعْتَبَرُوْنَ ثِقَةٍ عِنْدَ بَعْضِ الْمُحَدِّثِيْنَ، وَيُعْتَبَرُوْنَ غَيْر ثِقَةٍ عِنْدَ البَعْضِ، أَوْ يُعْتَبَرُوْنَ مِنَ الْمَجْهُوْلِين عِنْدَ بَعْضِ الْمُحَدِّثِيْنَ، وَمَعْرُوْفِيْنَ عِنْدَ البَعْضِ الآخَرِ. وَهُنَاكَ أَحَادِيْثُ لَمْ تَصِحْ مِنْ طَرِيْقٍ وَصَحَّتْ مِنْ طَرِيْقٍ أُخْرَى. وَهُنَالِكَ طُرُقٌ لَمْ تَصِحْ عِنْدَ البَعْضِ وَصَحَّتْ عِنْدَ آخَرِيْنَ. وَهُنَاكَ أَحَادِيْثُ لَمْ تُعْتَبَرُ عِنْدَ بَعْضِ الْمُحَدِّثِيْنَ وَطَعَنُوْا بها، وَاعْتَبَرَهَا مُحَدِّثُوْنَ آخَرُوْنَ وَاحْتَجُّوْا بها. وَهُنَاكَ أَحَادِيْثُ طَعْنُ بِهَا بَعْضِ أَهْلِ الْحَدِيْثِ، وَقَبِلَهَا عَامَةً الْفُقَهَاءِ وَاحْتَجُوْا بِهَا.
Hanya saja, anggapan sebuah hadis sebagai hadis shahih atau hadis hasan itu hanya menurut orang yang menggunakannya sebagai dalil—tentu jika ia memiliki keahlian untuk mengetahui sebuah hadis—bukan (shahih/hasan) menurut seluruh ulama hadis. Sebabnya, ada para perawi yang dianggap tsiqah oleh sebagian ulama hadis, tetapi tidak dianggap tsiqah oleh sebagian yang lain; atau mereka dianggap majhûl oleh sebagian ulama hadis, tetapi dikenal oleh sebagian yang lain. Ada hadis-hadis yang tidak shahih melalui satu jalur, tetapi dinyatakan shahih menurut jalur lain. Ada jalur-jalur yang tidak shahih menurut sebagian, tetapi shahih menurut sebagian yang lain. Ada hadis-hadis yang tidak diakui oleh sebagian ulama hadis dan mereka nyatakan lemah, tetapi diakui oleh ulama hadis lain dan mereka anggap kuat, dan mereka gunakan sebagai hujjah (dalil). Ada juga hadis-hadis yang dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadis, tetapi diterima oleh mayoritas fuqaha’ dan mereka gunakan sebagai hujjah (dalil).” 6
Contoh dalam hal ini sangat banyak. Misalnya, hadis dari Abu Hurairah ra.:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ, إِنَّا نَرْكَبُ الْبَحْرَ وَنَحْمِلُ مَعَنَا الْقَلِيلَ مِنْ الْمَاءِ فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِهِ عَطِشْنَا أَفَنَتَوَضَّأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, kami sedang menaiki kapal di lautan. Kami membawa sedikit air tawar. Jika kami menggunakan air itu untuk berwudhu maka kami akan haus. Apakah boleh kami berwudhu dengan air laut?” Nabi menjawab, “Laut itu airnya suci dan bangkainya halal.” (HR Abu Dawud, Ahmad, an-Nasa’i, Ibn Majah dan at-Timridzi).
Hadis ini diceritakan oleh at-Tirmidzi, bahwa Imam Bukhari menyatakan hadis ini shahih. Ibn ‘Abd al-Barr menyatakan hadis ini shahih karena diterima oleh para ulama’. Ibn al-Mundzir juga menyatakan hadis ini shahih. Ibn al-Asir, dalam Syarh Musnad, juga menyatakan, “Hadis ini shahih dan masyhur, dikeluarkan oleh para imam ahli hadits dalam kitab-kitab mereka. Mereka menggunakan hadis ini sebagai hujjah (dalil). Para perawinya juga tsiqah.”
Namun demikian, Imam Syafii menyatakan, “Di dalam isnâd hadis ini ada orang yang tidak saya kenal.”
Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan beberapa alasan, yang menjadi alasan cacatnya hadis ini, antara lain, dua perawi—yaitu Said bin Salamah dan al-Mughirah bin Abi al-Bardah, yang dinyatakan dalam isnâd hadis ini—tidak diketahui. Pada saat yang sama, kedua orang tersebut, menurut sebagian ahli hadis yang lain, dikenal. Abu Dawud berkomentar, “Al-Mughirah itu dikenal. Beliau telah dinyatakan tsiqah oleh an-Nasa’i.” 7
Hadits seperti ini banyak sekali. Karena itu hadis tentang Rayah dan Liwa’ Rasulullah saw., misalnya, juga hadis tentang kembalinya Khilafah Rasyidah, merupakan contoh lain dalam kasus ini. Kedua hadis ini bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama: Hadits tentang Rayah dan Liwa’ Rasulullah saw. antara lain hadis dari Ibn ‘Abbas ra. yang menyatakan:
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ, مَكْتُوْبٌ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللَّهِ
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’-nya berwarna putih, bertuliskan, “Lâ Ilâha illalLâhu Muhammad RasûlulLâh.”
Hadis ini dikeluarkan oleh ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath8 dari ‘Abd al-Ghafar bin Dawud, dari Hayyan ibn ‘Ubaidillah, dari Abu Mijlaz, dari Ibn ‘Abbas ra. Juga dikeluarkan oleh Ibn ‘Adi dalam Al-Kâmil9 dan Abu Syaikh dalam Akhlâq an-Nabi, hadis no. 424 dari ‘Abbas bin Thalib, dari Hayyan bin Ubaidillah, dari Abu Mijlaz, dari Ibn ‘Abbas ra.
Jika ada ahli hadis yang menilai salah seorang perawinya ada yang lemah—sebagaimana dinyatakan oleh Abu Hatim, Yahya bin Ma’in dan Abu Zar’ah terhadap ‘Abbas bin Thalib—maka penilaian seperti ini biasa. Penilaian seperti ini tidak serta-merta membuat ‘Abbas bin Thalib ini ditolak hadisnya. Pasalnya, ahli hadis lain, seperti Ibn Hibban yang menilai dia tsiqah, juga Ibn Hajar dan Ibn ‘Adi menilai dia shadûq.
Hayyan bin ‘Ubaidillah juga dinyatakan tsiqah oleh Ibn Hibban, dinyatakan shadûq oleh Abu Hatim dan dinyatakan laysa bihi ba’s[un] (tidak ada masalah) oleh al-Bazzar
Selain kesimpulan di atas, bahwa hadis ini bisa digunakan sebagai hujjah (dalil) didasarkan pada penilaian Al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abd al-Hayy al-Kattani.10 Kesimpulan ini juga dikuatkan oleh Al-Hafizh Muhammad bin Yusuf as-Syami ash-Shalihi dalam Subul al-Huda wa ar-Rasyad.11
Kedua: Hadis dari Nu’man bin Basyir bhawa Nabi saw. bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Akan ada kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada kekuasaan yang menggigit. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Lalu akan ada kekuasaan yang memaksa. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Selanjutnya akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian.” Beliau kemudian diam.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad-nya12 dari Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi, dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi, dari Habin bin Salim, dari an-Nu’man bin Basyir. Hadis ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud at-Thayalisi dalam Musnad-nya, 13 oleh al-Baihaqi dalam Dalâ’il an-Nubuwwah,14 oleh al-Hafidz Ibn al-Jauzi dalam Jâmi’ al-Masânid15 dan oleh Ibn Katsir dalam Jâmi’ al-Masânid wa as-Sunan.16
Al-Haitsami memberikan komentar, sebagaimana dalam Bughyah ar-Râ’id fî Tahqîq Majma’ az-Zawâ’id, “Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam menjelaskan biografi an-Nu’man. Begitu juga oleh al-Bazzar dengan penjelasan yang lebih lengkap ketimbang beliau. Juga at-Thabrani, dengan sebagiannya, dalam kitab Al-Mu’jam al-Awsath, dengan para perawi yang tsiqah.”17
Mengenai komentar al-Bukhari, tentang Habib bin Salim, “Fîhi Nadzar”, ternyata al-Bukhari tetap menganggap riwayat Habib bin Salim sebagai riwayat yang shahih, sebagaimana dalam ‘Ilal at-Tirmidzi, no. 152. Jadi, penilaian al-Bukhari tentang Habib bin Salim ini tidak menciderai status hadis ini.
Kesimpulannya:
- Hadis Rayah dan Liwa’ Rasulullah saw. adalah hadis shahih, setidaknya hasan, dan bisa digunakan sebagai hujjah dan dalil syariah. Adanya satu-dua perawi hadis ini yang tidak diterima tidak serta-merta membuat hadis ini tidak bisa digunakan. Sebabnya, ada jalur lain, yang menjadikan hadis tersebut bisa diterima, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Kattani maupun Al-Hafizh as-Shalihi.
- Hadis tentang kembalinya Khilafah juga shahih dan bisa digunakan sebagai hujah atau dalil. Adanya penilaian al-Bukhari terhadap Habib bin Salim tidak mempenga-ruhi status kesahihan hadis tersebut.
- Adanya penilaian dari sebagian ahli hadis, bahwa hadis tersebut lemah, tidak merusak kedudukan hadis tersebut sebagai hadis yang bisa digunakan karena ada ahli hadits lain yang menyatakan hadis itu kuat dan bisa digunakan. Memang ada asumsi, “Jika ada yang melemahkan dan ada yang menguatkan maka yang melemahkan harus diunggulkan ketimbang yang menguatkan.” Asumsi demikian hanya berlaku dalam konteks satu orang ahli hadis yang menilai seorang perawi. Bukan dua orang ahli hadits yang berbeda menilai seorang perawi.
- Memvonis lemah sebuah hadis secara mutlak semata karena satu jalur tertentu, dengan menutup mata terhadap kekuatannya dari jalur lain, adalah sikap lancang (tajarru’) dan bodoh, baik terhadap tradisi periwayatan hadis maupun tradisi di kalangan fuqaha’. Bahkan ini sangat membahayakan syariat Islam karena akan menghilangkan banyak sumber hukum yang bisa digunakan untuk berargumen.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cet, I/338; Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushûl al-Hadîts, Dar al-Fikr, Beirut, 1409 H/1989 M, hal. 337.
2 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/338.
3 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/339.
4 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/342.
5 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/345.
6 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/346.
7 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, I/348.
8 At-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, I/77.
9 Ibn ‘Adi, Al-Kâmil, II/658.
10 Al-‘Allamah al-Muhaddits ‘Abd al-Hayyi al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah, at-Tarâtib al-Idâriyyah, Syarikah Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, I/264-266.
11 Al-Hafidz Muhammad bin Yusuf as-Syami as-Shalihi, Subul al-Huda wa ar-Rasyad, VII/373.
12 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Dar al-Hadits, cet. I, 1416 H, XIV/163.
13 Abu Dawud at-Thayalisi, Musnad Abu Dâwud, Dar Hijr, I/349-350.
14 Al-Baihaqi, Dalâ’il an-Nubuwwah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1408 H, VI/491.
15 Al-Hafidz Ibn al-Jauzi, Jâmi’ al-Masânid, Maktabah ar-Rusyd, cet. I, 1426 H, II/309-310.
16 Al-Hafidz Ibn Katsir, Jâmi’ al-Masânid wa as-Sunan, Dar al-Fikr, cet. 1415 H, III/352-353.
17 Al-Hafidz Ibn Hajar al-Haitsami, Bughyah ar-Râ’id fi Tahqîq Majma’ az-Zawâ’id, Dar al-Fikr, cet. 1415 H, V/341-342.