Soal Jawab

Haramkah Mendirikan Negara Islam?

Soal :

Ada yang mengatakan bahwa mendirikan Negara Islam seperti yang didirikan oleh Nabi SAW. hukumnya haram. Alasannya, karena sistemnya merupakan sistem teokrasi, yang dipimpin Nabi saw. sebagai nabi terakhir, dan tidak ada nabi lagi. Benarkah?

 

Jawab:

Pertama: Pandangan seperti ini bukan merupakan pandangan fikih. Apalagi layak disebut hukum syariah. Bahkan bisa dikatakan, pandangan seperti ini sama sekali tidak ada nilainya sedikit pun dalam hukum Islam. Meski pandangan seperti ini dinyatakan oleh seorang profesor dan ahli hukum sekalipun. Sebabnya, pandangan ini bukan hasil istidlâl, atau istinbâth dari dalil syariah. Ia ditarik dari premis mantiq (logika).

Kedua: Pandangan seperti ini juga jelas salah fatal. Kesalahannya ada pada penarikan kongklusi. Nabi Muhammad saw. mendirikan Negara Islam. Ini premis pertama. Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Ini premis kedua. Kongklusinya, Negara Islam yang didirikan Nabi adalah Negara Tuhan (Teokrasi). Memang, kongklusi seperti ini sepintas tampak benar, padahal salah.

Perlu dicatat, tidak ada seorang ulama kaum  Muslim pun yang menyatakan bahwa Negara Islam, termasuk Khilafah Nubuwwah, sebagai Negara Teokrasi. Bukan karena mereka tidak paham Negara Teokrasi. Bahkan konsep Negara Islam sebagai Negara Teokrasi sebenarnya ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah. Konsep Negara Islam sebagai Negara Teokrasi adalah Konsep Syiah. Ini pun argumentasinya telah diruntuhkan oleh Al-’Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977 M) dalam dua kitabnya, baik Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm maupun Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’u ats-Tsani.1

Orang yang menyatakan bahwa Negara Islam yang didirikan oleh Nabi saw. adalah Negara Teokrasi jelas tidak bisa memilah tugas kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa ar-risâlah) dengan tugas sebagai kepala negara (manshib ar-ri’âsah). Pemilahan ini bisa ditarik dari firman Allah SWT:

مَّا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُۗ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا تَكۡتُمُونَ  ٩٩

Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (ajaran Allah). Allah mengetahui apa pun yang kamu tampakkan dan apa pun yang kamu sembunyikan (QS al-Maidah [5]: 99).

 

Tugas kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa ar-risâlah) dinyatakan dalam ayat di atas, yaitu tablig (menyampaikan). Inilah tugas semua nabi dan rasul. Nabi Nuh as., Ibrahim as., Musa as. dan Isa as. diberi tugas untuk tablig; menyampaikan risalah. Bukan untuk memerintah. Yang sekaligus diberi tugas memerintah adalah Nabi Dawud as., Sulaiman as. dan Nabi Muhammad saw. Mereka tidak hanya diperintahkan untuk menyampaikan risalah, tetapi juga menerapkan (tanfîdz) risalah dalam pemerintahan.

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ٢٦

(Allah berfirman): “Wahai Dawud, sungguh Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi. Karena itu berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan haq dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.” (QS Shad [38]: 26).

 

Dari dua ayat di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa ada dua tugas yang berbeda. Pertama, tugas kenabian dan kerasulan. Kedua, tugas pemerintahan. Semua nabi dan rasul diberi tugas untuk menyampaikan risalah, tetapi tidak semuanya diberi tugas untuk memerintah.

Dalam konteks kenabian dan kerasulan, semua ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa nabi dan rasul harus ma’shûm (terjaga dari semua dosa, baik besar maupun kecil). Adapun dalam kontek tanfîdz, ada perbedaan pendapat. Inilah yang kemudian dibahas dalam pembahasan, “Apakah Rasul berhak untuk berijtihad atau tidak?” Pembahasan ini juga telah menjadi perdebatan panjang di kalangan ulama Ushuluddin.

Namun faktanya, Nabi Muhammad saw. menerapkan hukum tawanan Perang Badar, yang sebelumnya memang telah disyariatkan oleh Allah, yakni mereka boleh dibebaskan tanpa tebusan, atau boleh dibebaskan dengan tebusan:

فَإِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَضَرۡبَ ٱلرِّقَابِ حَتَّىٰٓ إِذَآ أَثۡخَنتُمُوهُمۡ فَشُدُّواْ ٱلۡوَثَاقَ فَإِمَّا مَنَّۢا بَعۡدُ وَإِمَّا فِدَآءً حَتَّىٰ تَضَعَ ٱلۡحَرۡبُ أَوۡزَارَهَاۚ ذَٰلِكَۖ وَلَوۡ يَشَآءُ ٱللَّهُ لَٱنتَصَرَ مِنۡهُمۡ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَاْ بَعۡضَكُم بِبَعۡضٖۗ ٤

Jika kamu bertemu (di medan perang) dengan orang-orang yang kufur, tebaslah batang leher mereka. Selanjutnya, jika kamu telah mengalahkan (melumpuhkan) mereka, tawanlah mereka. Setelah itu, kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan. (Hal itu berlaku) sampai perang selesai. Demikianlah (hukum Allah tentang mereka). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menolong (kamu) dari mereka (tanpa perang) (QS Muhammad [47]: 4).

 

Ayat ini memberikan ketentuan hukum yang sudah jelas, meski tidak ditentukan berapa jumlah yang harus dibunuh, ditawan, dibebaskan dengan tebusan, atau tanpa tebusan. Semuanya ini diserahkan kepada Kepala Negara. Nabi saw. sebagai Kepala Negara saat itu berhak menerapkan beberapa pilihan yang telah ditetapkan oleh Allah. Di sini ada perbedaan antara ‘Umar bin al-Khatthab ra. di satu sisi dan Nabi saw., dan Abu Bakar ra.  di sisi lain.

Ketika itu Nabi saw. dan Abu Bakar ra. memandang sudah cukup, baik yang dibunuh maupun yang ditawan. Karena itu Nabi saw. memutuskan mereka untuk dibebaskan, baik dengan tebusan maupun tidak. Adapun Umar bin al-Khaththab ra. memandang sebelum dijadikan tawanan, jumlah yang harus dibunuh itu belum cukup, masih kurang. Allah SWT kemudian menurunkan wahyu, yang membenarkan Umar, dan meluruskan keputusan Nabi saw. (Lihat: QS al-Anfal [8]: 67).

Sebenarnya keputusan Nabi saw. di atas tidak salah. Pasalnya, apa yang beliau lakukan merupakan implementasi dari keputusan Allah. Karena itu, tindakan Nabi saw. ini hanya menyalahi apa yang dianggap lebih utama (khilâf al-awlâ), dan tidak menciderai kemaksumannya.

Ketiga: Nabi saw. diperintahkan melakukan musyawarah (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 159). Bahkan bagi Nabi musyawarah itu hukumnya wajib meski bagi umatnya sunnah. Ini juga membuktikan bahwa Negara Islam yang didirikan dan dipimpin oleh Nabi saw. bukan Negara Teokrasi. Pasalnya, Negara Teokrasi tidak mengenal musyawarah. Yang ada adalah titah Tuhan. Allah berfirman:

Dalam kasus Perang Badar, Nabi saw. bahkan berkali-kali mengajak para Sahabat bermusyawarah. Khusus yang terkait dengan strategi penempatan pasukan di Badar, beliau mengambil pendapat Khubab bin Mundzir al-Jamuh, yang merupakan pakar di bidangnya dan menguasai medan perang di Badar. Baginda meninggalkan semua pendapat sahabat, termasuk pendapat Abu Bakar dan ‘Umar.

Dalam kasus Shulh Hudaybiyah, Nabi saw. hanya mengambil wahyu, dan meninggalkan semua pendapat Sahabat, termasuk Umar. Sebabnya, ini merupakan pengambil pendapat yang terkait dengan wahyu, atau hukum syariah. Nabi saw. hanya mengambil wahyu dan meninggalkan semua pendapat Sahabatnya meski mereka menampakkan ketidaksukaannya.

Dalam kasus Perang Uhud, Nabi saw. mengambil suara mayoritas yang disampaikan oleh kaum muda, agar menyongsong pasukan kaum kafir Quraisy di luar Madinah. Padahal pendapat Sahabat senior, seperti Abu Bakar, ‘Umar, dan lain-lain, menyatakan agar berperang di dalam Kota Madinah. Nabi saw. lalu menetapkan suara mayoritas karena ini pendapat yang terkait dengan tindakan yang sudah diketahui konsekuensinya.

Semua ini membuktikan bahwa Nabi saw. telah melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan politiknya. Semua ini membuktikan bahwa Negara Islam yang didirikan dan dibangun oleh Nabi saw. bukan Negara Teokrasi. Sebaliknya, juga tidak bisa disebut Negara Demokrasi. Pasalnya, musyawarah yang dilakukan dalam sistem demokrasi dan Islam jelas berbeda.

Nabi saw. bahkan membentuk Majelis Umat, yang awalnya dipilih oleh kaum Anshar, sebagaimana dalam sabda beliau, setelah Bai’at ‘Aqabah Kedua:

أَخْرِجُوْا إلِيَّ مِنْكُمْ اِثْنَيْ عَشَرَ نَقِيْبًا

Pilihkanlah untukku, dua belas pemimpin (yang mewakili kaumnya) (Al-Hafidz Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, II/191).

 

Setelah Nabi saw. mengenali siapa saja Nuqabâ’, setelah memerintah di Madinah, maka Nabilah yang menentukan siapa orang-orang yang diajak musyawarah.

Semua ini menjadi dalil bahwa Negara Islam yang didirikan dan dipimpin oleh Nabi Muhammad saw. adalah negara manusia, bukan negara malaikat, apalagi Negara Tuhan (Teokrasi). Pasalnya, Nabi Muhammad, meskipun seorang nabi dan rasul, tetaplah manusia biasa, sebagaimana kita (Lihat: QS Fushhilat [41]: 4).

Karena itu negara yang didirikan dan dipimpin oleh Nabi saw. kelak diwariskan kepada manusia-manusia terbaik, para Sahabat beliau. Mereka inilah yang kemudian disebut Khulafaur-Rasyidin. Institusinya disebut Khilafah Râsyidah ‘alâ Minhâj Nubuwwah. Kadang juga disebut Khilafah Nubuwwah.

Jadi, satu-satunya kelompok yang menyatakan Negara Islam adalah Negara Teokrasi adalah Syiah. Adapun Ahlussunnah, sejak dulu hingga saat ini, tidak ada satu pun yang menyebut Negara Islam adalah Negara Teokrasi.

Mengenai status mendirikan Negara Islam sebagaimana yang didirikan oleh Nabi saw. hukumnya haram jelas ngawur, bahkan lancang, dan berani mengharamkan apa yang telah Rasulullah saw. lakukan. Sebabnya, mengharam-kan mengikuti Nabi saw. untuk mendirikan Negara Islam, sebagaimana yang Nabi dirikan, itu sama dengan mengharamkan Negara Nabi. Ini juga merupakan penyatakan yang salah. Tidak mempunyai nilai sedikit pun di dalam syariah.

Justru sebaliknya, kita diperintahkan untuk meneladani Nabi saw. dalam seluruh aspek kehidupan (Lihat: QS al-Ahzab [3]: 21).

Meneladani itu artinya kita diperintahkan untuk mengikuti apa saja yang dilakukan Rasulullah, termasuk mendirikan Negara Islam di Madinah. Justru tindakan Nabi saw. dalam membangun dan memimpin Negara Islam adalah contoh nyata yang harus ditiru dan dilaksanakan. Bukan untuk diabaikan, apalagi dinyatakan haram untuk ditiru dan dilaksanakan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Hukmi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, Cetakan Keenam (Muktamadah), 1422 H/2002, hal. 116-123; Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, Cetakan Kelima (Muktamadah), 1424 H/2003, Juz II/hal. 54-95;

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 3 =

Check Also
Close
Back to top button