Soal Jawab

Hukum-hukum Penting Seputar Ramadhan

Soal:

Puasa Ramadhan merupakan salah satu pilar agung, bahkan rukun utama Islam. Puasa juga mempunyai banyak hukum penting, tetapi sayangnya ada yang belum dipahami dengan tepat oleh banyak masyarakat. Karena puasa terkait dengan menahan diri dan berbuka, hukum apa saja yang penting, yang berkaitan dengan keduanya, yang perlu diketahui kaum Muslim. Apa saja?

 

Jawab:

Pertama: Hukum yang terkait dengan makan, minum dan berhubungan badan, saat terbitnya Fajar. Siapa saja yang melakukan salah satu perkara yang membatalkan puasa di atas, lalu mendengarkan azan dikumandangkan, maka dia wajib meninggalkan semuanya. Jika dia yakin bahwa muazin tersebut memang mengumandangkan azan ketika fajar benar-benar terbit. Jika orang yang melakukan perbuatan tersebut tetap melanjutkan perbuatannya, dia wajib mengganti puasanya.

Bagaimana kalau orang yang melakukan perbuatan tersebut ragu, apakah fajar benar-benar sudah terbit, atau belum? Dalam kondisi seperti ini, ada tiga kondisi:

1-       Jumhur ulama berpendapat bahwa puasanya tetap sah, dan dia tidak wajib mengganti puasanya. Alasannya, karena firman Allah:

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ١٨٧

Makan dan minumlah kalian hingga tampak dengan jelas bagi kalian mana benang putih dan mana benang hitam, yaitu waktu fajar (QS al-Baqarah [2]: 187).

 

Alasan lain, karena hukum asalnya waktu yang digunakan oleh orang yang makan, minum dan berhubungan tersebut adalah masih dianggap malam. Sebabnya, ayat di atas menyatakan bahwa waktu puasa tersebut belum masuk, kecuali setelah terbitnya fajar.

2-       Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang ragu apakah fajar sudah terbit atau belum, kemudian dia makan, minum dan berhubungan badan, setelah itu terbukti bahwa fajar belum terbit, maka puasanya dinyatakan sah. Alasannya, karena makan, minum dan berhubungan badan tidak bertemu dengan waktu puasa, tetapi bertemu dengan waktu berbuka.

3-       Makan, minum dan berhubungan suami-istri, disertai ragu tentang terbitnya fajarnya, kemudian setelah itu terbukti, bahwa fajar ternyata sudah terbit. Para ulama sepakat, bahwa siapa saja yang melakukan itu wajib mengganti puasanya, karena terbukti dia salah. Selain itu, juga disyariatkan, agar orang Mukmin mengambil waktu sahurnya sebelum waktu syak demi berhati-hati dalam urusan agamanya, dan menjaga kesempurnaan puasanya. Karena itu siapa saja yang melakukan hubungan badan, kemudian mendengarkan azan, lalu segera mencabut kemaluannya, dan menghentikan hubungannya, maka puasanya sah. Dia juga tidak wajib mengganti puasanya, dan tidak pula membayar kafarat. Ini merupakan pendapat yang sahih dan kuat. Ini adalah pendapat Jumhur. Di antaranya tiga imam mazhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafii. Hanya saja, menurut mazhab Imam Ahmad yang masyhur, orang tersebut wajib mengganti puasanya, dan membayar kafarat. Sebabnya, menurut beliau, mencabut kemaluan tersebut tetap dihukumi berhubungan badan.

 

Namun, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa tidak wajib mengganti puasa dan membayar kafarat. Pasalnya, berhubungan badannya terjadi di waktu mubah, yaitu malam. Faktanya, hukum asal, yaitu tetapnya status malam, dianggap masih berlaku. Karena itu, begitu mendengar azan, segera mencabut kemaluannya, dan menghentikan seketika hubungan badannya, maka dia dihukumi seperti orang makan dan minum, kemudian dia menghentikan semuanya seketika.

Kedua: Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka), tetapi ragu, apakah matahari sudah tenggelam atau belum? Ini juga banyak terjadi ketika suasana sedang mendung. Orang yang berpuasa merasa kadang masih terang, kadang gelap. Karena itu, dalam hal ini ada tiga kondisi:

1-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) tetapi ragu, apakah matahari sudah terbenam atau belum. Setelah itu juga tidak ada bukti apapun, karena kondisinya mendung, misalnya. Dalam kondisi seperti ini, para ulama sepakat orang tersebut wajib mengganti, dan dinyatakan berdosa. Pasalnya, dia tidak melakukan pembuktian terhadap tenggelamnya matahari. Dia juga tidak berhati-hati. Justru seolah dia tidak peduli. Di sisi lain, dia hukum asalnya wajib untuk tidak makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka), sampai berhasil membuktikan matahari benar-benar tenggelam.

2-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) tetapi ragu, apakah matahari sudah terbenam atau belum? Setelah itu terbukti, ternyata matahari belum tenggelam. Dalam kondisi seperti ini, para ulama sepakat orang tersebut wajib mengganti, dan dinyatakan berdosa. Pasalnya, dia tidak melakukan pembuktian terhadap tenggelamnya matahari.

3-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) tetapi ragu, apakah matahari sudah terbenam atau belum? Setelah itu terbukti, matahari memang sudah tenggelam. Dalam kondisi seperti ini, maka puasanya dianggap sah menurut kesepakatan para ulama. Dianggap sah, karena dia makan setelah menyempurnakan puasa yang diperintahkan. Hanya saja, dia tetap berdosa, karena lalai tidak mencari informasi tentang tenggelamnya matahari, dan memandang remeh masalah ini.

Ketiga: Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) dengan dugaan, bahwa matahari sudah tenggelam. Dalam hal ini ada tiga kondisi:

1-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) dengan dugaan, matahari sudah terbenam. Setelah itu tidak terbukti. Dengan kata lain, matahari ternyata belum tenggelam. Dalam kondisi seperti ini, para ulama sepakat orang tersebut wajib mengganti, dan dinyatakan berdosa. Pasalnya, dia tidak melakukan pembuktian terhadap tenggelamnya matahari. Dia juga tidak berhati-hati. Justru seolah dia tidak peduli. Di sisi lain, dia hukum asalnya wajib untuk tidak makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka), sampai berhasil membuktikan matahari benar-benar tenggelam.

Menurut Jumhur, dia wajib mengganti, itu merupakan pendapat yang sahih, sebagaimana riwayat al-Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakar ra., berkata:

أفطرنا على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم غيم ثم طلعت الشمس. قيل لهشام: فأمروا بالقضاء. قال: لا بد من القضاء، وقال معمر: سمعت هشاماً يقول: لا أدري أقضوا أم لا

Kami pernah berbuka pada zaman Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama pada saat hari mendung, kemudian ternyata matahari terbit.” Ada yang mengatakan kepada Hisyam, “Mereka diperintahkan untuk mengganti puasanya.” Berkata (perawi), “Harus diganti.” Ma’mar juga berkata, “Aku mendengar Hisyam berkata, “Aku tidak tahu, apakah mereka  benar-benar telah mengganti atau tidak.”

 

Ibn Hajar menjelaskan:

لو غُمّ هلال رمضان فأصبحوا مفطرين ثم تبين أن ذلك اليوم من رمضان، فالقضاء واجب بالاتفاق، فكذلك هذا يعني اليوم الذي أفطر فيه الصائم ظانا غروب الشمس ثم تبين طلوعها فعليه القضاء .

Kalau hilal Ramadhan itu tertutup mendung, kemudian mereka besok paginya tidak berpuasa, lalu terbukti bahwa hari itu ternyata masih Ramadhan, maka hukum mengganti puasa sepakat wajib. Demikian juga ini, maksudnya hari dimana orang yang berpuasa itu berbuka, dengan dugaan, bahwa matahari sudah tenggelam, kemudian terbukti masih terbit (belum tenggelam), maka dia wajib mengganti puasanya.” (Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, 4/255).

 

Dalam riwayat lain dinyatakan Basyar bin Qais berkata:

كناّ عند عمر بن الخطاب في عشية في رمضان، وكان يوم غيم، فجاءنا بسويق فشرب، وقال لي: اشرب فشربت، فأبصرنا بعد ذلك الشمس، فقال عمر: لا والله ما نبالي نقضي يوماً مكانه

Kami pernah bersama ‘Umar bin al-Khatthab di waktu petang (menjelang buka) di bulan Ramadhan, ketika itu hari tengah mendung. Kemudian beliau datang kepada kami membawa Sawiq (bubur yang terbuat dari gandum), kemudian beliau menyantapnya. Beliau berkata kepadaku, “Kamu santap.” Kami pun menyantapnya. Kemudian setelah itu, kami ditampakkan matahari. ‘Umar berkata, “Tidak, demi Allah, kita kurang hati-hati. Kita harus mengganti satu hari untuk menggantikannya.” (Lihat: Ma’rifatu as-Sunan, 6/259).

 

Hal yang sama dinyatakan oleh Shuhaib ar-Rumi, Ibn ‘Abbas dan Mu’awiyah. Imam As-Syafii berkomentar, “Maksudnya, mengganti puasa satu hari, menggantikannya.”

Imam Malik juga menyatakan kewajiban mengganti puasa. Al-Baji berkomentar mengenai pernyataan ‘Umar, bahwa saat itu beliau sudah berijtihad. Beliau mempunyai dugaan kuat, bahwa matahari sudah tenggelam. Inilah yang harus dilakukan oleh orang yang berpuasa, bahwa dia harus berijtihad mencari kepastian. Tetapi, jika menurut dugaan kuatnya matahari sudah tenggelam, maka dia tidak boleh berbuka. Jika dia berbuka dengan hati ragu, maka dia wajib mengganti puasanya, sekaligus membayar kafarat. Yang dimaksud di sini adalah kafarat Jimak, bagi yang berhubungan badan. Sebabnya,  dia benar-benar berada dalam kondisi berpuasa, dan wajib menahan diri, serta diharamkan makan, kecuali dengan ijtihadnya, dan keyakinannya bahwa matahari sudah tenggelam. Jika dia yakin matahari sudah tenggelam, maka dia boleh berbuka. Begitu juga hukum shalat maupun ibadah yang lain.

Jika tanda-tanda tersebut tidak tampak, maka ijtihad dalam kondisi seperti ini dihukumi seperti pengetahuan untuk menentukan masuknya waktu untuk boleh dan tidak melakukan shalat. Beliau berkata: Kata-kata ‘Umar yang menyatakan, “Dalam hal ini, berlaku qadha’. Meski, kami telah berijtihad.”  Pernyataan beliau mengandung kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Malik di atas, bahwa “Khathab” (Qadhaa’) dalam hal ini berlaku. Pasalnya, dosanya digugurkan dari mereka karena sudah berijtihad. Juga telah diriwayatkan, bahwa ‘Umar telah memerintahkan untuk mengganti puasa. Memang, ada juga riwayat beliau tidak mengganti, dan tidak memerintahkan untuk mengganti. Namun, perintah mengganti puasa lebih kuat, dan bisa membebaskan dari tanggungan, serta lebih hati-hati atas keabsahan puasanya (Lihat: Al-Muntaqa Syarh Muwatha’ Maalik, 3/65-66).

2-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) dengan dugaan kuat, bahwa matahari telah tenggelam, kemudian terbukti, ternyata matahari benar-benar tenggelam. Dalam kondisi seperti ini, puasanya sah, karena dia telah menyempurnakan puasanya. Karena dia membangun berdasarkan keyakinan dan dugaan kuat. Puasanya sah, karena ijtihadnya mencari informasi tentang tenggelamnya matahari, dan dia tidak meremehkannya, atau menganggap enteng. Sebaliknya, dia sangat perhatian terhadap puasa dan mencari tahu informasi tenggelamnya matahari.

3-       Makan, minum dan berhubungan badan (saat berbuka) dengan dugaan matahari sudah tenggelam, kemudian tidak ada bukti apapun, mungkin karena mendung. Dalam kondisi seperti ini, maka puasanya dianggap sah, menurut pendapat jumhur ulama.

 

WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 14 =

Back to top button