Mengapa Aspek Politis Haji Hilang Saat Ini?
Soal:
Apa yang menyebabkan hilangnya aspek politik ibadah haji saat ini jika dibanding dengan zaman Nabi saw. dan para Sahabat ra.?
Jawab:
Ibadah haji merupakan rukun Islam (HR Bukhari dan Muslim). Bukan hanya rukun, ibadah haji juga merupakan syiar Islam yang sangat penting, khususnya syiar persatuan umat Islam.
Sebagaimana kita tahu, umat Islam adalah umat yang satu (Lihat: QS al-Anbiya’ [29]: 92 QS al-Mu’minun [23]: 52).
Mereka disatukan oleh akidah yang sama, yaitu akidah Islam yang bisa memancarkan sistem dan mempunyai negara. Itulah umat Islam. Mereka terdiri dari pria, wanita, bangsa dan suku yang berbeda, tetapi disatukan oleh satu ikatan akidah yang sama (QS al-Hujurat [49]: 13; QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Di dalam QS al-Hujurat ayat 13 dijelaskan bahwa umat Islam ini terdiri dari pria, wanita, suku dan bangsa yang berbeda. Allah tidak menjadi ukuran kemuliaan mereka pada jenis kelamin, atau suku dan bangsanya, tetapi pada ketakwaannya.
Lalu di dalam QS Ali ‘Imran ayat 103 ditegaskan bahwa Islamlah yang telah berhasil mendamaikan dan menyatukan kaum Anshar, khususnya antara suku Aus dan Khazraj, yang selama puluhan tahun, sebelum memeluk Islam, terlibat peperangan sengit. Islamlah yang berhasil mendamaikan dan menyatukan mereka dengan akidahnya.
Karena itu, akidah Islam merupakan satu-satunya ikatan yang mengikat umat Islam, yang berbeda jenis kelamin, suku, bangsa dan bahasanya. Begitu mereka memeluk Islam, mereka dilebur menjadi satu umat, dengan akidah dan syariah Islam yang sama. Akidah dan syariah Islam itulah yang menjadi ikatan mereka, baik di dunia maupun akhirat. Ikatan inilah yang disebut ikatan ideologis. Syiar dari persatuan dan kesatuan umat yang diikat oleh ideologi yang sama ini ditunjukkan melalui dua: Pertama, bernaungnya mereka dalam naungan Khilafah atau Negara Islam. Kedua, saat mereka menunaikan ibadah, pada waktu dan tempat yang sama, yaitu haji di Tanah Suci.
Karena itu sejak zaman Nabi Muhammad saw., para Sahabat ra. hingga para Khalifah setelahnya, ibadah haji ini benar-benar telah menjadi syiar persatuan dan kesatuan umat. Nabi saw. dan para Khalifah sepeninggal beliau selalu menunjuk Amir Haji, yang mengurus seluruh urusan ibadah haji jamaah haji.
Imam an-Nawawi [w. 676 H] dalam kitabnya, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab, menyatakan:
Cabang: Hukumnya sunah bagi Khalifah, jika tidak bisa menunaikan haji sendiri, untuk mengangkat seorang amir untuk [memimpin] para jamaah haji, agar bisa melaksanakan manasik untuk mereka. Mereka taat kepada dia dalam perkara yang dia gantikan mereka. Dalil dari apa yang kami nyatakan itu adalah sejumlah hadis sahih. Makkah telah ditaklukkan tahun 8 H pada bulan Ramadhan. Rasulullah saw. kemudian mengangkat ‘Utab bin Usaid menjadi Wali Makkah. Tahun itu, beliaulah yang menegakkan manasik untuk umat manusia [yang menunaikan haji]. Kemudian Nabi saw. mengangkat Abu Bakar as-Shiddiq ra. sebagai amir untuk haji. Beliau memimpin umat manusia [menunaikan haji]. Rasulullah saw. menunaikan haji sendiri tahun 10 H, saat Haji Wada’. Khulafa’ Rasyidin kemudian melanjutkan memimpin haji umat manusia [yang menunaikan haji]. Jika mereka [Khalifah] tidak bisa hadir, mereka akan menunjuk amir untuk menggantikan. Bahkan Khalifah ‘Umar bin Khatthab ra. telah memimpin Khilafah selama 10 tahun. Semuanya beliau tunaikan sendiri. Ada yang mengatakan, beliau menunaikan sembilan tahun. Wallahu a’lam. 1
Imam an-Nawawi kemudian melanjutkan: Disunahkan bagi Imam [Khalifah], atau wakilnya, dan para jamaah haji untuk keluar ke Mina tanggal 8 Dzulhijjah.2 Artinya, manasik jamaah haji itu dipimpin oleh seorang Khalifah, atau Amirul Haj, jika Khalifah tidak bisa berangkat haji tahun itu.
Bahkan Khalifah ‘Umar bin Khatthab ra. telah menjadikan momentum pertemuan di Mina dan Arafah sebagai momentum untuk menyampaikan pesan politik dan muhasabah, yang dilakukan oleh kepala negara kepada rakyatnya. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, dalam kitab Al-Majmuu’, disebutkan khutbah yang dilakukan oleh imam pun tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali. Mulai tanggal 7 Dzulhijjah, di Makkah, sebelum berangkat Tarwiyah. Tanggal 8 Dzulhijjah di Mina, saat Tarwiyah. Tanggal 9 Dzulhijjah, saat wukuf di Arafah. Tanggal 10 Dzulhijjah, di Mina, saat di Hari Nahr. Ditambah Khutbah Hari Tasyrik, tanggal 12, dan 13 Dzulhijjah.3
Dalam kitab At-Tanbih fi al-Fiqh as-Syafii karya Imam as-Syirazi [w. 476 H], dinyatakan:
Pada hari ketujuh Dzulhijjah, Imam [Khalifah atau yang menggantikannya] menyampaikan khutbah pada waktu Dhuhur di Makkah, dan memerintahkan kepada orang-orang [jamaah haji] untuk berangkat pagi-pagi ke Mina sejak besok [tanggal 8 Dzulhijjah]. Ketika matahari sudah tergelincir Imam [Khalifah atau yang menggantikannya] menyampaikan khutbah ringan. Imam [Khalifah atau yang menggantikannya] menyampaikan khutbah setelah zuhur di Mina, dan mengajari manusia [jamaah haji] kurban, melempar batu [di jamarat], dan menetap [mabit di Mina]. Kemudian, Imam [Khalifah atau yang menggantikannya] menyampaikan khutbah pada hari kedua di antara hari Tasyrik, setelah shalat zuhur. Berpamitan kepada jamaah haji dan menyampaikan kepada mereka tentang kebolehan untuk pergi [meninggalkan Mina].4
Pesan khutbahnya pun jelas, sebagaimana yang dinyatakan dalam riwayat Jabir bin ‘Abdillah ra.:
إنَّ دِمَاءَكُم، وأمْوالَكم وأعْراضَكُم حرامٌ عَلَيْكُم كَحُرْمة يومِكُم هَذَا، في شهرِكُمْ هَذَا، في بلَدِكُم هَذَا، ألا هَلْ بلَّغْت [متفقٌ عَلَيه]
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian dan kehormatan-kehormatan kalian merupakan kesucian bagi kalian, sebagaimana kesucian hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Apakah aku telah menyampaikan?” (HR Muttafaq ‘alaih) 5
Dalam riwayat lain, Nabi saw. menyatakan:
“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta kalian merupakan kesucian bagi kalian, sebagaimana kesucian hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Ingatlah, semua praktik Jahiliah [di luar Islam] telah dibatalkan di bawah telapak kakiku. Darah-darah Jahiliah telah dibatalkan. Darah yang pertama kali aku batalkan di antara darah kami adalah darah Rabi’ah bin al-Harits bin ‘Abdul Muthallib. Riba Jahiliah telah dibatalkan. Riba pertama kali yang aku batalkan di antara riba kita adalah Riba al-‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib. Sesungguhnya semuanya itu telah dibatalkan. Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah terhadap kaum perempuan [istri kalian]. Sebabnya, kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah [sebagai istri]. Kalian telah mendapatkan kehalalan atas kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kalian mempunyai hak, yang menjadi kewajiban mereka; mereka tidak boleh berhubungan dengan siapapun yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukannya, maka pukullah dengan pukulan yang tidak membekas. Mereka berhak mendapatkan nafkah darimu berupa makanan dan pakaian mereka dengan cara yang makruf. Sesungguhnya aku telah meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh padanya, kalian sama sekali tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitab Allah. Kalian semua akan ditanya tentang aku, lalu apa yang akan kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan menunaikan amanah serta memberikan nasihat.” Baginda bersabda, “Ya Allah, saksikanlah!” (HR al-Hakim).6
Singkat, jelas, padat dan tegas. Itulah pesan Nabi saw. saat khutbah di hadapan jamaah haji tahun 10 H. Semuanya itu merupakan pesan politik, yang hanya bisa diwujudkan dengan kemauan politik, dengan kekuatan dan institusi politik. Tanpa itu tidak bisa. Inilah yang hilang dari diri umat saat menunaikan ibadah haji. Apalagi ketika praktik ibadah ini sudah disekat dengan sekat nation-state, sebagaimana saat ini. Karena itu gambaran politik seperti benar-benar hilang.
Nah, apa yang menyebabkan hilangnya aspek politik dari ibadah haji ini? Jawabannya, karena ketiadaan Khilafah, hilangnya kesadaran dari diri umat tentang syiar haji sebagai syiar persatuan dan kesatuan umat di seluruh dunia. Juga hilangnya pemahaman Islam sebagai ideologi dan sistem kehidupan yang pernah memimpin dunia. Karena itu meski kitab-kitab At-Tanbiih dan al-Majmuu’ masih dibaca, fakta pemikiran yang ada di dalamnya tidak terjangkau.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH. HAFIDZ ABDURRAHMAN]
Catatan kaki:
1 Al-Imam al-Hafidz Muhyiddin Abi Zakariyah Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Dar al-Hadits, Qahirah, 1431 H/2010 M, Juz IX, hal. 116.
2 Al-Imam al-Hafidz Muhyiddin Abi Zakariyah Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz IX, hal. 116.
3 Al-Imam al-Hafidz Muhyiddin Abi Zakariyah Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz IX, hal. 124-126.
4 Al-Imam al-Faqih al-Ushuli al-Kabir Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali as-Syirazi as-Syafii, al-Tanbih fi al-Fiqh as-Syafii, ed. Dr. ‘Abdullah bin Murtadha ‘Ali Ya’qubuf ad-Daqistani, Dar ‘Alim Quraisy, cet. I, 1443 H/2021 M, hal. 314-320.
5 Al-Imam al-Hafidz Muhyiddin Abi Zakariyah Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz IX, hal. 126.
6 Al-Imam al-Hafidz Muhyiddin Abi Zakariyah Yahya Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz IX, hal. 126.