Al-Quran Adalah Peringatan
فَمَن شَآءَ ذَكَرَهُۥ ٥٥ وَمَا يَذۡكُرُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ هُوَ أَهۡلُ ٱلتَّقۡوَىٰ وَأَهۡلُ ٱلۡمَغۡفِرَةِ ٥٦
Siapa saja yang menghendaki, tentu dia mengambil pelajaran darinya. Mereka tidak akan mengambil pelajaran dari al-Quran kecuali jika Allah menghendakinya. Dialah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada Dia dan Yang berhak memberi ampunan. (QS al-Muddatstsir [74]: 55-56).
Tafsir Ayat
Allah berfirman:
فَمَن شَآءَ ذَكَرَهُۥ ٥٥
Siapa saja yang menghendaki, tentu dia mengambil pelajaran darinya.
Ayat ini dihubungkan dengan ayat sebelumnya dengan huruf al-fâ‘ yang merupakan harf ‘athf. Kemudian dilanjutkan dengan kata مَنْ (siapa saja), yakni ism syarth yang bisa digunakan untuk yang berakal, baik laki-laki maupu perempuan.
Kata شَاءَ (menghendaki, menginginkan) menjadi kata syaratnya. Kata tersebut termasuk muta’addiy (kata kerja transitif, yang membutuhkan objek). Hanya saja dalam ayat ini maf’ûl atu objeknya tidak disebutkan. Diperkirakan objek yang dihilangkan itu adalah أَنْ يَذْكُرَهُ (mengingatnya).1 Maknanya, siapa saja yang menghendaki untuk menjadikan al-Quran sebagai peringatan.
Kemudian disebutkan: ذَكَرَهُ (tentu dia mengambil pelajaran darinya). Ini merupakan jawaban dari syarat yang disebutkan sebelumnya. Sebagaimana dhamîr al-hâ‘ pada ayat sebelumnya: إِنَّهُ (sesungguhnya dia) menunjuk pada al-Quran.2 Artinya, niscaya dia akan mengingatnya. Menurut al-Qurthubi, al-Khazin dan lain-lain, maknya adalah: menjadikannya sebagai pelajaran.3 Artinya, dia akan mengambil al-Quran sebagai nasihat, lalu mengamalkan semua yang ada di dalamnya, baik perintah maupun larangan-Nya.4
Dengan demikian ayat ini bermakna: “Siapa saja yang menjadikan al-Quran sebagai pelajaran, maka manfaatnya akan kembali kepada dirinya.” 5
Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat ini menerangkan bahwa mengingat al-Quran terjadi ketika mereka mau untuk menjadikan al-Quran sebagai peringatan. Kehendak membutuhkan adanya harapan yang melepaskan mereka dari hukuman karena adanya pelanggaran. Dalam hal ini, mereka tidak memiliki alasan untuk melalaikan atau mengabaikannya.6
Kemudian Allah SWT juga berfirman:
وَمَا يَذۡكُرُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُۚ ٥٦
Mereka tidak akan mengambil pelajaran darinya (al-Quran) kecuali (jika) Allah menghendakinya.
Kata مَا merupakan nâfiyyah. Kemudian diiringi dengan kata إِلَّا merupakan harf istitsnâ‘. Frasa ini untuk menunjukkan pengecualian dari perkara umum yang disebutkan sebelumnya.7 Susunan nafiyy yang disertai dengan istitsnâ‘ memberikan makna al-hasyr atau qashr (pembatasan). Dengan demikian ayat ini memberitahukan bahwa mereka sama sekali tidak bisa mengingat al-Quran dan menjadikan al-Quran sebagai pelajaran kecuali dikehendaki oleh Allah SWT.
Al-Qurthubi berkata, “Artinya, tidak ada seorang pun mampu menjadikan al-Quran sebagai nasihat dan peringatan kecuali dengan kehendak Allah SWT yang menghendaki mereka.”8
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, maknanya: “Mereka tidak mengingat al-Quran dan menjadikan al-Quran sebagai nasihat serta mengamalkan isinya kecuali dikehendaki Allah SWT untuk mengingatnya. Sebab, tidak ada seorang pun memiliki kemampuan terhadap sesuatu kecuali dengan kehendak Allah SWT yang berkuasa atasnya dan memberikan kemampuan kepadanya.”9
Pada umumnya para qurrâ‘ , seperti Abu Ja’far, al-A”masy, Thalhah, Isa dan al-A’raj membaca ayat ini dengan al-yâ: يَذْكُرُونَ (mereka mengingat). Adapun Nafi’, Salam, Ya’qub dan Abu Hatim membacanya dengan tâ‘ al-khithâb: تَذْكُرُونَ (kalian mengingat).10
Ayat ini mengingatkan bahwa tidak ada satu pun terjadi di alam semesta ini kecuali berada dalam kekuasaan Allah SWT. Karena itu mereka tidak bisa mengingat al-Quran dan menjadikan al-Quran sebagai pelajaran, kecuali karena kehendak Allah SWT.11
Lalu diakhiri dengan firman-Nya:
هُوَ أَهۡلُ ٱلتَّقۡوَىٰ وَأَهۡلُ ٱلۡمَغۡفِرَةِ ٥٦
Dialah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampunan.
Dhamîr al-ghâib هُوَ kembali kepada Allah SWT.12 Disebutkan dalam ayat ini bahwa Allah adalah أَهْلُ التَّقْوَى. Kata أَهْلُ, pada asalnya berarti مُلَازِمُ الشَّيْءِ (yang menyertai sesuatu) baik karena kekhususannya, kerabatnya dan istrinya (Lihat: QS Hud [11]: 81).
Adapun kata التَّقْوَى merupakan bentuk mashdar yang bermakna al-mabni al-maf’ûl.13 Maknanya, yang menjadi objek takwa, yakni yang ditakuti atau Zat Yang selayaknya manusia bertakwa kepada-Nya. Makna itu pula yang terkandung pada ayat ini.
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Allah SWT berhak ditakuti siksa-Nya disebabkan maksiat yang mereka lakukan sehingga mereka meninggalkan maksiat kepada-Nya dan bersegera taat (kepada-Nya).”14
Al-Harari juga bertakwa, “Dialah sebenarnya yang orang-orang muttaqin harus bertakwa kepada-Nya dengan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya dan mengerjakan ketaatan kepada-Nya.” Dengan kata lain, “Dialah yang berhak ditakuti siksa-Nya, diimani dan ditaati.”15
Penjelasan senada dengan berbagai redaksi yang berbeda-beda juga dikemukakan oleh para mufassir lain, seperti Ibnu Katsir, al-Alusi, al-Khazin, al-Zuhaili, al-Shabuni, dan lain-lain.16
Lalu disebutkan bahwa Allah SWT juga أَهْلُ الْمَغْفِرَ. Makna kata أَهْلُ di sini tak berbeda dengan sebelumnya, yakni mustahiqq (yang berhak). Kata الْمَغْفِرَة merupakan bentuk mashdar yang bermakna al-mabni al-fâ’il.17 Artinya, yang mengampuni dosa.
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Dia mengampuni dosa-dosa mereka jika mereka mengerjakannya. Tidak menghukum mereka atas dosa-dosa tersebut ketika mereka bertaubat darinya.” 18
Asy-Syaukani berkata, “Artinya, Dialah sebenarnya yang berhak mengampuni orang-orang yang beriman dari dosa-dosa yang terlanjur mereka lakukan, dan Dialah sejatinya yang berhak menerima taubat dari pelaku para maksiat orang-orang yang bertobat kepada-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka.”19
Abdurahma as-Sa’di juga berkata, “Dia berhak untuk memberikan ampunan kepada siapa saja yang bertakwa kepada-Nya dan mencari ridha-Nya.”20
Penjelasan yang sama juga dikemukakan para mufassir lain, seperti Ibnu Katsir, al-Alusi, al-Khazin, al-Zuhaili, al-Harari, al-Shabuni, dan lain-lain.21
Penafsiran tersebut dikuatkan dengan hadis dan dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad saw.:
قَالَ الله عَزَّ وَجَلَّ أنَا أَهْلٌ أَنْ أُتَّقَى فَمَنِ اتَّقَانىِ فَلَم يَجْعَلْ مَعِى إِلهَاً فَأَنَا أَهْلٌ أَنْ أَغْفِرَ لَهُ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Aku adalah Zat Yang harus ditakuti (dijadikan obyek takwa). Siapa saja yang takut untuk menjadikan tuhan lain bersama-Ku maka Aku akan mengampuni dia.” (Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i).22
Menurut Ibnu ‘Asyur, ayat tersebut juga dapat dipahami sebagai ungkapan untuk mendorong orang-orang musyrik agar meninggalkan kekufuran. Sebab, Allah SWT akan mengampuni mereka atas apa yang mereka perbuat di masa lalu (QS al-Anfal [8]: 38). Juga mendorong para pelaku maksiat untuk meninggalkan perbuatan dosa mereka (QS al-Anfal [39]: 53).23
Beberapa Pelajaran Penting
Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Di antaranya adalah: Pertama, kehendak Allah SWT meliputi segala sesuatu. Sebagaimana diterangkan di muka, ayat ini memastikan bahwa tidak ada yang terjadi di alam semesta kecuali dengan izin dan kehendak-Nya. Hal senada juga diberitakan dalam firman Allah yang lain (QS al-Insan [76]: 30).24
Di antara kehendak Allah SWT adalah memberikan kemudahan dan pertolongan-Nya bagi orang yang mau mengingat al-Quran dan menjadikan al-Quran sebagai nasihat dan pelajaran. Mereka yang bersikap demikian akan diberi taufik untuk mengingat dan mengamalkan isinya (QS al-An’am [6]: 125), yaitu memudahkan jalan bagi dirinya untuk memeluk Islam, memberi dia semangat, serta melancarkan dia untuk memeluknya. Hal ini merupakan alamat kebaikan bagi orang yang bersangkutan. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain (QS al-Zumar [39]: 22; QS al-Hujurat [49]: 7).25
Kedua: Hanya Allah SWT yang pantas ditaati dan ditakuti. Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya yang berhak disembah. Dialah Yang menciptakan dan menghidupkan manusia. Dia pula Yang memberikan semua kenikmatan yang ada pada diri manusia. Hanya kepada Allah SWT manusia akan dikembalikan setelah kematian mereka. Allah SWT pula yang memiliki surga dan neraka. Sudah selayaknya manusia hanya mau bertakwa kepada Allah SWT, tunduk dan patuh kepada syariah-Nya secara kaffah.
Selain ayat ini, hal ini juga diterangkan banyak ayat (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 41; QS al-Nahl [16]: 2).
Dia pula yang berhak memberikan ampunan kepada hamba-Nya yang terlanjur berbuat dosa. Allah SWT yang berhak membuat hukum dan peraturan, memberikan pahala kepada yang menaati hukum-Nya, dan memberikan dosa kepada yang melanggarnya. Dia pula Yang berhak mengampuni siapa pun yang terlanjur berbuat dosa dan maksiat kepada-Nya. Tak ada yang lain (Lihat: QS Ali Imran [3]: 135). Maknanya, tidak ada seorang pun yang dapat mengampun dosa-dosa kecuali Allah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dari Al-Aswad ibnu Sari’:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتي بِأَسِيرٍ، فَقَال: اللَّهْمُ إِنِيّ أَتُوبُ إِلَيْكَ وَلاَ أَتُوبُ إِلَى مُحَمَّدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَفَ الْحَقَّ لِأَهْلِهِ
Sungguh pernah dihadapkan kepada Nabi saw. seorang tawanan, lalu tawanan itu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak akan bertobat kepada Muhammad.” Maka Nabi Saw. bersabda, “Dia telah mengetahui hak itu kepada pemiliknya (yakni Allah).”26
Allah juga memerintahkan manusia untuk memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya (QS Hud [11]: 3).Dia juga menjanjikan akan mengampuni semua dosa hamba-Nya (lihat QS Hud [11]: 3). Dengan demikian tak ada alasan bagi manusia untuk segera memohon ampun atas dosa-dosanya kepada Allah dan segera bertaubat kepada-Nya. Sebab, hanya Dia yang bisa dan berhak mengampuni dosa-dosa manusia.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245
2 Lihat al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 149
3 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 90; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 368
4 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 241
5 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 368
6 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 332
7 al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 402; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 293
8 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 90
9 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44. Lihat juga al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417
10 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 90; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 340
11 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245
12 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417
13 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 149; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417
14 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44
15 al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 368; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 149; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456
17 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 149
18 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44
19 al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 401
20 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-Mannân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 898
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 368; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 149; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245; al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 417
22 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 91
23 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 334
24 Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274
25 Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 3, 334
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 2, 125