Tafsir

Balasan Bagi Mukmin dan Kafir

(Tafsir QS ‘al-insan[76]: 4-6)

إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ سَلَٰسِلَاْ وَأَغۡلَٰلٗا وَسَعِيرًا ٤  إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ يَشۡرَبُونَ مِن كَأۡسٖ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا ٥ عَيۡنٗا يَشۡرَبُ بِهَا عِبَادُ ٱللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفۡجِيرٗا ٦

Sesungguhnya Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang darinya hamba-hamba Allah minum, yang dapat mereka alirkan dengan sebaik-baiknya (QS al-Insan [76]: 4-6).

Ayat berikut ini memberitakan balasan Allah SWT kepada kaum yang mengimani dan menjalankan petunjuk yang telah Allah SWT turunkan.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Innâ a’tadnâ li al-kâfirîn salîsila wa aglâl[an] wa sa’îr[an]  (Sungguh Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala). Tatkala manusia mendapatkan petunjuk jalan dari Allah SWT, manusia di dunia diberi kesempatan memilih untuk menerima atau menolak; mengimani atau mengingkari; menjadi Mukmin atau menjadi orang kafir.

Akan tetapi, pilihan itu mengandung konsekuensi yang sangat berat. Terutama di akhirat. Apabila mereka memilih menjadi orang kafir, Allah SWT menyediakan bagi mereka siksa yang sangat pedih. Siksa tersebut adalah salîsila wa aglâl[an] wa sa’îr[an] (rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala).

Kata al-i’tidâd merupakan bentuk mashdar dari kata a’tadnâ. Maknanya i’dâd asy-syay‘ (penyiapan sesuatu) hingga sesuatu itu tersedia dan siap siaga kapan saja diperlukan. Perhatikan firman-Nya: Hâdzâ mâ ladayya ‘atîd (Inilah [catatan amalnya] yang tersedia pada sisiku [QS Qaf (50): 23]).1

Siksaan yang disiapkan untuk mereka adalah as-salâsil (rantai) sehingga kaki-kaki mereka diikat; al-aghlâl (belenggu) sehingga tangan-tangan mereka dibelenggu hingga leher-leher mereka; dan as-sa’îr, yakni neraka yang dinyalakan untuk mereka sehingga mereka dibakar dan mereka menjadi bahan bakarnya. Ini termasuk tarhîb (ancaman) dan takhwîf (intimidasi) yang paling berat.2

Menurut Al-Baidhawi, dengan salâsil (rantai) mereka digiring, dengan aghlâl (belenggu) mereka diikat dan dengan sa’îr (neraka) mereka dibakar.3

Menurut Ibnu Katsir, Allah SWT menceritakan apa yang telah Dia sediakan bagi makhluk-Nya yang kafir kepada-Nya. Itulah rantai, belenggu dan api yang menyala-nyala dengan hebatnya lagi membakar di dalam Neraka Jahanam. Ini seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

إِذِ ٱلۡأَغۡلَٰلُ فِيٓ أَعۡنَٰقِهِمۡ وَٱلسَّلَٰسِلُ يُسۡحَبُونَ ٧١ فِي ٱلۡحَمِيمِ ثُمَّ فِي ٱلنَّارِ يُسۡجَرُونَ ٧٢

(Ingatlah) saat belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api (QS al-Mu’min [40]: 71-72).4

 

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, azab tersebut berlangsung abadi dan selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.5

Berikutnya Allah SWT memberitakan balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang melakukan kebajikan. Dia berfirman: Inna al-abrâr yasyrabûna mi ka‘s[in] kâna mizâjuhâ kâfûr[an] (Sungguh orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas [berisi minuman] yang campurannya adalah air kafur).

Ayat ini memberitakan balasan yang akan diterima oleh al-abrâr (orang-orang yang berbuat kebajikan) di akhirat. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata barr (orang yang berbuat kebajikan), sebagaimana kata al-arbâb yang merupakan bentuk jamak dari kata rabb (Tuhan, pemilik, pemelihara).6 Bisa juga berasal bârr sebagaimana kata syâhid (saksi) yang bentuk jamaknya asyhâd.7

Menurut al-Asfahani, kata al-barr berarti at-tawassu’ fî fi’l al-khayr (keluasan dalam perbuatan baik). Ketika dinisbatkan kepada hamba, kata tersebut bermakna keluasan dalam ketaatan kepada-Nya. Adapun jika dinisbatkan kepada Allah SWT terhadap hamba-Nya bermakna ats-tsawâb (pahala).8

Makna ini pula yang pahami oleh para mufassir saat menjelaskan tentang al-abrâr dalam ayat ini. Menurut Imam al-Qurthubi, al-abrâr adalah ahl al-shidq (orang yang jujur), yakni orang yang mengerjakan perintah Allah SWT.9 Asy-Syaukani juga memaknai kata ini sebagai ahl al-thâ’ah wa al-ikhlâsh wa al-shidq (orang yang taat, ikhlas dan jujur).10

Al-Khazin juga mengatakan, al-abrâr adalah orang-orang Mukmin yang membenarkan keimanan mereka dan taat kepada Tuhan mereka.11

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, “Sungguh (mereka adalah) orang-orang yang berbuat kebajikan dengan menjalankan ketaatan kepada Tuhan mereka dalam menunaikan kewajiban-kewajiban-Nya dan menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat kepada-Nya.”12

Menurut ayat ini, mereka akan minum dari ka’s (cangkir atau gelas yang berisi minuman) yang bercampur dengan kafûr. Kata ka’s digunakan untuk menunjuk semua wadah yang berisi minuman. Disebut ka’s manakala ada minuman di dalamnya.13 Jika tidak ada maka tidak disebut demikian. Sebutan tersebut tidak dikhususkan hanya wadah minuman yang terbuat dari kaca, namun juga yang terbuat dari yang lainnya baik, emas, perak, atau lainnya.14

Ada juga yang mengatakan bahwa kata ka’s digunakan untuk menyebut minuman khamr.15  Di antara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Abbas, Muqatil dan al-Baidhawi.16 Menurut Wahbah al-Zuhaili, kata ka’s juga berarti gelas atau wadah yang berisi khamr. Penyebutan khamr sebagai ka’s  adalah menyebut  yang menempati dengan yang ditempati.17 Dengan demikian ayat tersebut bermakna: “Mereka minum khamr yang dicampur dengan kâfûr.”18

Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Yang adimaksud adalah minuman yang lezat dari khamr yang dicampur dengan kâfûr.”19 

Kata al-mizâj pada kata mizâjuhâ merupakan ism âlah (kata benda yang menunjukkan alat yang digunakan). Artinya, sesuatu yang dicampurkan dengannya (minuman tersebut).20

Menurut asy-Syaukani, firman-Nya, kâna mizâjuhâ kâfûr[an], bermakna bercampur dan berpadu dengannya.21

Yang dicampurkan dalam minuman tersebut adalah kâfûr. Kâfûr atau kafur merupakan sejenis wewangian yang telah dikenal. Dibuat dari sebuah pohon yang juga sudah dikenal. Biasanya berbentuk padat, berwarna putih dan berasa dingin. Benda tersebut tidak untuk dimakan atau diminum. Jika demikian, mengapa benda tersebut dicampurkan dalam minuman?

Menurut al-Khazin, yang diinginkan dari kafur itu adalah aspek warnanya yang putih, aromanya yang wangi dan rasa sejuknya.22

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, dari segi aroma harumnya seperti kafur.23

Ibnu Katsir juga berkata, “Telah diketahui kesejukan dan bau harum dalam kafur; lalu ditambah dengan kelezatan surgawi pada minuman tersebut.”24

Penjelasan lain diberikan oleh Ibnu Abbas, al-Farra’ dan al-Kalbi. Menurut mereka, kâfûr merupakan nama sebuah mata air di surga.25 Dengan demikian maksud ayat ini adalah bahwa minuman penghuni surga itu bercampur dengan air yang berasal dari sebuah mata air di surga yang bernama kâfûr.26 Dengan itu minuman itu sama sekali tidak berbahaya. Sebab penghuni surga tidak akan makan dan minum benda yang berbahaya.27

Berkaitan dengan penyebutan kafur dalam ayat ini, penjelasan Muqatil patut disimak. Menurut Muqatil, yang dimaksud dengan kafur bukanlah yang ada di dunia. Akan tetapi, Allah SWT menamainya dengan apa yang ada pada manusia sehingga hati mereka dapat menerimanya.28

Kemudian Allah SWT berfirman: ‘ayn[an] yasyrabu bihâ ‘ibâduL-lâh ([yaitu] mata air [dalam surga] yang darinya hamba-hamba Allah minum). Ini menjelaskan mata air yang menjadi sumber minuman bagi orang-orang yang berbuat kebajikan tersebut. Ada yang mengatakan, ‘ayn[an] tersebut berkedudukan sebagai badal (pengganti) dari kata kâfûr. Sebagian lainnya menyebutnya sebagai tamyîz.29

Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Campuran gelas minuman yang diminum oleh al-abrâr (orang-ornag yang berbuat kebajikan) seperti kâfûr dalam asepk aroma wanginya  itu berasal dari mata air yang diminum oleh hamba-hamba Allah SWT yang dimasukkan ke dalam surga.”30

Menurut Fakhruddin ar-Razi, kata ‘ibâdulLâh itu memberikan makna umum, mencakup semua hamba Allah. Akan tetapi, orang-orang kafir tidak meminumnya, sehingga lafal ‘ibâdulLâh dikhususkan hanya untuk orang yang beriman.31 Tepatnya, orang-orang Mukmin yang menjadi penghuni surga.32

Menurut Ibnu Katsir, minuman yang dicampur dengan kafur untuk orang-orang yang bertakwa tersebut diambil dari mata air di dalam surga yang airnya diminum oleh kaum muqarrabîn dari hamba-hamba Allah tanpa campuran kafur.33

Mata air tersebut juga digambarkan:  yufajjirûnahâ tafjîr[an] (yang dapat mereka alirkan dengan sebaik-baiknya). Ini merupakan sifat kedua dari mata air tersebut. Menurut Ibnu Katsir, penggalan ayat ini bermakna: “Mereka dapat mengatur alirannya menurut apa yang mereka sukai dan ke arah mana pun yang mereka kehendaki; ke dalam istana-istana mereka, rumah-rumah mereka, tempat-tempat duduk mereka atau tempat-tempat pertemuan mereka.”34

Penjelasan senada juga dikemukakan oleh banyak mufassir laiinya seperti al-Qurthubi, ath-Thabari, al-Baidhawi, al-Khazin, al-Alusi, dan lain-lain.35

Menurut Ibnu Katsir, makna al-tafjîr adalah memancarkan atau mengalirkan, sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Isra [17]: 90 dan al-Kahfi [18]: 33).36

Mujahid berkata tentang makna ayat ini, “Mereka dapat mengarahkan ke mana pun mereka sukai.”37

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ikrimah dan Qatadah. Al-Tsauri juga berkata, “Mereka dapat mengatur alirannya ke mana pun mereka sukai.”38 

 

Beberapa Pelajaran Penting

Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Di antaranya: Pertama, balasan bagi orang yang ingkar. Kepada mereka diberikan azab yang sangat dahsyat. Siksaan yang demikian dahsyat itu diberikan manakala telah terpenuhi beberapa syarat taklif pada diri mereka. Itulah petunjuk dari Allah SWT berupa risalah yang yang disampaikan oleh utusan-Nya; dan mereka telah mendengar risalah tersebut. Akal mereka juga sehat untuk memahami, memikirkan dan mengerjakannya. Ketika semua itu ada pada diri mereka, namun mereka memilih ingkar dan menjadi kafir, maka mereka telah menyediakan diri mereka untuk mendapatkan siksaan yang sangat dahsyat.

Siksaan yang amat dahsyat itu juga menunjukkan bahwa menjadi kafir atau Mukmin adalah pilihan manusia. Namun, pilihan itu mengandung konsekuensi. Siapa pun yang ingkar, disiapkan bagi dia azab yang amat pedih. Sebaliknya, siapa yang beriman dan bersyukur serta taat akan diberi ganjaran surga di akhirat.

Kedua, tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang berbuat kebajikan. Dalam ayat disebut sebagai al-abrâr. Mereka adalah orang-orang yang banyak melakukan al-birr (kebajikan). Kebajikan yang dimaksud bukan dalam kaca mata manusia. Bahkan bisa jadi apa yang dinilai oleh manusia sebagai sebuah kebajikan, jusru merupakan keburukan dan kejahatan di hadapan Allah SWT. Oleh karena, penilaian kebajikan itu didasarkan penilaian-Nya.

Oleh karena, sebutan al-abrâr hanya bisa disematkan kepada orang Mukmin sebagaimana diterangkan para mufassir di atas. Untuk bisa disebut al-abrâr, Mukmin tersebut harus mengerjakan banyak al-birr (kebajikan) yang telah ditetapkan syariah. Dalam QS al-Baqarah [2]: 177. Dalam ayat ini tersebut dijelaskan beberapa keyakinan dan perbuatan yang terkatagori sebagai al-birr (kebaikan).

Dengan demikian, sebegaimana penjelasan para ulama, al-abrâr adalah kaum Mukmin yang benar keimanan mereka dan taat pada seluruh syariah-Nya. Mereka mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Ketiga, balasan bagi kaum Mukmin yang taat kepada syariah-Nya yang di dalam ayat ini disebut al-abrâr, yaitu berupa surga yang dipenuhi dengan aneka kenikmatan yang luar biasa. Di antara kenikmatan tersebut diberitakan dalam ayat ini:  yasyrabûna mi ka‘s[in] kâna mizâjuhâ kâfûr[an] (minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur).

Gambaran kenikmatan surga itu—yang tentu saja realitasnya jauh melebihi apa yang dibayangkan oleh manusia—memberikan  dorongan kuat agar manusia berlomba untuk mendapatkannya. Caranya adalah dengan menjadi al-abrâr (orang-orang yang banyak melakukan kebajikan dan ketaatan).

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1          Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 743.

2          Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 743.

3          Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 269.

4          Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 287.

5          As-Sa’di, Taysىr al-Karىm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 901.

6          Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 743.

7          Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 170. Lihat juga al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wïl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-Arabi, 1998), 270.

8          Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 114

9          Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 125.

10        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 417.

11        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-‘0Ilmiyyah, 1995), 377.

12        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 93

13        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1888. Lihat juga al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 170.

14        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 417.

15        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 417.

16        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 125; al-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 743; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 270.

17        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 286.

18        Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 288.

19        As-Sa’di, Taysىr al-Karىm al-Rahmân, 901.

20        Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 170.

21        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 417.

22        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 377. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 270; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2993), 483.

23        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 93.

24        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibahm 1999), 287.

25        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 125, 126; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 170.

26        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 125,

27        Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 377.

28        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 126.

29        Asy-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 418.

30        Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 93

31        Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 743.

32        Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 171.

33        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 287.

34        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 28.

35        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 125; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 934; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wïl, vol. 5, 270; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 377; dan al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 171.

36        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 287.

37        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 287; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 418

38        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 287ز

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − two =

Back to top button