Keagungan Allah SWT dan Penyesalan Orang Kafir
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا . يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا . ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا . إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَالَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا
Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa saja yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia. Pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf. Mereka tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Maha Pemurah dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Karena itu siapa saja yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya. Sungguh Kami telah memperingatkan kalian (orang kafir) siksa yang dekat, yakni pada hari manusia melihat apa saja yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dulu aku adalah tanah.” (QS an-Naba’ [78]: 37-40).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Rabb as-samâwât wa al-ardh wa mâ baynahumâ ar-Rahmân (Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Maha Pemurah). Kata Rabbi dalam ayat ini berkedudukan sebagai badal (keterangan pengganti) dari kata Rabbika pada ayat sebelumnya.[1]
Dengan demikian ayat ini menerangkan bahwa Tuhan yang memberikan balasan kebaikan dan pemberian yang mencukupi kepada orang-orang yang bertakwa adalah Tuhan langit dan bumi, beserta semua yang ada di antara keduanya.
Kata ar-Rahmân berkedudukan sebagai shifah (sifat) bagi kata Rabbika atau Rabbi as-samâwât wa al-ardh.[2] Maknanya, Tuhan langit, bumi dan semua yang ada di antara keduanya adalah Tuhan yang memiliki sifat ar-Rahmân. Dialah ar-Rahmân yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.[3]
Dengan demikian, menurut Ibnu Katsir, Allah SWT mengabarkan tentang keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa Dia adalah Tuhan langit dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya; Dia adalah ar-Rahmân yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu.[4]
Kemudian Allah SWT berfirman: Lâ yamlikûna minhu khithâba (Mereka tidak dapat berbicara dengan Dia). Wâwu al-jamâ’ah pada kata yamlikûna menunjuk kepada penduduk langit dan bumi.[5]Dengan demikian mereka yang dimaksudkan adalah al-‘ibâd (para hamba). Adapun minhu berarti minalLâh Ta’âlâ (dari Allah SWT).[6]
Makna kata khithâb, menurut Qatadah, adalah kalâm (percakapan, pembicaraan).[7]
Az-Zuhaili memaknai kata tersebut: mukhâthabah wa mukâmalah (pembicaraan dan percakapan).[8] Artinya, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang bisa berbicara dengan Dia karena takut kepada-Nya.[9] Kalau pun diizinkan, hanya ketika mendapatkan izin-Nya. Al-Khazin berkata, “Makhluk tidak dapat berbicara dengan Tuhan kecuali dengan izin-Nya.”[10]
Kemudian Allah SWT berfriman: Yawma yaqû al-Rûh wa al-malâikah shaff[an] (pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf). Kata yawma dalam ayat ini berkedudukan sebagai zharf (keterangan waktu) dari frasa sebelumnya, yakni lâ yamlikûna minhu khithâba.[11] Artinya, peristiwa para hamba tidak dapat berbicara dengan Allah SWT itu terjadi pada hari ketika Ruh dan malaikat berdiri bershaf-shaf.
Siapakah yang dimaksud dengan ar-Rûh dalam ayat ini? Ada beberapa pendapat. Menurut Imam al-Qurthubi, ada delapan pendapat tentang itu, yakni salah satu malaikat, Malaikat Jibril, salah satu tentara Allah SWT, para tokoh malaikat, para penjaga malaikat, para anak Adam, ruh-ruh anak Adam, dan al-Quran.[12]
Banyaknya penafsiran tentang makna rûh juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir dan mufassir lainnya.[13]
Menurut an-Nasafi, yang dimaksud dengan rûh dalam ayat ini adalah Malaikat Jibril. Ini merupakan pendapat jumhur ulama.[14]
Lalu disebutkan: Lâ yatakallamûna illâ man adzina lahu ar-Rahmân wa qâla shawâb[an] (Mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin oleh Tuhan Yang Mahapemurah dan ia mengucapkan kata yang benar).
Sebagaimana manusia, Ruh dan malaikat yang bershaf-shaf itu juga tidak dapat berbicara dengan Allah SWT. Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini mengokohkan ayat sebelumnya. Menurut ar-Razi pula, hal itu disebabkan karena malaikat adalah makhluk paling agung, baik kemuliaan maupun derajatnya, paling tinggi kekuatan dan kedudukannya. Lalu diterangkan bahwa mereka tidak bisa berbicara pada saat Hari Kiamat karena mengagungkan Tuhan mereka, takut kepada dan tunduk kepada Dia. Lalu bagaimana keadaan selain mereka?[15]
Kemudian dalam ayat itu diberitakan bahwa mereka hanya bisa berbicara dalam dua keadaan. Pertama: Man adzina lahu al-Rahmân (yang diberi izin oleh Tuhan Yang Mahapemurah). Ini sebagaimana diberitakan dalam firman Allah SWT:
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya (QS Hud [11]: 105).[16]
Kedua: Wa qâla shawâb[an] (berkata benar). Makna shawâb adalah haqq (benar). Termasuk kalimat yang haqq adalah kalimat lâ ilâha illâlLâh sebagaimana dikatakan oleh Abu Shalih dan Ikrimah.[17]
Kemudian Allah SWT berfirman: Dzâlika al-yawm al-haqq (Itulah hari yang pasti terjadi). Yang dimaksud dengan dzâlika al-yawm (itulah hari) adalah Hari Kiamat. Itulah hari berdirinya Ruh dan malaikat bershaf-shaf.[18]
Ditegaskan bahwa hari itu adalah al-haqq. Artinya, itu adalah benar adanya dan tidak ada keraguan di dalamnya.[19]
Kemudian Allah SWT berfirman: Faman syâ` [i]ttakhadza ilâ Rabbihi ma`âb[an] (Karena itu siapa saja yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhan). Kata ma`âb[an] berarti marja’ (tempat kembali). Bentuk maf’al dari kata âba (kembali). Dalam konteks ayat ini, menurut al-Jazairi bermakna marj’[an] salîm[an] (tempat kembali yang selamat). Itu terjadi dengan iman dan takwa karena dengan keduanya akan terjadi keselamatan.[20]
Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Siapa saja di antara para hamba-Nya menghendaki, niscaya ia membenarkan adanya hari yang pasti ini, mempersiapkan diri untuk menghadapinya, dan melakukan berbagai amal yang bisa menyelamatkan dari huru-hara tersebut.”[21]
Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Innâ andzarnâkum adzâb[an] qarîb[an] (Sungguh Kami telah memperingatkan kalian (orang kafir) siksa yang dekat). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari ayat ini bermakna, “Sungguh Kami memperingatkan kalian, wahai manusia, tentang siksa yang telah kami timpakan kepada kalian.”[22]
Kata al-indzâr berarti peringatan tentang sesuatu yang tidak disukai sebelum terjadi.[23] Adapun adzâb qarîb (azab yang dekat) yang dimaksud adalah Hari Kiamat. Ini untuk mengukuhkan kepastian terjadinya sehingga menjadi dekat. Sebabnya, segala sesuatu yang akan datang pasti datang.[24] Menurut Fakhruddin ar-Razi semua yang akan datang itu adalah dekat.[25]
Dengan demikian ayat ini memberikan peringatan yang menakutkan tentang azab Hari Kiamat yang pasti terjadi dan tidak diragukan.
Menurut Imam al-Qurthubi, yang paling jelas dari azab yang dekat adalah azab akhirat, yakni kematian dan kiamat. Pasalnya, orang yang mati sungguh telah terjadi kiamat bagi dirinya. Jika dia termasuk ahli surga, dia melihat tempatnya di dalam surga. Sebaliknya, jika dita termasuk ahli neraka, dia pun melihat kehinaan dan kecelakaan.[26]
Kemudian Allah SWT berfirman: Yawm yandzuru al-mar` mâ qaddamat yadâhu (pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya). Pada hari Kiamat itu manusia akan melihat apa yang telah dikerjakan selama di dunia. Ibnu Katsir berkata, “Akan diperlihatkan kepada dia semua perbuatannya, yang baik maupun yang buruk; yang lalu maupun yang baru.[27]
Menurut Fakhruddin al-Razi, kata al-mar`u dalam ayat ini bersifat umum, mencakup semua orang. Sebabnya, mukallaf, jika mengerjakan amal orang bertakwa, tidak mendapatkan kecuali pahala yang besar. Sebaiknya, jika mengerjakan amal orang kafir, dia tidak mendapatkan kecuali siksa yang telah digambarkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu tidak terjadi bagi mukallaf mana pun yang mendatangi Hari Kiamat kecuali berada dalam salah satu di antara dua keadaan tersebut. Inilah yang dengan ayat ini. Karena itu beruntunglah jika mengerjakan perbuatan orang-orang yang berbakti dan kecelaakan jika mengerjakan perbuatan orang-orang yang durhaka.[28]
Allah SWT berfirman: Wayaqûlu al-kâfir yâ laytanî kuntu turâb[an] (dan orang kafir berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dulu adalah tanah.”). Ini menggambarkan betapa besar penyelasan orang-orang kafir pada Hari Kiamat. Menurut Ibnu Katsir, orang kafir amat senang jika dulu di dunia menjadi tanah saja, tidak usah diciptakan, dan tidak lahir ke dunia. Itu terjadi ketika diperlihatkan kepada mereka azab Allah SWT dan melihat amal-amalnya yang rusak yang telah ditulis oleh para malaikat yang mulia lagi berbakti.[29]
Beberapa Pelajaran Penting
Amat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya: Pertama, keagungan Allah Yang Maha Pemurah. Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah SWT adalah Satu-satunya Pemilik, Pengatur dan Pemelihara alam raya ini. Semuanya adalah ciptaan-Nya. Tidak ada tuhan selain Dia.
Diberitakan pula bahwa pada Hari Kiamat kelak, semua makhluk tidak ada satu yang bisa dan berani berbicara karena takut dengan keagungan Allah SWT. Bahkan Ruh dan malaikat yang merupakan makhluk-Nya yang paling mulia juga tidak bisa berbicara dengan-Nya. Hanya ada dua keadaan mereka semua bisa berbicara, yakni: mendapatkan izin dari Allah SWT dan berkata benar. Semua itu menunjukkan dengan jelas keagungan dan kebesaran Allah SWT sekaligus menunjukkan betapa tidak berdayanya manusia di hadapan Dia. Karena itu sungguh aneh jika ada manusia yang merasa dirinya kuat dan berani mendurhakai Allah SWT.
Kedua, kepastian terjadinya Hari Kiamat. Ini dengan dengan jelas disebutkan dalam firman-Nya: Dzâlik al-yawm al-haqq. Itulah hari yang benar, yang pasti terjadi. Disebutkan pula azab Hari Kiamat sebaga adzâb[an] qarîb[an], azab yang dekat. Menurut para mufassir, unkapan itu menunjukkan kepastian karena segala yang pasti terjadi adalah dekat.
Ketiga, memilih jalan yang mengantarkan ke surga dan ridha Allah SWT adalah pilihan. Dalam ayat ini disebutkan faman syâ`a (siapa saja yang menghendaki). Ini menunjukkan adanya pilihan dan kemauan manusia. Jika seseorang menginginkan dan menghendaki kembali kepada Allah SWT, dia harus membekali dirinya dengan keimanan dan ketakwaan. Tatkala ini dilakukan, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, mereka akan memperoleh mafâz[ân] (kemenangan).
Keempat, amal perbuatan manusia terlihat oleh pelakunya pada Hari Kiamat. Dalam ayat ini diberitakan yandzuru al-mar` mâ qaddamat yadâhu (manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya). Tentang hal ini juga diberitakan dalam ayat-ayat yang lain (Lihat, misalnya, QS Ali Imran [3]: 30).
Kelima, penyesalan orang kafir. Dalam ayat ini orang-orang kafir merasakan penyesalan luar biasa. Mereka mengandaikan jika dulu tidak diciptakan sebagai manusia, namun hanya sebagai debu, niscaya mereka tidak akan dihisab dan mendapatkan siksa yang amat dahsyat. Betapa tidak menyesal, mereka harus menghadapi siksa yang amat dahsyat sebagaimana diberitakan dalam beberapa ayat seblumnya.
Sungguh Hari Kiamat merupakan peristiwa besar yang pasti terjadi. Berita yang mengabarkan Hari Kiamat juga merupakan naba` azhîm (berita besar) sebagaimana disebutkan dalam awal ayat ini. Oleh karena itu, jangan sampai ada yang mendustakan atau melalaikan Hari Kiamat sehingga menjadi orang-orang yang merugi.
WalLâh a’lam bi al-shawâb. []
Catatan kaki:
[1] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 218; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 25.
[2] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 219; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 183; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1998), 281.
[3] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 26
[4] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 309
[5] Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5, 281.
[6] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25
[7] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 175.
[8] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25
[9] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 309.
[10] Al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 389.
[11] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25.
[12] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 186-187. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 176-177
[13] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 309-310.
[14] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta`wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim al-Thayyib, 1998), 593.
[15] Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 31, 24. Lihat juga dalam al-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 692
[16] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 186.
[17] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 310.
[18] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 179.
[19] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 179. Lihat juga dalam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 310; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 25.
[20] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa Hikam, 2003), 356
[21] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 179.
[22] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta`wîl al-Qur`ân, vol. 24, 179.
[23] Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 26
[24] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 310.
[25] Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 3, 26. Lihat juga dalam al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta`wîl, vol. 3, 593-594; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta`wîl, vol. 5, 281; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 26
[26] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 188.
[27] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 310.
[28] Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 3, 26.
[29] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur`ân al-‘Azhîm, vol. 8, 310.