Mengingatkan Manusia Tentang Asal-usulnya
(Tafsir QS ‘al-Mursalat [77]: 20-23)
أَلَمۡ نَخۡلُقكُّم مِّن مَّآءٖ مَّهِينٖ * فَجَعَلۡنَٰهُ فِي قَرَارٖ مَّكِينٍ * إِلَىٰ قَدَرٖ مَّعۡلُومٖ * فَقَدَرۡنَا فَنِعۡمَ ٱلۡقَٰدِرُونَ *
Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina. Kemudian Kami meletakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim) sampai waktu yang ditentukan. Lalu Kami menentukan (bentuknya). Karena itu Kamilah sebaik-baik Penentu. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan (QS al-Mursalat [77]: 20-23).
Dalam ayat-ayat sebelumnya Allah SWT menegaskan tentang pembi-nasaan kaum-kaum kafir terdahulu. Demikian pula dengan kaum-kaum belakangan. Mereka harus mengalami yang sama. Mereka semua Allah binasakan. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki yang sama, yani menjadi mujrimîn (orang-orang yang mengerjakan).
Kemudian ayat-ayat ini mengingatkan tentang asal-usul mereka. bahwa mereka diciptakan dari air yang hina. Seolah ingin dikatakan: Bagaimana mereka mendustakan dan berani berbuat jahat kepada Allah SWT, padahal Allah SWT menciptakan mereka dari barang yang hina?
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Alam Nakhluqkum min mâi[n] mahîn[n] (Bukankah Kami menciptakan kalian dari air yang hina).
Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada manusia. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Bukankan Kami telah menciptakan kalian, wahai manusia.”1
Sebagaimana dalam ayat sebelumnya, kalimat tanya dalam ayat ini juga merupakan istifhâm taqrîrî (kalimat tanya untuk menetapkan).2 Dengan demiklian ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT benar-benar telah menciptakan manusia dari mâi[n] mahîn[n] (air yang hina).
Menurut Ibnu Abbas dan banyak mufassir lainnya, kata mahîn[n] dalam ayat ini bermakna dha’îf (lemah).3 Ibnu Katsir, al-Qurthubi dan asy-Syaukani juga memaknai ksts ini sebagai dha’îf haqîr (lemah dan hina).4
Menurut Abdurrahman as-Sa’di, ksts terdebut bermakna fî ghayâh haqârah (di puncak kehinaan), yang keluar dari antara sulbi dengan tarâ’ib.5
Menurut Ibnu Katsir, air tersebut lemah dan hina dibandingkan dengan Kekuasaan Tuhan Yang Maha Pencipta ‘Azza wa Jalla. Ini sebagaimana telah disebutkan di dalam surat Yasin melalui hadis Bisyar bin Jahsy yang menyebutkan:
ابْنَ آدَمَ أَنَّى تُعْجِزُنِي وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ مِثْلِ هَذِهِ؟
Hai anak Adam, apakah yang menghalangi-Ku dari berbuat terhadap kamu, padahal Aku telah menciptakan kamu dari sesuatu yang hina seperti ini (air mani)?6
Air yang lemah dan hina yang menjadi asal-usul manusia itu adalah an-nuthfah. Demikian penjelasan para mufassir.7 Dari situlah manusia diciptakan. Allah SWT berfirman:
وَٱللَّهُ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٖ ثُمَّ مِن نُّطۡفَةٖ
Allah menciptakan kalian dari tanah kemudian dari air mani (QS Fathir [35]: 11).
Kemudian Allah SWT berfirman: Faj’alnâhu fî qarâr[in] makîn[in] (Kemudian Kami meletakkan dia dalam tempat yang kokoh [rahim]).
Diberitakan bahwa air yang hina itu ditempatkan di dalam qarâr[in] makîn[in] (tempat yang kokoh). Artinya, di dalam makân harîz (tempat yang tertutup).8 Tempat itu tak lain adalah rahim. Demikian penjelasan para mufassir.9 Di dalam rahim itulah air mani laki-laki bertemu dengan indung telur kemudian terus tumbuh dan berkembang menjadi janin manusia hingga siap dilahirkan.
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Kami kumpulkan di dalam rahim, yakni tempat pertemuan air mani laki-laki dan indung telur. Rahim memang disiapkan untuk itu dan menjaga air mani yang tersimpan di dalamnya.”10
Kemudian Allah SWT berfirman: Ilâ qadar[an] ma’lûm (sampai waktu yang ditentukan). Kata qadar dalam ayat ini bermakna miqdâr (ukuran). Meenurut al-Alusi dan asy-Syaukani, qadar[an] ma’lûm berarti miqdâr ma’lûm (ukuran tertentu).11 Dalam konteks ayat ini, ukuran yang dimaksud adalah ukuran waktu. Karena itu sebagian mufassir lainnya menafsirkan kata ini dengan waqt ma’lûm (waktu tertentu). Ibnu Jarir berkata, “Hingga waktu tertentu saat keluarnya janin dari rahim menurut Allah SWT.”12
Al-Alusi berkata, “Hingga waktu yang telah ditentukan di sisi Allah SWT untuk lahir, selama sembilan bulan, kurang atau lebih.”13
Ibnu Katsir mengatakan bahwa masa yang ditentukan itu adalah masa enam bulan atau sembilan bulan.14
Sebagaimana Allah SWT yang menempatkan cikal bakal manusia ke dalam rahim, Dia pula yang menentukan batas waktu di dalamnya hingga keluar. Bukan yang lain (Lihat pula: QS Luqman [31]: 34).
Kemudian Allah SWT berfirman: Faqadarnâ fani’ma al-Qâdirûn (Lalu Kami menentukan (bentuknya). Karena itu Kamilah sebaik-baik Penentu). Terdapat perbedaan dalam membaca frasa Faqadarnâ dalam ayat ini. Ada yang membaca frasa itu dengan tasydîd, sebagaimana pada umumnya qurrâ‘ di Madinah. Ada juga yang membaca frasa itu dengan takhfîf, sebagaimana pada umumnya qurrâ‘ di Kufah dan Bashrah.15
Menurut al-Kisa‘i dan al-Farra‘, kedua kata itu mengandung satu makna.16 Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, kadang-kadang sebuah kata yang at-tasydîd atau at-takhfîf mengandung satu makna.17
Maknanya, menurut az-Zuhaili: Kamilah yang menentukan bentuk dan ciptaan-Nya.18 Dialah yang menciptakan organ-organ tubuhnya dan sifat-sifatnya; Dia menjadikan setiap keadaan sesuai dengan sifat yang Dia inginkan.19
Menurut az-Jazairi, maksud frasa faqadarnâ adalah: Dia telah menciptakan janin tersebut dengan bentuk yang paling baik dan susunan jarak antara organ tubuh yang paling teliti sebagaimana antara dua mata, dua tangan, dua kaki, dan dua telinga. Semuanya ditentutkan dengan ukuran yang sangat mengagumkan, tidak lebih dan tidak kurang.20
Kemudian ditegaskan: fani’ma al-Qâdirûn (Karena itu Kamilah sebaik-baik Penentu). Kata ni’ma merupakan kata yang digunakan untuk memuji, sebagaimana kata bi’sa yang digunakan untuk mencela.21
Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Wayl[un] yawmaidzi[n] li al-mukadzibîn (Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan). Allah SWT kembali menyampaikan ancaman keras terhadap orang-orang yang mendustakan. Mereka akan ditimpakan kecelakaan pada hari itu. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Kecelakaan besar bagi orang-orang yang mendustakan karena Allah SWT telah menciptakan mereka dari air yang hina.”22
Menurut as-Samarqandi, siksa yang dashyat bagi orang yang melihat penciptaan pertama, namun mengingkari penciptaan kedua.23
Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini merupakan jenis ketiga untuk memberikan rasa takut terhadap orang-orang kafir. Hal itu tampak pada dua hal. Pertama: Allah SWT mengingatkan mereka tentang besarnya nikmat-Nya kepada mereka. Semakin banyak kenikmatakan Allah SWT atas mereka, kejahatan mereka pun semakin buruk dan keji. Tentu hukuman terhadap mereka pun semakin besar. Oleh karena itu, penyebutan nikmat tersebut diakhiri dengan firman-Nya: Wayl[un] yawmaidzi[n] li al-mukadzibîn.
Kedua: Sungguh Allah SWT telah mengingatkan mereka tentang keberadaan-Nya Yang Mahakuasa dalam menciptakan pertama kali. Tampak jelas menurut akal bahwa Zat Yang Mahakuasa mengawali, Mahakuasa pula untuk mengulangi lagi. Karena itu tatkala mereka mengingkari petunjuk yang terang tersebut, maka Allah SWT berfirman tentang hukuman bagi mereka: Wayl[un] yawmaidzi[n] li al-mukadzibîn.24
Beberapa Pelajaran Penting
Pertama: Asal-usul manusia. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa mereka ada di dunia ini bukan terjadi dengan sendirinya. Mereka ada karena ada yang menciptakan mereka. Dialah Allah SWT. Ini dengan jelas disebutkan dalam firman-Nya: Alam nakhluqkum (Bukankah Kami menciptakan kalian).
Sebagaimana telah dipaparkan, kalimat ini merupakan istifhâm taqrîrî. Artinya, Alllah SWT benar-benar telah menciptakan mereka. Hal ini, amat banyak diberitakan dalam al-Quran.
Ayat ini juga memberitakan bahan baku manusia, bahwa mereka diciptakan Allah SWT dari air yang hina. Penyebutan air yang hina ini juga terdapat dalam QS as-Sajdah [32]: 8.
Sebagaimana diterangkan para mufassir, yang dimaksud dengan itu adalah nutfhah atau air mani yang ditumpahkan ke dalam rahim. Selain ayat ini, ada ayat lainnya yang memberitakan hal serupa (Lihat, misalnya: QS al-Qiyamah [74]: 37).
Ini berbeda dengan bapak mereka yang pertama, yakni Adam. Adam diciptakan oleh Allah SWT dari tanah (lihat QS as-Sajdah [32]: 7).
Ini jelas merupakan kenikmatan yang amat besar bagi manusia. Bahkan bisa disebut ini sebagai pangkal kenikmatan. Sebabnya, tidak ada satu pun kenikmatan lain yang dapat dirasakan oleh manusia jika dia tidak ada. Karena itu semestinya dia bersyukur kepada Zat Yang menciptakan dirinya, yakni Allah SWT (Lihat juga: QS an-Nahl [16]: 78).
Semestinya pula mudah bagi manusia melakukan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Pasalnya, untuk tujuan itu Allah SWT menciptakan mereka (Lihat: QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Sungguh manusia tidak tahu diri jika tidak mau bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika mereka mengingkari Allah SWT dan menjadi musuh yang nyata bagi-Nya. Allah SWT berfirman:
أَوَ لَمۡ يَرَ ٱلۡإِنسَٰنُ أَنَّا خَلَقۡنَٰهُ مِن نُّطۡفَةٖ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٞ مُّبِينٞ ٧٧
Apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakan dia dari setitik air (mani). Lalu tiba-tiba dia menjadi penantang yang nyata! (QS Yasin [36]: 77).
Sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat ini, kecelakaanlah yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan Allah SWT beserta risalah yang Dia turun dan rasul yang Dia utus.
Kedua: Kelemahan manusia. Ayat ini mengingatkan manusia bahwa dia adalah makhluk ciptaan-Nya. Disebutkan pula, mereka diciptakan dari bahan baku yang lemah, hina dan menjijikkan. Itulah air mani yang dipancarkan dan diletakkan di dalam rahim ibu mereka. Di situlah kemudian tumbuh, berkembang dan membesar hingga masa tertentu yang Dia tetapkan. Setelah tiba masanya, manusia dilahirkan. Begitu lahir ia juga tidak serta bisa berjalan dan berlari. Bahkan hanya sekadar untuk makan atau minum dia memerlukan bantuan pihak lain. Setelah itu dia berkembang hingga menjadi manusia dewasa. Itu hanya bisa terjadi tatkala dia mengkonsumsi rezeki yang Allah berikan kepada dirinya. Itu semua menunjukkan betapa lemahnya manusia. Dia tidak akan berdaya tanpa mendapatkan pertolongan dan rezeki-Nya.
Lalu atas dasar apa manusia berani bersikap lancang kepada Allah SWT? Bahkan berani memusuhi Allah SWT dan agama-Nya? Sungguh, kecelakaan akan mereka dapatkan.
Ketiga: Allah SWT adalah sebaik-baik Pencipta dan Penentu segala sesuatu. Sebagaimana telah diterangkan, nuthfah yang menjadi bahan dasar manusia itu diletakkan dalam rahim. Di situlah janin itu tumbuh, membesar dan berkembang menjadi janin dengan rentang masa tertentu. Pada umumnya sekitar sembilan. Itu adalah masa yang tepat ketika janin lahir.
Demikian pula dengan tubuh manusia beserta seluruh organnya. Semuanya serasi dan memiliki fungsi-fungsi yang luar biasa. Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling baik (Lihat: QS al-Tin [95]: 4). Padahal asal-usulnya hanyalah dari tetesan air yang lemah dan hina. Itu semua menunjukkan keagungan Penciptanya. Dialah sebaik-baik Pencipta (Lihat: QS al-Mukminun [23]: 14).
Keempat: Kepastian orang-orang yang mendustakan ditimpa kecelakaan dan azab. Itu adalah hukuman yang layak bagi mereka. Betapa tidak. Dia yang awalnya tidak ada, lalu diciptakan sebagai makhluk dengan bentuk yang sempurna dan dilengkapi akal sehat, tiba-tiba mendustakan Penciptanya. Membangkang dan tidak mau tunduk kepada syariah-Nya. Padahal syariah yang diturunkan itu amat berguna bagi kehidupan mereka. Karena itu tidak ada balasan yang layak bagi mereka kecuali hukuman yang keras.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 132.
2 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29. (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 318
3 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 132.
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), 298
5 As-S’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 904.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 298; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 159; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 432.
7 Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 772; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 193; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 159; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432; al-Khazin, Lubâb al-Ta`wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-;Ilmiyyah, 1995), 383; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 435.
8 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 159; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432.
9 Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 772; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 159; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 299; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 435; ; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (BeirutL Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1998) , 275.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 299.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kaysysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-’, 679.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 132.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 193.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 299.
15 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 132.
16 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 432
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 133.
18 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29,319.
19 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29,320.
20 Al-Jazairi, Aisar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 349.
21 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 815-816.
22 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 133.
23 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 435.
24 Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30, 771-772.