Sebagian Gambaran Nikmat Surga
(Tafsir QS al-Insan[76]:13-18)
مُّتَّكِِٔينَ فِيهَا عَلَى ٱلۡأَرَآئِكِۖ لَا يَرَوۡنَ فِيهَا شَمۡسٗا وَلَا زَمۡهَرِيرٗا ١٣ وَدَانِيَةً عَلَيۡهِمۡ ظِلَٰلُهَا وَذُلِّلَتۡ قُطُوفُهَا تَذۡلِيلٗا ١٤ وَيُطَافُ عَلَيۡهِم بَِٔانِيَةٖ مِّن فِضَّةٖ وَأَكۡوَابٖ كَانَتۡ قَوَارِيرَا۠ ١٥ قَوَارِيرَاْ مِن فِضَّةٖ قَدَّرُوهَا تَقۡدِيرٗا ١٦ وَيُسۡقَوۡنَ فِيهَا كَأۡسٗا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا ١٧ عَيۡنٗا فِيهَا تُسَمَّىٰ سَلۡسَبِيلٗا ١٨
Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan. Mereka tidak merasakan di dalamnya terik matahari dan tidak pula udara yang sangat dingin, Naungan (pepohonan surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya dimudahkan untuk dipetik dengan semudah-mudahnya. Diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah mereka ukur dengan sebaik-baiknya. Di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil (QS al-Insan [76]: 13-18).
Dalam ayat-ayat sebelumnya telah diberitakan tentang balasan orang-orang yang melakukan kebajikan. Mereka dilindungi dari siksa dan dimasukkan ke dalam surga.
Kemudian ayat-ayat ini menggambarkan beberapa kenikmatan surga.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Muttakiîna fîhá ‘alâ al-arâiki (Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan). Dhamîr al-ghâyb dalam ayat ini merujuk pada al-jannah atau surga. Frasa fîhâ bermakna fî al-jannah (di surga).1 Dengan demikian ayat ini memberitakan tentang keadaan para penghuni surga kelak.
Di surga mereka dalam keadaan muttakiîn (duduk-duduk santai). Menurut az-Zuhaili maknanya adalah duduk dengan tenang dan santai. Biasanya duduknya di atas satu sisi dan bersandar di atas bantal.2
Adapun al-arâiki merupakan bentuk jamak dari kata al-arîkah (kursi panjang atau ranjang).3 Menurut as-Sa’di, al-aráik adalah as-surur (tempat tidur) yang dibungkus dengan tutupan atau sprei yang berhias.4 Ini menggambarkan betapa nyaman dan nikmatnya hidup di dalam surga. Mereka bisa duduk-duduk dengan tenang dan santai seraya menikmati berbagai kesenangan lainnya.
Kemudian disebutkan: Lâ yarawna fîhâ syams[an] wa lâ zamharî[an] (Mereka tidak merasakan di dalamnya [terik] matahari dan tidak pula udara yang amat dingin). Para penghuni surga itu tidak merasakan udara yang sangat panas atau sangat dingin. Menurut ar-Razi, udaranya sedang antara panas dan dingin.5
Menurut al-Qurthubi, kata syams[an] (matahari) di sini bermakna: syiddat harr ka harr asy-syams (udara sangat panas seperti panasnya matahari).6 Ath-Thabari berkata, “Mereka tidak melihat matahari yang panasnya dapat menyakiti mereka.”7
Kata zamharî[an] berarti bard[an[ mufrith[an] (dingin yang ekstrem).8 Menurut asy-Syaukani, maknanya adalah asyadd al-bard (dingin yang luar biasa).9 Ath-Thabari memaknai asyadd al-bard (dingin yang luar biasa) yang diinginnya menyakiti mereka.10
Ibnu Katsir juga berkata, “Di tempat mereka tidak ada panas yang terik dan tidak pula dingin yang menusuk tulang, melainkan cuacanya sedang dan selamanya demikian. Mereka tidak mau berpindah tempat darinya untuk selama-lamanya. Demikian sebagaimana diberitakan dalam QS al-Kahfi [18]: 108).11
Kemudian Allah SWT berfirman: wa dâniyat[an] ‘alayhim zhilâluhâ (dan naungan [pepohonan surga itu] dekat di atas mereka). Kata azh-zhilâl berarti naungan. Dalam konteks ayat ini, naungan yang dimaksud adalah zhilâl asy-asyjâr (naungan pepohonan).12 Adapun dâniyah berarti qarîbah (dekat). Al-Alusi berkata, “Naungan pepohonan surga itu sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan itu; menaungi mereka sebagai tambahan kenikmatan atas mereka.”13 Muqatil berkata, “Pohon-pohonnya sangat dekat dengan mereka.”14
Imam al-Qurthubi berkata, “Naungan pepohonan di surga sangat dekat dengan al-abrâr (orang-orang yang melakukan kebajikan). Naungan itu menjadi naungan di atas mereka sebagai tambahan kenikmatan bagi mereka meskipun tidak ada matahari dan bulan.”15
Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Ibnu Jarir al-Thabari, Ibnu Katsir, dan lain-lain.16
Lalu dilanjutkan: wa dzullilat quthûhâ tadzlîl[an] (dan buahnya dimudahkan untuk dipetik semudah-mudahnya). Kata al-quthûf bermakna ats-tsimâr (buah-buahan). Bentuk tunggalnya adalah qithf. Dinamakan demikian karena buah tersebut yuqthafu (dipetik). Sebagaimana juga benda tersebut disebut al-janâ karena yujnâ (dipetik, dipanen).17
Adapun kata dzullilat berarti sukhkhirat wa qurrubat (ditundukkan dan didekatkan).18 Al-Alusi berkata, “Ditundukkan buah-buahnya untuk mendapatkannya dan dimudahkan untuk mengambilnya.” Kata tersebut berasal dari kata adz-dzull yang merupakan lawan dari kata al-shu’ûbah (kesulitan).19
Kata tadzlîl[an] yang merupakan bentuk mashdar dari kata dzullilat bermakna taskhîr[an] (menundukkan). Kata tersebut berguna untuk mengukuhkan kemudahan yang disebutkan kata sebelumnya.20
Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa buah-buahan yang ada di surga itu dapat dipetik dengan sangat mudah. Menurut Qatadah, buah-buah tersebut dapat dipetik oleh orang yang berdiri, duduk dan berbaring. Tidak tertahan tangan-tangan mereka karena jarak yang jauh dan juga duri.21
Mujahid juga berkata, “Apabila seseorang berdiri, pohon itu meninggi untuk dirinya. Apabila dia duduk, pohon itu miring kepada dirinya. Ketika dia berbaring, pohon itu mendekati dirinya. Lalu dia pun dapat memakannya.”22
Penjelasan senada juga dikemukakan Ibnu Katsir. Mufassir tersebut berkata, “Manakala seseorang dari mereka ingin memetik buahnya, maka buahnya itu mendekat kepada dia dari rantingnya yang tinggi seakan-akan buah itu tunduk patuh kepadanya. Ini seperti yang digambarkan dalam QS ar-Rahman [55]: 54 dan al-Haqqah [69]: 23).23
Kemudian Allah SWT berfirman: wa yuthâfu ‘alayhim bi âniyah min fidhhah wa akwâb kânat qawârîr[an] (dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan piala-piala yang bening laksana kaca).
Digambarkan bahwa âniyah itu secara spesifik min fidhhah (dari perak). Meskipun demikian, bukan berarti bejana untuk mereka tidak ada yang terbuat dari emas. Adanya bejana dari emas dapat dipahami dari firman-Nya yang lain (Lihat: QS al-Zukhruf [43]: 71).
Selain bejana, diedarkan pula kepada mereka akwâb (piala-piala, gelas-gelas besar). Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata kûb. Menurut asy-Syaukani, kata al-kûb adalah al-kûz al-‘azhîm (gelas besar) yang tidak memiliki pegangan dan lobangnya (yang menjadi keluar air).24
Kedua wadah yang berisi minuman tersebut dibawa oleh para pelayan surga mengitari mereka. Imam al-Qurthubi berkata, “Para pelayan surga itu mengitari orang-orang yang berbuat kebajikan ketika mereka ingin minum dengan membawa bejan-bejana dari perak.”25 Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa yang berkeliling mengitari mereka adalah para pelayan surga dengan membawa bejana-bejana yang berisikan makanan terbuat dari perak, juga gelas-gelas minuman.26
Adapun kata qawârîr[an] merupakan bentuk jamak dari kata qârûrah yang berarti bejana tipis dari kaca yang di dalamnya terdapat minuman.27 Sebagaimana layaknya kaca, gelas itu pun tembus pandang sehingga isinya terlihat dari luar. Kemudian disebutkan: qawârîr[an] min fidhdhah ([yaitu] kaca-kaca [yang terbuat] dari perak).
Dengan demikian gelas-gelas besar yang berisi minuman itu menggabungkan dua sifat sekaligus, yakni kaca dan perak. Menjelaskan tentang ini, para mufassir mengatakan bahwa gelas tersebut sebening kaca dan seputih perak. Artinya, beningnya sebening kaca, namun gelas atau piala itu dari perak. Di antara yang menjelaskan demikian adalah Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan al-Basri, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, al-Alusi, as-Sa’di, dan lain-lain.28
Menurut Ibnu Katsir, tidak disebut qawârîr kecuali terbuat dari kaca. Gelas-gelas itu terbuat dari perak, sekalipun demikian tampak transparan. Bagian dalamnya dapat terlihat dari bagian luarnya dan hal seperti ini tiada persamaannya di dunia.29
Kemudian disebutkan: qaddarûhâ taqdîr[an] (yang telah diukur oleh mereka dengan sebaik-baiknya). Menurut az-Zamakhsyari, mereka mengukur gelas-gelas besar itu untuk diri mereka sendiri agar ukuran dan bentuk sesuai dengan keinginan mereka. Lalu gelas-gelas itu datang sesuai dengan pengukuran mereka .30
Ada juga yang mengatakan bahwa dhamîr (kata ganti mereka) itu kembali kepada para pelayan yang memberikan minuman itu. Menurut asy-Syaukani, yang mengukurnya adalah para pelayan pemberi minuman yang mengitari mereka dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan orang-orang yang meminumnya dari kalangan penghuni surga, tidak lebih dan tidak kurang.31
Ibnu Abbas berkata, “Mereka mengukurnya sepenuh telapak tangan, tidak lebih dan tidak kurang, hingga tidak menyulitkan mereka karena berat atau terlalu kecil.”32
Dengan demikian gelas-gelas tersebut sesuai dengan ukuran pemiliknya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bahkan memang disediakan untuk dia dan diukur sesuai dengan selera pemiliknya. Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Abu Shalih, Qatadah, Ibnu Abza, Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, Qatadah, Asy-Sya’bi dan Ibnu Zaid; juga dikatakan oleh Ibnu Jarir dan lainnya.33
Menurut Ibnu Katsir, ini menunjukkan perhatian yang sangat dan penghormatan yang tiada taranya bagi pemiliknya.34
Kemudian disebutkan: wa yusqawna fîhâ ka’s[an] kâna mizâjuhâ zanjabîl[an] (di dalam surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah jahe). Ayat ini memberitakan bahwa orang-orang yang berbuat kebajikan yang menjadi penghuni surga itu diberi minuman berupa ka’s[an]. Kata ka’s[an] adalah khamr yang ada di dalam gelas. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Qurthubi, asy-Syaukani, Ibnu Katsir, dan lain-lain.35
Dalam ayat ini diberitakan minuman mereka dicampur dengan zanjabîl (jahe). Menurut Imam al-Qurthubi dan asy-Syaukani, orang Arab sangat suka dengan minuman yang dicampur dengan jahe karena aroma wanginya. Jahe itu sendiri dapat menyegarkan lidah dan membangkitkan selera makan. Mereka pun tergiur dengan kenikmatan akhirat yang mereka yakini sangat nikmat dan lezat.36
Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Kadang minuman mereka diberi campuran kafur yang rasanya sejuk dan kadang diberi campuran dengan jahe yang rasanya hangat. Dengan itu rasanya beragam. Orang-orang yang bertakwa dari kalangan ahli surga diberi minuman yang adakalanya dicampur dengan kafur dan adakalanya pula dicampur dengan jahe. Adapun bagi kaum muqarrabûn dari kalangan penduduk surga, maka minuman mereka murni tanpa campuran, seperti yang telah dikatakan oleh Qatadah dan lain-lain.”37
Ibnu Abbas berkata, “Semua yang disebutkan Allah SWT dalam al-Quran berada di surga dan diberi nama tidak sama dengan yang ada di dunia. Jahe di surga tidak serupa dengan jahe di dunia.”38
Ada juga yang mengatakan bahwa al-zanjabîl merupakan sebuah nama mata air di surga. Ini diriwayatkan dari Qatadah.39
Kemudian dilanjutkan: ayn[an] fîhâ tusammâ salsabîl[an] (yang didatangkan dari) sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil). Menurut Ibnu Katsir, al-zanjabîl adalah sebuah mata air di dalam surga yang dinamai Salsabila.40 Menurut Ikrimah, Salsabila adalah nama sebuah mata air di dalam surga. Menurut Mujahid, mata air itu dinamakan Salsabila karena arus airnya yang lancar dan deras. Menurut Qatadah, Salsabila adalah mata air yang airnya enak diminum.41
Demikianlah berbagai kenikmatan akan diberikan kepada penghuni Surga. Sebagaima diberitakan dalam ayat sebelumnya, mereka yang dimasukkan ke dalamnya dan menikmati berbagai kenikmatan itu adalah al-abrár, orang-orang yang berbuat kebajikan. Alhasil, siapa pun yang mendapatkan semua kenikmatan yang diberitakan ayat ini, hendaknya menjadi orang-orang yang berbuat kebajikan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 137; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 421; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutuba al-‘0Ilmiyyah, 1995), 379.
2 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 295.
3 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 379.
4 As-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 901.
5 Ar-Razi, Mafâtîh ala-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 750
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 137.
7 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 102
8 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 137.
9 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 421
10 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 102. Lihat juga al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 285.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 290.
12 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 379.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 176. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 422 dengan tambahan: “Dikatakan al-Syaukani, “Sekalipun tidak ada matahari di sana.”
14 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 422
15 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 138.
16 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 102; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 290.
17 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 139.
18 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 379.
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 1.
20 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 139.
21 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 139.
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 139.
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
24 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 422; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 140.
25 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 140.
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
27 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 176.
28 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 14; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 176; al-Sa’di, Taysìr al-Karìm al-Rahmân, 901.
29 Ath-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 103; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
30 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 671.
31 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 422
32 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 141.
33 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
34 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
35 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 141; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 423; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291.
36 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 141-142; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 423.
37 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 291-292.
38 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 380.
39 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 178
40 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 29.
41 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 292.