Tuduhan Palsu Kaum Musyrik Terhadap Al-Quran
(QS al-Ahqaf [46]: 8)
أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ فَلَا تَمۡلِكُونَ لِي مِنَ ٱللَّهِ شَيًۡٔاۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِۚ كَفَىٰ بِهِۦ شَهِيدَۢا بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۖ وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٨
Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakan al-Quran.” Katakanlah, “Jika aku mengada-adakan al-Quran maka kalian tidak mempunyai kuasa sedikitpun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu. Dia lebih mengetahui apa saja yang kalian percakapkan tentang al-Quran itu. Cukuplah Dia menjadi Saksi antara aku dan kalian. Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS al-Ahqaf [46]: 8).
Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang sikap kaum musyrik ketika dibacakan al-Quran, ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi-Nya. Kebenaran al-Quran sesungguhnya telah mereka saksikan. Namun, mereka tetap menolak seraya menutupi kebenaran itu dengan menyebutnya sebagai sihir yang nyata.
Ayat ini kemudian menjelaskan tuduhan mereka lainnya terhadap al-Quran. Mereka menuduh al-Quran adalah buatan dan rekaan Rasulullah saw. Ayat ini kemudian memberikan petunjuk kepada beliau untuk menjawab tuduhan keji mereka itu.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ ٨
Bahkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah mengada-adakan al-Quran.”
Ayat ini masih membicarakan kaum kafir. Dalam ayat sebelumnya diberitakan bahwa mereka menyebut al-Quran sebagai sihir yang nyata. Kemudian disusul dengan ayat ini yang memberitakan tuduhan mereka lainnya tentang al-Quran.
Tuduhan lain tersebut dapat dipahami dari huruf « أَمْ » pada awal ayat ini. Menurut para mufassir, huruf tersebut dalam konteks kalimat ayat ini bermakna « بَلْ، الْإِضْرَابِيَّةِ » (artinya, bahkan).1
Menurut Wahbah al-Zuhaili, al-idhrâb adalah berpindah dari satu makna ke makna lainnya.2 Artinya, beralih dari penyebutan mereka tentang ayat-ayat al-Quran itu sebagai sihir ke perkataan lainnya bahwa Rasulullah saw telah mengada-adakan sendiri apa yang beliau bawa.3
Syihabuddin al-Alusi berkata, “Berpaling dan berpindah dari cerita tentang keburukan mereka sebelumnya ke cerita tentang sesuatu yang lebih buruk, yakni kedustaan yang dilakukan secara sengaja atas nama Allah SWT. Sebabnya, dusta, khususnya dusta atas nama Allah SWT, merupakan keburukan yang telah disepakati sehingga semua orang membencinya. Ini berbeda halnya dengan sihir. Meskipun buruk, keburukan sihir tidak sampai derajat tersebut sehingga nyaris pengetahuan tentangnya dikategorikan sebagai masuk dalam perkara yang disenangi.”4
Menurut ayat ini, mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah membuat-buat al-Quran lalu diklaim bahwa itu berasal dari Allah SWT. Disebutkan: « افْتَراهُ » (dia mengada-adakan al-Quran). Artinya, « اخْتَلَقَهُ » (membuat-buat, mengada-adakan).5
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Ataukah kaum musyrik kepada Allah SWT dari kalangan Quraisy itu mengatakan Muhammad saw. mengada-adakan al-Quran ini, membuat-buat dan mereka-rekanya secara dusta?”6
Tuduhan mereka itu dingkari oleh al-Quran. Ini dapat dipahami dari huruf hamzah pada awal ayat ini yang merupakan al-inkâri wa al-ta’ajjubi (pengingkaran dan keheranan) terhadap perbuatan mereka.7
Menurut asy-Syaukani, ayat ini mengandung kecaman dan celaan yang sangat jelas.8
Menurut Imam al-Qurthubi hal itu disebabkan karena Muhammad saw. tidak akan mampu membuat al-Quran sehingga dia mengatakan dan mengada-adakan atas nama Allah SWT. “Seandainya beliau mampu untuk melakukan itu, sementara orang Arab lainnya tidak mampu, berarti kemampuan beliau itu merupakan mukjizat beliau karena hal itu di luar adat kebiasaan manusia. Jika mukjizat, berarti itu menjadi pembenaran dari Allah SWT kepada beliau. Sebabnya, Allah Yang Maha Bijaksana tidak akan membenarkan orang yang berdusta sehingga beliau bukan orang yang mengada-ada.”9
Kemudian dilanjutkan:
قُلۡ إِنِ ٱفۡتَرَيۡتُهُۥ فَلَا تَمۡلِكُونَ لِي مِنَ ٱللَّهِ شَيْئًا ٨
Katakanlah, “Jika aku mengada-adakan al-Quran maka kalian tidak mempunyai kuasa sedikitpun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu.”
Ini merupakan jawaban yang diperintahkan Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada kaum kafir yang melemparkan tuduhan dusta itu. Artinya, jika beliau sendiri yang membuat al-Quran, kemudian mengatakan secara dusta bahwa itu berasal dari Allah SWT, niscaya Dia tidak akan diam. Ketika Dia menimpakan siksa-Nya, mereka tidak akan bisa mencegah datangnya siksa tersebut. Jika demikian halnya, untuk apa aku berdusta kepada kalian? Demikian penjelasan beberapa mufassir.
Imam al-Qurthubi berkata, “Artinya, kalian akan tidak mampu menolak azab Allah pada diriku. Jika demikian halnya, mana mungkin dia berdusta atas nama Allah SWT demi kalian.”10
Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi.11
Padahal jika Nabi saw. berdusta atas nama Allah SWT, niscaya Dia tidak akan membiarkan beliau. Menjelaskan firman Allah SWT: « إِنِ افْتَرَيْتُهُ » (Jika aku mengada-adakan al-Quran), Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Niscaya Allah SWT memiliki kekuasaan atas diriku dan mengetahui apa yang aku katakan. Lantas mengapa Allah SWT tidak menyiksa diriku atas cerita yang aku ada-adakan sebagaimana yang kalian sangkakan.”12
Ibnu Katsir juga berkata, “Artinya: Andai aku berdusta atas nama-Nya dan mengaku-ngaku bahwa Dia telah mengutusku, padahal kenyataannya tidaklah demikian, tentulah Dia akan menghukum diriku dengan hukuman yang amat keras. Tidak aka nada seorang pun penduduk bumi pun, termasuk kalian atau bukan, yang dapat melindungi aku dari azab-Nya.”
Menurut Ibnu Katsir, kandungan ayat ini semakna dengan firman-Nya dalam ayat lain (QS al-Jin [72]: 22-23; QS al-Haqqah [69]: 44-47).13
Nyatanya, itu tidak terjadi. Beliau tidak ditimpa oleh azab-Nya. Sebaliknya, beliau justru mendapatkan perlindungan dari Allah SWT atas musuh-musuhnya. Maka dari itu, semestinya mereka wajib mengimani bahwa al-Quran berasal dari Allah SWT. Bukan buatan Nabi Muhammad saw.
Kemudian Allah SWT berfirman:
هُوَ أَعۡلَمُ بِمَا تُفِيضُونَ فِيهِۚ ٨
Dia lebih mengetahui atas apa saja yang kalian percakapkan tentang al-Quran itu.
Bentuk mashdar tafîdhûna adalah « الْإِفَاضَةُ ». Makna frasa « الْإِفَاضَةِ فِي الشَّيْءِ » adalah « الخَوْضُ فِيهِ وَالِانْدِفَاعُ » (menceburkan pada sesuatu dan terdorong di dalamnya). Kalimat: « أَفَاضُوا فِي الْحَدِيثِ », bermakna: « انْدَفَعُوا فِيهِ » (berpanjang lebar dalam pembicaraan).14
Dhamîr al-hâ‘ (kata ganti pihak ketiga) pada kata « تُفِيضُونَ فِيهِ » merujuk pada al-Quran. Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT lebih mengetahui al-Quran yang mereka perbincangkan panjang lebar. Ibnu Jarir berkata, “Tuhanku lebih mengetahui melebihi segala sesuatu selain Diri-Nya mengenai perkara yang diperbincangkan di antara kalian tentang al-Quran.”15
Asy-Syaukani juga berkata, “Allah lebih mengetahui apa yang kalian katakan tentang al-Quran, perbincangan dusta tentang al-Quran, serta perkataan mereka bahwa al-Quran adalah sihir dan perdukunan.”16
Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya:
كَفَىٰ بِهِۦ شَهِيدَۢا بَيۡنِي وَبَيۡنَكُمۡۖ ٨
Cukuplah Dia menjadi saksi antara aku dan antara kalian.
Ibnu Jarir berkata, “Cukuplah Allah SWT sebagai Saksi bagi diriku dan bagi kalian atas kebohongan kalian kepadaku atas semua yang aku bawa dari sisi Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada mereka karena tidak mengazab mereka seletah mereka bertobat dari kebohongan itu.”17
Dalam ayat ini juga terdapat ancaman keras bagi mereka. Asy-Syaukani berkata, “Karena sungguh Dia bersaksi untukku bahwa al-Quran berasal dari Diri-Nya. Aku telah menyampaikan kepada kalian serta menyaksikan pendustaan dan pengingkaran kalian. Di sini terdapat ancaman yang keras.”18
Fakhruddin ar-Razi berkata, “Makna penyebutan al-‘ilm (pengetahuan) dan al-syahâdah (kesaksian) adalah ancaman bagi mereka atas celaan dan cacian yang mereka lakukan.”19
Ayat ini lalu ditutup dengan kalimat:
وَهُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٨
Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Akhir ayat ini mengabarkan sifat-Nya Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menurut asy-Syaukani, makna penutup ayat ini adalah: « كَثِيرُ الْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ بَلِيغُهُمَا » (banyak ampunan dan rahmat yang melimpah).20
Menurut al-Khazin, ini memberikan makna penundaan azab terhadap mereka.21
Ada juga yang mengatakan bahwa penutup ayat ini mengandung makna ajakan kepada mereka untuk bertobat. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Karena itu bertobatlah kepada Allah dan tinggalkanlah sikap kalian selama ini, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosa kalian dan merahmati kalian, lalu menunjukkan kepada kalian kebaikan dan memberikan pahala yang sangat besar.”22
Menurut asy-Syaukani pula, “Itu diperuntukkan bagi orang yang mau bertobat, membenarkan al-Quran dan mengamalkan isinya.”23
Beberapa Pelajaran
Dalam ayat ini terdapat banyak pelajaran. Di antaranya: Pertama, ayat ini mengabarkan tentang sikap kaum kafir terhadap al-Quran. Sikap dasar mereka adalah menolak dan mengingkari al-Quran. Padahal kebenaran al-Quran tampak jelas di hadapan mereka.
Tak cukup menolak. Mereka pun melontarkan tuduhan palsu terhadap al-Quran. Mereka menyebut al-Quran sebagai sihir. Ini seperti disebutkan dalam ayat lain (Lihat: QS al-An’am [6]: 7). Intinya, mereka menuduh Rasulullah saw. membuat-membuat al-Quran sendiri lalu diakukan secara dusta bahwa itu berasal dari Allah SWT. Selain ayat ini, tuduhan mereka itu juga diberitakan dalam ayat lain (Lihat: QS Furqan [25]: 4).
Orang-orang yang melemparkan tuduhan dusta dan mengolok-olok al-Quran diancam dengan azab yang sangat pedih. Allah SWT berfirman:
وَإِذَا عَلِمَ مِنۡ ءَايَٰتِنَا شَيًۡٔا ٱتَّخَذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ ٩
Jika dia mengetahui sesuatu tentang ayat-ayat Kami, dia menjadikannya bahan olok-olok. Merekalah yang akan menerima azab yang menghinakan (QS al-Jatsiyah [45]: 9)
Kedua, bantahan terhadap tuduhan mereka. Inilah yang dituntun ayat ini. Ketika orang-orang kafir melemparkan tuduhan bahwa al-Quran buatan Rasulullah saw., ayat ini menyampaikan jawaban: Mengapa beliau tidak azab oleh Allah SWT? Andai itu terjadi, tidak ada seorang pun sanggup mencegahnya. Termasuk mereka. Ini pula yang disebutkan dalam QS al-Haqqah [69]: 44-47. Akan tetapi, semua itu terjadi. Itu menjadi bukti jelas bahwa al-Quran bukanlah buatan beliau sendiri.
Dalam ayat lainnya, tuduhan mereka juga dibantah dengan menantang mereka untuk mendatangkan yang seperti al-Quran. Allah Swt berfirman:
أَمۡ يَقُولُونَ ٱفۡتَرَىٰهُۖ قُلۡ فَأۡتُواْ بِسُورَةٖ مِّثۡلِهِۦ وَٱدۡعُواْ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣٨
Bahkan apakah (pantas) mereka mengatakan, “Dia (Nabi Muhammad) telah membuat-buat (al-Quran) itu?” Katakanlah (Nabi Muhammad), “(Kalau demikian), buatlah satu surah yang semisal dengan al-Quran itu dan ajaklah siapa yang dapat kalian ajak selain Allah (untuk menolong kalian) jika kalian orang-orang yang benar.” (QS Yunus [10]: 38).
Tantangan ayat ini juga menjadi bukti kebenaran al-Quran. Sebabnya, tidak ada seorang pun yang bisa menjawab tantangan tersebut.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 27 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 35; Muhammad Mahmud, al-Tafsîr al-Wâdhih, 3 (Beirut: Dar al-Jayl al-Jadid, 1413 H), 441; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 14;
2 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 14. Lihat juga al-Ausi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 166
3 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 18. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 184, al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26, 14
4 al-Ausi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13, 166
5 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26, 14
6 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 96-97. Lihat juga al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 779; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 127
7 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 8 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 28;al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 184; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26, 14
8 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18.
9 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 184
10 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 184
11 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 8, 28
12 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 779
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 275-276
14 Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 184
15 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 97
16 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18
17 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 97
18 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18
19 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 8, 28
20 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18
21 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 128
22 al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 779
23 al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 , 18