Hadis Hasan
Al-Hasan secara bahasa merupakan sifat musyabbahah yang berasal dari al-husni. Maknanya, al-jamâl (bagus). Istilah hasan lantas digunakan oleh para ulama dan ahli hadis dengan pengertian khusus sehingga menjadi istilah khusus atau haqîqah ‘urfiyah. Hadis hasan disebut hasan karena husnuzhan (berbaik sangka) kepada para perawinya.
Istilah hadis hasan bukan baru muncul pada masa Imam at-Tirmidzi. Istilah ini sudah dipakai pada masa sebelumnya. Imam at-Tirmidzilah yang memasyhurkannya.
Imam Ibnu Shalah juga menyatakan, “Ditemukan istilah hasan ini pada beberapa tempat yang berbeda dari ucapan sebagian guru-guru at-Tirmidzi dan thabaqât sebelumnya seperti Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari, dan selain keduanya.” (Ibnu Shalah, Muqaddimah, hlm. 22).
Imam Syafii (w. 204 H) di dalam Ikhtilâf al-Hadîts mengomentari hadis ru’yah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra., “Hadis Ibnu Umar musnad. Sanad-nya hasan.” (Lihat: As-Suyuthi, Tadrîb ar-Râwi, hlm. 103 –104. 1993).
Imam al-Bukhari juga menggunakan istilah hadis hasan. Di antaranya dalam komentar beliau tentang hadis mengenai perintah Rasul saw untuk menyela-nyelai jari-jari tangan dan kaki pada waktu berwudhu. Imam at-Tirmidzi berkata di dalam Al-‘Ilal, “Aku bertanya kepada al-Bukhari (w. 256 H) tentang hadis ini, al-Bukhari berkata, hadis ini hasan.” (Asy-Syaukani, Nayl al-Awthâr, I/190).
Para ulama memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai hadis hasan. Al-Khathabi dalam Ma’âlim as-Sunan menjelaskan, hadis hasan adalah hadis yang diketahui tempat keluarnya, para perawinya masyhur (dikenal), menjadi tempat beredarnya kebanyakan hadis, diterima oleh kebanyakan ulama dan digunakan oleh para fukaha umumnya.
Imam at-Tirmidzi di dalam Al-Jâmi’ dan dinukil oleh Ibnu Shalah dalam Muqaddimah bahwa yang beliau maksudkan dengan hadis hasan itu hadis yang di dalam sanad-nya tidak ada perawi yang dituduh dusta; tidak merupakan hadis yang syadz dan diriwayatkan semacam itu dari arah lain.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani menjelaskan di dalam Nukhbah al-Fikar bahwa hadis ahad yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, ke-dhâbit-annya sempurna, sanad-nya bersambung, hadisnya tidak ‘ilat maupun syadz—hadis yang semacam ini—adalah hadis shahîh li dzâtihi. Jika derajat ke-dhâbit-annya lebih rendah, itulah hadis hasan li dzâtihi.
Ibnu Shalah di dalam Al-Muqaddimah, setelah memaparkan definisi al-Khathabi dan at-Tirmidzi, menyatakan, “Saya telah menelaah dan mengkaji semua di antara sisi ucapan mereka dan memperhatikan fakta penggunaan mereka. Telah menjadi jelas bahwa hadis hasan itu ada dua bagian. Pertama: Hadis yang tidak kosong perawi sanad-nya dari perawi mastûr yang tidak terpenuhi keahliannya. Hanya saja dia tidak pelupa, tidak banyak salah dalam apa yang dia riwayatkan dan tidak dituduh dusta dalam hadis. Artinya, tidak tampak dari dirinya kesengajaan berdusta dalam hadis. Juga tidak ada sebab lain yang menjadikan dirinya fasik. Matan hadis itu, meski demikian, telah diketahui karena ada hadis serupa yang telah diriwayatkan dari arah lain, satu atau lebih; dengan mutâbi’ah dari tâbi’ riwayat yang semisalnya; atau dengan syâhid, yaitu adanya hadis lain yang serupa. Dengan itu hadis tersebut tidak terkategori syadz dan munkar. Pendapat at-Tirmidzi ada di bawah bagian ini.
Kedua: Hadis yang perawinya termasuk perawi yang terkenal jujur dan amanah. Namun demikian, ia tidak mencapai derajat sebagai perawi sahih. Pasalnya, ia kurang dari perawi sahih dalam hal hapalan dan ittiqân (kecakapan/penguasaan). Pada saat yang sama ia berada di atas orang yang hadis periwayatannya dinilai munkar. Karena semua ini—juga karena hadisnya selamat dari posisi sebagai syadz dan munkar—hadis ini selamat dari posisinya sebagai hadis yang mengandung ‘illat. Pendapat al-Khathabi ada di bawah bagian ini.
Dari penjelasan tersebut, hadis hasan ada dua: hasan li dzatihi dan hasan li ghayrihi. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani mejelaskan, hadis hasan li dzatihi pada dasarnya memenuhi syarat-syarat sebagaimana hadis sahih, namun kapasitas perawinya di bawah level perawi sahih, khususnya dari sisi dhabth (kekuatan hapalan) dan ittiqân (kecakapan/penguasaan)-nya.
Adapun hadis hasan li ghayrihi pada dasarnya merupakan hadis dha’îf. Namun demikian, karena disertai tawâbi’ (ada riwayat dengan sanad yang sebagiannya sama) dan syawâhid (ada riwayat dari jalur yang berbeda), maka hadis dha’îf itu bisa naik posisinya menjadi hadis hasan li ghayrihi.
Hanya saja, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Shalah di dalam Muqaddimah-nya, tidak semua ke-dha’îf-an dalam hadis hilang dengan datangnya hadis lain dari berbagai arah. Akan tetapi, ke-dha’îf-an itu berbeda-beda. Ada yang bisa dihilangkan dengan datangnya hadis dari arah lain. Ini jika ke-dha’îf-annya muncul karena kelemahan hapalan perawi, sementara dia termasuk orang yang jujur dan beragama. Karena itu jika kita melihat hadis yang dia riwayatkan juga datang dari arah lain, kita ketahui bahwa itu termasuk yang dia hapal dan dhâbit; juga jika ke-dha’îf-annya dari sisi irsâl hilang dengan hal demikian, seperti mursal yang dilakukan oleh seorang imam hâfizh—jika di dalamnya ada kelemahan yang sedikit—maka ke-dha’îf-annya hilang karena adanya riwayat dari arah lain.
Di antara ke-dha’îf-an itu ada yang tidak bisa dihilangkan dengan semacam itu karena sangat dha’îf. Misalnya, ke-dha’îf-an yang muncul karena perawinya dituduh dusta atau karena hadisnya merupakan hadis syadz (Ibnu Shalah, Al-Muqaddimah, hlm. 19-20).
Dengan demikian sebuah hadis dha’îf tidak otomatis bisa dinaikkan menjadi hadis hasan dengan adanya tawâbi’ dan syawâhid. Penyebabnya di antaranya karena perawinya dusta (al-kadzib), dituduh dusta (tuhmatu al-kadzib), tampak kefasikannya (zhuhûr al-fisq), fahsyu al-ghalath (banyak rancu), fahsyu al-ghaflah (banyak lupa atau pelupa), mukhâlafah ats-tsiqât (menyalahi para perawi tsiqah) karena berarti syadz, dan semacamnya yang menyebabkan hadisnya sangat dha’îf.
Begitu pula hadis dha’îf yang disepakati ke-dha’îf-an oleh para ulama. Hadis ini tidak bisa dinaikkan menjadi hadis hasan.
Jika tidak termasuk hadis dha’îf yang demikian, maka bisa dicari tawâbi’ dan syawâhid-nya, juga melalui penggunaannya oleh para ulama dan fukaha mu’tabar dalam ijtihad mereka. Jika ada maka hadis yang semula dha’îf itu bisa dinilai sebagai hadis hasan.
Hadis hasan bisa dirujuk kepada buku-buku hadis mu’tabar. Jâmi’ at-Tirmidzi (Sunan at-Tirmidzi) tentu menjadi salah satu kitab pokok hadis hasan. Imam ad-Daraquthni menyatakan, dalam Sunan ad-Daruquthni banyak hadis hasan. Demikian juga di dalam Sunan Abû Dâwud as-Sijistani. Abu Dawud menyebutkan bahwa dalam bukunya (Sunan Abû Dâwud) ada hadis-hadis sahih atau yang serupa atau yang mendekatinya. Beliau juga menyebutkan, “Dalam tiap bab saya menyebutkan yang paling sahih dari yang saya ketahui dalam bab itu. Jika terdapat hadis yang sangat lemah maka saya jelaskan. Apa yang tidak saya sebutkan sesuatu pun maka itu salih dan sebagiannya lebih shahih dari yang lain.”
Karena itu menurut Ibnu Shalah, jika ada di dalam Sunan Abû Dâwud hadis yang disebutkan secara mutlak, tidak ada di Shahihayn, juga tidak seorang pun menyatakan kesahihannya yang membedakan hadis itu antara sahih dan hasan, maka kita ketahui bahwa itu termasuk hasan menurut Abu Dawud (Ibu Shalah, Al-Muqaddimah, hlm. 22-23).
Imam an-Nawawi di dalam At-Taqrîb menjelaskan bahwa kitab Al-Hakim (Al-Mustadrak)—Al-Hakim termasuk perawi yang mutasâhil (longgar dalam mensahihkan hadis)—maka hadis yang al-Hakim sahihkan, sementara tidak ada selain dia dari ulama mu’tamad yang menyatakan hadis itu sahih, juga tidak ada yang menyatakan hadis itu dha’îf, maka kami menilai hadis itu hasan; kecuali tampak di dalamnya ‘illat yang mengharuskan hadis itu di-dha’îf-kan. Mendekati kitab al-Hakim dalam penilaiannya adalah Shahîh Ibni Hibban.
Tentu hadis hasan masih banyak terdapat di dalam kitab-kitab hadis lainnya.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, “Hadis-hadis yang dinyatakan di dalam buku-buku para imam dan murid-murid mereka, juga para ulama dan fukaha yang lain, dinilai termasuk hadis hasan dan bisa dijadikan hujjah. Ini karena mereka menyatakannya sebagai dalil atas hukum atau mereka meng-istinbâth suatu hukum dari hadis itu. Jika demikian maka itu adalah hadis hasan, baik dinyatakan di buku-buku ushul fikih atau fikih. Syaratnya, buku-buku tersebut termasuk mu’tabar seperti Al-Mabsûth, Al-Umm, Al-Mudawanah al-Kubrâ dan semisalnyal bukan seperti buku-buku Al-Bajuri, Asy-Syanhuri dan seperti keduanya. Adapun hadis-hadis yang dinyatakan di dalam buku-buku tafsir maka tidak diperhatikan dan tidak bisa dijadikan hujjah hingga meski mufassir tersebut adalah seorang imam mujtahid. Hal itu karena hadis itu dinyatakan untuk menafsirkan ayat, bukan untuk meng-istinbâth hukum. Ada perbedaan di antara keduanya. Ini karena biasanya para mufassir tidak focus mendalami hadis-hadis yang mereka jadikan argumentasi. Karena itu hadis-hadis ini tidak dijadikan pegangan hanya karena dinyatakan di buku-buku tafsir. Berbeda halnya dengan hadis-hadis yang dinyatakan di buku-buku fikih milik para imam dan ulama fikih. Akan tetapi, dalam hal ini harus ada pembahasan atas hadis itu meski dengan jalan taklid, dengan bertanya kepada ahli hadis atau merujuk ke buku yang termasuk buku-buku mu’tabar (Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, III/88-89).
Hal itu karena para imam mujtahid dan para fukaha itu meng-istinbâth hukum syariah dari hadis tersebut. Tentu dalam pandangan mereka, hadis tersebut layak dijadikan hujjah, yakni minimal hasan. Jadi istidlâl para imam dengan suatu hadis, khususnya para imam terdahulu, dan istidlâl para fukaha terkemuka dengan suatu hadis, membuat kita merasa tenteram untuk ber-hujjah dengan hadis itu sebagaimana mereka ber-hujjah dengan hadis itu. Dalam hal ini kita memposisikan hadis tersebut sebagai hadis hasan, tentu jika tidak tampak jelas ke-dha’îf-annya. Hal itu karena kita percaya (tsiqah) dengan keilmuan dan ketakwaan mereka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]