Takrifat

Mafhûm al-Mukhâlafah – Mafhûm al-Ghâyah

Mafhûm adalah dalâlah lafal bukan pada posisi prononsiasi atau pengucapan, yakni dalâlah atau penunjukkan lafal pada posisi diam (fî mahalli as-sukût). Dengan kata lain, mafhûm adalah makna yang tidak diucapkan (ma’nâ al-maskût ‘anhu).

Mafhûm merupakan bagian dari dalalah lafal (dalâlah al-lafzhiyyah) dalam bentuk dalâlah al-iltizâm. Artinya, mafhûm itu merupakan makna yang menjadi kelaziman dari makna yang diucapkan. Jika makna lazim itu bertentangan (mukhâlafah) dengan makna yang terucapkan, disebut mafhûm al-mukhâlafah.

Menurut Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, mafhûm al-mukhâlafah adalah apa yang madlul lafal pada posisi diam berlawanan untuk madlul-nya pada posisi pengucapan. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3, setelah menyatakan hal yang sama, beliau menjelaskan, mafhûm al-mukhâlafah, yakni bahwa makna dan hukum yang dipahami dari madlul lafal berlawanan (mukhâlifan) untuk apa yang dipahami dari lafal itu sendiri. Jadi makna lazim untuk madlul lafal itu, jika berlawanan untuk madlul tersebut, maka itu adalah mafhûm al-mukhâlafah.

Imam Badruddin az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Bahru al-Muhîth fî Ushûl al-Fiqhi mengatakan, mafhûm al-mukhâlafah adalah penetapan lawan hukum yang diucapkan (al-manthûq) untuk yang tidak diucapkan (al-maskût).

Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) di dalam Irsyâdu al-Fuhûl menjelaskan bahwa mafhûm al-mukhâlafah yang mana yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu) berlawanan untuk yang disebutkan dalam hal hukum baik berupa penetapan (itsbât[an]) atau penafian (nafy[an]), sehingga ditetapkan untuk yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu) lawan dari hukum yang diucapkan (al-manthûq bihi).

Menurut Abdul Karim bin Ali an-Nimlah di dalam Al-Muhadzdzab fî ‘ilmi Ushûl al-Fiqhi al-Muqâran, mafhûm al-mukhâlafah adalah dalalah lafal terhadap tsubut-nya hukum untuk yang tidak diucapan (al-maskût ‘anhu) berlawanan untuk hukum yang ditunjukkan oleh yang diucapkan (al-manthûq), secara penafian (nafy[an]) dan penetapan (itsbât[an]). Juga dikatakan, mafhûm al-mukhâlafah adalah istidlal dengan pengkhususan sesuatu dengan penyebutannya terhadap penafian hukum dari selainnya. Maknanya, jika sesuatu dikhususkan dengan disebutkan dan diucapkan serta dinyatakan hukumnya, maka kita ber-istidlal dengan hal itu bahwa yang tidak diucapkan (al-maskût ‘anhu) adalah berlawanan dengannya dalam hukum. Jika yang diucapkan menetapkan hukumnya maka yang tidak diucapkan, hukum itu dinafikan darinya. Jika yang diucapkan menafikan hukumnya maka yang didiamkan, hukum itu ditetapkan untuknya.

Jumhur ulama menggunakan istilah mafhûm al-mukhâlafah. Sebagian lainnya seperti Ibnu Furak menggunakan istilah dalîl al-khithâb. Menurut Ibnu an-Najar al-Hanbali (w. 972 H) di dalam Syarhu al-Kawkabu al-Munîr (Mukhtashar at-Tahrîr), disebut dalîl al-khithâb karena dalalah-nya termasuk jenis dalalah al-khithâb atau karena khithab menunjukkannya atau karena berlawanannya dengan manthûq (manzhûm) al-khithâb.

Para ulama berbeda pendapat tentang jenis-jenis mafhûm al-mukhâlafah. Ada yang berpendapat jenisnya ada empat, lima, sepuluh, dua belas dan lainnya. Di antaranya: mafhûm shifat, syarth, ‘adad, ghâyah, al-laqab, al-ismu, az-zamân, al-makân, al-hashr, al-istitsnâ’, lafzhul innamâ, dsb.

Hanya saja, menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 dan Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, yang berlaku dalam mafhûm al-mukhâlafah hanya empat, yaitu: mafhûm al-ghâyah, mafhûm ash-shifat, mafhûm asy-syarth dan mafhûm al-‘adad.

 

Mafhûm al-Ghâyah.

Menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3, mafhûm al-ghâyah adalah pengaitan hukum dengan ghâyah. Jika hukum dibatasi dengan ghâyah maka itu menunjukkan atas penafian hukum tersebut setelah ghâyah itu.

Ibnu Najar di dalam Syarhu al-Kawkabu al-Munîr (Mukhtashar at-Tahrîr) dan Imam Asy-Syaukani di dalam Irsyâdu al-Fuhûl mendefinsikan mafhûm al-ghâyah adalah pembentangan hukum dengan ilâ dan hattâ. Ghâyah dari sesuatu adalah akhir atau ujungnya. Ibnu an-Najar mengatakan bahwa ini lebih kuat dari mafhûm asy-syarth dari sisi dalâlah, sebab mereka (para ulama ushul) sepakat atas penamaannya sebagai huruf al-ghâyah, dan ghâyah sesuatu adalah akhirnya. Seandainya hukum tetap berlaku sesudahnya niscaya penamaannya sebagai ghâyah tidak berfaedah.

Mafhûm al-ghâyah juga diartikan bahwa pembatasan oleh Asy-Syâri’ untuk hukum dengan ghâyah menunjukkan penafian hukum tersebut pada apa setelah al-ghâyah. Sebab, apa setelah al-ghâyah membuat pertanyaan tentangnya tercela. Hal itu karena jawabannya telah dipahami tanpa perlu pertanyaan itu. Ini karena ghâyah sesuatu adalah akhirnya dan akhir sesuatu adalah pemutusnya. Sudah diketahui bahwa sesuatu itu jika terputus dan berakhir maka menjadi khusus dengan hukum itu dan apa yang sesudahnya menjadi dengan hukum lain, yaitu lawannya (Abdul Karim bin Ali an-Nimlah, Al-Jâmi’ li Masâ‘ili Ushûl al-Fiqhi wa Tathbîqatuhu ‘alâ Madzhabi ar-Râjih).

Imam Asy-Syafi’i di dalam Al-Umm menyatakan, apa yang Allah jadikan untuknya al-ghâyah, maka hukum setelah berlalunya al-ghâyah berbeda dengan sebelum berlalunya al-ghâyah.

Mafhûm al-ghâyah itu juga diamalkan oleh para pengkritik mafhûm al-mukhâlafah. Al-Qadhi Abu Syuja’ berkata di dalam A-Taqrîb, “Sebagian besar pengkritik dalîl al-khithâb berpendapat bahwa pembatasan dengan huruf al-ghâyah menunjukkan penafian hukum dari apa yang di belakang al-ghâyah. Karena itu mereka bersepakat atas penamaannya huruf al-ghâyah dan ghâyah sesuatu adalah akhirnya. Seandainya hukum tetap berlaku setelahnya maka penamaannya dengan ghâyah tidak berfaedah. Pengaitan hukum dengan al-ghâyah dibuat untuk menunjukkan bahwa apa yang sesudah al-ghâyah berlawanan dengan yang sebelumnya.

Contoh mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm al-ghâyah adalah firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ ٦

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian  hendak mengerjakan shalat, basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku (QS al-Maidah [5]: 6).

 

Manthûq-nya, wajib membasuh tangan sampai siku. Mafhûm al-mukhâlafah-nya, apa yang sesudah siku tidak wajib dibasuh.

Contoh lainnya, firman Allah SWT tentang wanita yang sedang haid:

وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ ٢٢٢

Janganlah kalian mendekati mereka sebelum mereka suci (QS al-Baqarah [2]: 222).

 

Manthûq-nya, larangan menggauli istri sebelum berhenti haid. Mafhûm al-mukhâlafah-nya, boleh menggauli istri setelah suci, yakni berhenti haidnya.

Contoh lain, sabda Rasul saw.:

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَه

Siapa yang membeli makanan maka jangan dia jual sampai dia memegang (menerima)-nya (HR asy-Syafi’iy, Ahmad, al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

 

Manthûq-nya tidak boleh menjual makanan sebelum dipegang (diterima). Mafhûm al-mukhâlafah-nya, setelah dipegang, yakni diterima, makanan yang dibeli boleh dijual.

Contoh lainnya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar dan Aisyah menuturkan, Rasul saw. bersabda:

لَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

Tidak ada zakat pada harta sampai berlalu atasnya satu haul (satu tahun hijrah) (HR asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).

 

Manthûq-nya, sebelum berlalu satu haul atas kepemilikannya harta zakat, maka tidak ada zakat atasnya. Mafhûm al-mukhâlafah-nya, jika sudah berlalu satu tahun hijriyah atas kepemilikan harta zakat maka di dalamnya ada kewajiban zakat.

Dari sini jelas bahwa mafhûm al-mukhâlafah dari mafhûm al-ghâyah itu ada dan berlaku. Dalil bahwa mafhûm al-ghâyah diamalkan adalah bahwa hukum yang dinyatakan ghâyah (ujung)-nya dengan kata ilâ atau hattâ maka hukum itu tsâbit (berlaku) untuk sebelum ghâyah dan dinafikan dari apa yang sesudah ghâyah itu. Firman Allah SWT:

ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ ١٨٧

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (QS al-Baqarah [2]: 287).

 

Maknanya, setelah masuk malam maka tidak ada puasa. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

Orang-orang akan terus baik selama mereka menyegerakan berbuka (HR asy-Syafi’i, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

 

Dengan dalil larangan atas puasa wishal (menyambung puasa hingga malam).

Begitu pula semua nas yang dinyatakan ujungnya dengan hattâ atau ilâ maka datang hukum apa yang sesudah ghâyah itu berlawanan dengan yang sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa mafhûm al-mukhâlafah dengan al-ghâyah itu diamalkan.

Hal itu dipertegas bahwa pembatasan hukum dengan al-ghâyah, seandainya itu tidak memiliki mafhûm al-mukhâlafah maka pembatasan dengan al-ghâyah itu niscaya tidak punya faedah, dan ini menyalahi fakta dan menyalahi yang ditempuh di dalam al-Quran. Sebab faktanya, hukum itu dinafikan dan penafian itu hasil dari mafhûm al-mukhâlafah untuk al-ghâyah. Apa yang berlaku di dalam al-Quran bahwa semua huruf atau kata yang disebutkan di dalam al-Quran itu, disebutkan untuk faedah tertentu dan tidak ada sesuatu yang sifatnya tambahan tanpa faedah sama sekali. Tidak diamalkannya mafhûm al-mukhâlafah untuk al-ghâyah membuat penyebutannya di dalam al-Quran menjadi sia-sia dan itu tidak boleh. Oleh karena itu mafhûm al-ghâyah itu diamalkan.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 4 =

Back to top button