Mafhûm Al-Muwâfaqah
Al-Mafhûm adalah apa yang ditunjukkan oleh lafal tidak pada posisi pengucapan atau makna bukan pada manthûq-nya, yakni makna lafal pada posisi diam (fî mahalli as-sukût) atau makna al-maskût. Al-Muwâfaqah maknanya kesesuaian atau kecocokan. Jadi mafhûm al-muwâfaqah adalah makna al-maskût yang sesuai/cocok dengan makna manthûq-nya.
Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan, mafhûm al-muwâfaqah adalah al-mafhûm yang madlul lafalnya pada posisi diam (fî mahalli as-sukût) sesuai untuk madlul-nya pada posisi prononsiasi (fî mahalli an-nuthqi).
Setelah menyatakan hal yang sama, Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menjelaskan lebih lanjut, yakni bahwa makna-makna dan hukum-hukum yang dipahami dari madlul lafal itu sesuai dengan apa yang dipahami dari lafal itu sendiri. Jadi makna lazim untuk madlul lafal itu, jika sesuai untuk madlul tersebut, itu adalah mafhûm al-muwâfaqah; juga disebut fahwâ al-khithâb, tanbîh al-khithâb dan maksudnya adalah ma’nâ al-khithâb.
Jadi, mafhûm al-muwâfaqah adalah dalalah lafal yang madlul lafalnya dalam posisi yang diam (fî mahalli as-sukût) sesuai (muwâfiq) untuk madlul-nya dalam posisi prononsiasi. Atau, mafhûm al-muwâfaqah adalah dalalah lafal atas tsubût-nya hukum yang diucapkan (al-manthûq) untuk yang didiamkan (al-maskût ‘anhu) dan kesesuaiannya untuknya baik penafian (nafy[an]) dan penetapan (itsbât[an]).
Ada beberapa istilah yang digunakan oleh para ulama untuk menyebut mafhûm al-muwâfaqah (‘Abdul Karim bin Ali bn Muhammad an-Namlah, Al-Muhadzdzab fî ‘Ilmi Ushûl al-Fiqhi al-Muqâran, iv/1743-1744).
Istilah mafhûm al-muwâfaqah adalah yang paling banyak digunakan oleh jumhur ulama. Mereka menyebut ini karena madlul lafal pada posisi yang diam (fî mahalli as-sukût) sesuai untuk madlul-nya pada posisi pengucapan.
Juga disebut dalâlah an-nash oleh ulama Hanafiyah. Maksudnya adalah apa yang ditetapkan dengan makna nas bukan secara ijtihad dan tidak pula istinbath.
Sebagian ulama menyebutnya dalâlah ad-dalâlah, sebab diambil dari makna nas, bukan dari lafalnya. Ibnu Fawrak dan Abu Ya’la menyebutnya mafhûm al-khithâb.
Imam Syafii dan diikuti oleh Imam al-Juwayni al-Haramayn menyebutnya al-qiyâs al-jallî.
Ada juga yang menyebutnya dalâlah at-tanbîh al-awlâ. Disebut juga fahwâ al-lafzhi atau fahwâ al-khithâb, karena hukum yang ditetapkan dengan manthuq-nya juga ditetapkan melalui ruh, makna dan rasionalitasnya untuk selain yang disebutkan. Ada juga yang menyebutnya lahnu al-khithâb dan yang dimaksudkan adalah ma’nâ al-khithâb.
Contohnya, firman Allah SWT:
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣
Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (ibu bapak) perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka (QS al-Isra’ [17]: 23).
Manthuq-nya menunjukkan keharaman berkata “ah” dan membentak orangtua. Ini juga menunjukkan keharaman mencaci, memukul, menyakiti, memadaratkan, dsb terhadap orangtua yang lebih dari berkata “ah”. Pengharaman berkata “ah” tidak lain karena di dalamnya ada adzâ (bahaya/sesuatu yang menyakitkan), Karena itu menjadi lazim keharaman apa yang lebih menyakitkan dari berkata “ah”.
Mafhûm al-muwâfaqah itu dipahami ketika ada makna bersama (al-ma’nâ al-musytarak) antara yang diucapkan (al-manthûq) dan yang didiamkan (al-maskût). Artinya, diketahui makna yang dimaksudkan dari hukum yang dinyatakan dan diketahui adanya makna yang sama pada yang didiamkan (al-maskût); yang mana makna yang dimaksudkan itu pada yang didiamkan tidak lebih kecil kecocokannya dari yang ada di yang diucapkan (al-manthûq).
Dalam ayat di atas, makna musytarak-nya adalah melindungi orangtua dari adzâ (sesuatu yang menyakiti). Itu ada pada berkata “ah” yang ditunjukkan oleh manthuq-nya, dan juga ada bahkan lebih besar pada mencaci, memukul, menyakiti, melukai, dsb. Haramnya semua itu merupakan makna lazim yang sesuai untuk keharaman berkata “ah”.
Pengharaman memukul, mencaci, dsb itu dipahami dari tarkîb al-jumlah (susunan kalimat), bukan dari satu lafal. Sebab, berkata “ah” (at-ta`fîf) saja tidak menunjukkan pengharaman memukul. Melainkan itu dipahami dari susunan kalimat berupa larangan berkata “ah”. Jadi makna lazim di sini tidak lain dipahami dari tarkîb al-jumlah. Susunan kalimat memberi faedah bahwa keharaman berkata “ah” tidak lain karena di situ ada “adzâ”. Dari itu lazimnya harus diharamkan “adzâ” yang lebih berat, yakni mencaci, memukul dsb.
Jadi dalam mafhûm al-muwâfaqah yang menjadi patokan adalah makna lazim yang dipahami dari tarkîb al-jumlah. Mafhûm al-muwâfaqah sendiri termasuk dalâlah al-iltizâmiyah. Dalâlah al-iltizâmiyah adalah dalalah lafal terhadap lazimnya. Dalam mafhûm al-muwâfaqah, lazimnya itu dipahami dari tarkîb al-jumlah. Jadi yang pokok dalam mafhûm al-muwâfaqah adalah bahwa itu merupakan kelaziman untuk makna yang ditunjukkan oleh al-manthuq dan mengikutinya. Itu dipahami dari tarkîb al-jumlah, bukan yang lain.
Oleh karena itu di dalam mafhûm al-muwâfaqah tidak harus berupa pengisyaratan dengan yang lebih rendah ke yang lebih tinggi (tanbîh bi al-adnâ ‘alâ al-a’lâ), atau pengisyaratan dengan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah (tanbîh bi al-a’lâ ‘alâ al-adnâ), atau setara (al-musâwiy[an]). Ketentuan pokoknya tidak lain adalah sesuainya makna yang dipahami dari tarkîb al-jumlah untuk makna yang ditunjukkan oleh manthuq-nya. Adakalanya dalam bentuk tanbîh al-adnâ ‘alâ al-a’lâ, tanbîh al-a’lâ ‘alâ al-adnâ, atau al-musâwiy[an]. Adakalanya tidak ketiganya sekaligus, tetapi memiliki hubungan dan kecocokan dengan makna manthuq.
Ayat di atas merupakan contoh tanbîh bi al-adnâ ‘alâ al-a’lâ. Contoh lainnya, sabda Rasul saw.:
أَرْبَعٌ لا تَجُوْزُ في الأَضَاحِي : اَلْعَوْرَاء اَلْبَين عَوْرُهَا، والمرِيْضَةُ اَلْبَين مَرَضُهَا، وَاْلعَرْجَاء اَلْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيْرَة الَّتِيْ لاَ تَنْقِي
Empat yang tidak boleh dalam qurban: yang buta sebelah matanya dengan jelas; yang sakit dengan jelas; yang pincang dengan jelas; sangat kurus tidak berlemak (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, an-Nasa’i).
Mafhûm al-muwâfaqah-nya, hewan yang al-‘umiyâ’ (buta kedua matanya), yang terpotong salah satu kakinya, yang lumpuh, lebih tidak boleh lagi dalam qurban.
Contoh tanbîh bi al-a’lâ ‘alâ al-adnâ, Rasul saw pernah bersabda, “ …Ingatlah poros Islam terus berputar. Karena itu berputarlah bersama al-Kitab sebagaimana berputarnya. Ingatlah penguasa dan al-Kitab akan berpisah. Karena itu janganlah berpisah dengan al-Kitab. Ingatlah akan ada para pemimpin yang memutuskan untuk diri mereka apa yang tidak mereka putuskan untuk kalian. Jika kalian menyalahi mereka, mereka membunuh kalian. Jika kalian menaati mereka, mereka menyesatkan kalian.” Mereka (para Sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana kami berbuat?” Beliau bersabda:
كَمَا صَنَعَ أَصْحَابُ عِيسَى ابْن مَرْيَمَ، نُشِرُوا بالْمَنَاشِيرَ، وَحُمِلُوا عَلَى الْخَشَبِ، مَوْتٌ فِي طَاعَةِ اللهِ خَيرٌ مِنْ حَيَاةٍ فِي مَعْصِيَةِ الله
Seperti yang diperbuat sahabat Isa bin Maryam. Mereka digergaji dan diikat di atas kayu. Kematian dalam ketaatan kepada Allah lebih baik dari hidup dalam kemaksiatan kepada Allah (HR ath-Thabarani, al-Khathib al-Baghdadi dan Hibatullah al-Lalika‘iy).
Mafhûm al-muwâfaqah-nya menunjukkan agar lebih bersabar lagi atas ujian yang lebih ringan dari itu seperti dipenjara, diputus rezeki, dsb.
Adakalanya mafhûm al-muwâfaqah itu dari sisi setara. Contohnya, firman Allah SWT:
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا ١٠
Sungguh orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim (QS an-Nisa’ [4]: 10).
Manthûq-nya menunjukkan keharaman memakan harta anak yatim secara zalim. Mafhûm al-muwâfaqah-nya haramnya menghilangkan, merusak, membelanjakan, dsb, harta anak yatim secara zalim.
Mafhûm al-muwâfaqah kadang menunjuk pada ketiga sisi itu sekaligus. Contohnya, firman Allah SWT:
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧ وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa saja yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula (QS al-Zalzalah [99]: 7-8).
Mafhûm al-muwâfaqah ayat ini, bahwa siapa yang melakukan perbuatan yang lebih besar, setara atau lebih kecil dari dzarrah niscaya akan melihat balasannya di akhirat kelak.
Contoh lainnya, sabda Rasul saw.:
وَإِذَا أَخَذَ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرْدُدْهَا عَلَيْهِ
Jika salah seorang kalian mengambil tongkat saudaranya maka hendaklah dia kembalikan kepada dirinya (HR Ahmad, ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Mafhûm al-muwâfaqah hadis ini menunjukkan bahwa siapa yang mengambil harta milik saudaranya lebih dari tongkat, atau setara atau lebih kecil, maka dia harus mengembalikannya.
Adakalanya mafhûm al-muwâfaqah itu tidak dari ketiga sisi itu, tetapi menunjuk sesuatu lainnya yang memiliki hubungan atau kesesuaian atau kecocokan dengan makna manthuq-nya. Contohnya sabda Rasul saw.:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَة
Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah (HR at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Bazar, al-Bukhari di dalam Adab al-Mufrad, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsath).
Mafhûm al-muwâfaqah hadis ini menunjukkan semua bentuk perlakuan dan akhlak yang baik kepada saudara akan berpahala seperti shadaqah.
Dalam semua itu tampak jelas bahwa mafhûm al-muwâfaqah merupakan dalâlah al-lafzhiyah, bukan secara qiyas (qiyâsiy[an]). Sebab itu merupakan dalâlah al-iltizâm, yakni makna lazim yang ditunjukkan oleh makna lafal. Kelazimannya adalah kelaziman di dalam benak sebab benak segera beralih kepada makna lazim itu ketika mendengarnya. Yang menunjukkannya adalah lafal. Jadi mafhûm al-muwâfaqah merupakan dalâlah al-lafzhiyyah. [Yoyok Rudianto]