Majaz Mursal
Al-Majâz, jenisnya ditentukan oleh hubungan makna majaz dengan makna hakikinya. Hubungan itu berupa keserupaan (al-musyâbahah) atau bukan keserupaan. Jika hubungannya al-musyâbahah, ia merupakan majaz at-tasybîh atau al-isti’ârah. Jika hubungan bukan al-musyâbahah maka disebut majaz mursal (al-majâz al-mursal).
Menurut ash-Shan’ani (w. 1182 H) di dalam Ijâbat as-Sâ’il Syarhu Baghyat al-آmal, disebut majaz mursal karena terbebasnya hubungan makna majazi dengan makna hakiki dari batasan al-musyâbahah.
Dari sisi hubungan itu, para ulama berbeda pendapat tentang berapa macam majaz mursal. Sebagian menghitung ada 31 macam, 25 macam, 12 macam dan jumlah lainnya.
Menurut Imam al-Qarafi (w. 684 H) di dalam Anwâr al-Burûq fî Anwâ’i al-Furûq, majaz mursal ada 20 macam. Menurut Syaikh Hasan al-‘Athar asy-Syafi’i (w. 1250) di dalam Hasyiyah al-‘Athar ‘alâ Syarhi al-Mahali ‘alâ Jam’i al-Jawâmi’, “Yang masyhur sampai 25 macam. Dengan tahqiq, hubungan majaz mursal ada 18 macam tanpa ada perbedaan. Pengarang (Imam Jalaluddin al-Mahali) menyebutkan 14 jenis.”
Tsair Salamah Abu Malik di dalam Mazju ath-Thâqah al-‘Arabiyah bi ath-Thâqah al-Islâmiyyah, setelah menyebutkan 26 macam majaz mursal, mengatakan bahwa hubungan dalam majaz mursal itu tidak terbatas pada jenis yang sudah disebutkan itu.
Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) di dalam Irsyâd al-Fuhûl menguraikan bermacam hubungan majaz mursal. Beliau menyatakan:
Harus ada hubungan pada setiap majaz dengan hakikat. Hubungan (al-‘alâqah) adalah keterkaitan (koneksi) makna majaz yang digunakan dengan makna yang telah ditetapkan (makna hakiki). Koneksi (al-ittishâl) itu ada kalanya menurut ash-shûrah (bentuk/sifat) seperti dalam majaz mursal, atau menurut makna seperti dalam al-isti’ârah dan hubungannya adalah al-musyâbahah
Adapun koneksi menurut bentuk (al-ittishâl ash-shûriy), ada kalanya pada lafal. Hal itu ada pada majaz dengan tambahan (bi az-ziyâdah) dan pengurangan (an-nuqshân), juga pada persamaan secara al-badî’ yaitu kebersamaan hakiki atau perkiraan (ash-shuhbah al-haqîqî aw at-taqdîrî).
Kadang-kadang hubungan itu dengan pertimbangan apa yang telah terjadi, yaitu keadaan sebelumnya seperti lafal al-yatîm untuk menyebut orang yang sudah balig; atau dengan pertimbangan keadaan masa mendatang, yaitu keadaan yang dituju seperti lafal al-khamru untuk anggur yang diperas; atau dengan pertimbangan al-kulliyah dan al-juz‘iyyah seperti lafal ar-rukû’ pada ash-shalât, dan al-yaddu pada apa yang ada di belakang pergelangan tangan. Hubungan al-hâliyyah dan al-mahalliyyah seperti lafal al-yaddu untuk kemampuan (al-qudrah); dan as-sababiyyah dan al-musabbabiyyah; dan pemutlakan (al-ithlâq), pembatasan (at-taqyîd) dan al-luzûm; al-mujâwarah, azh-zharfiyyah dan al-mazhrûfiyyah, al-badaliyyah, asy-syarthiyyah dan al-masyrûthiyyah, adh-dhiddiyyah.
Termasuk hubungan itu: penyebutan mashdar atas al-fâ’il (pelaku) atau al-maf’ûl (obyek) seperti al-‘ilmu pada al-‘âlim atau al-ma’lûm. Di antara hubungan itu: penyebutan kemungkinan sesuatu dengan sebutan eksistensinya seperti dikatakan untuk khamr yang ada di guci: bahwa itu memabukkan. Termasuk hubungan itu: penyebutan lafal musytaq (bentukan) setelah hilangnya al-musytaq minhu (lafal asal).
Sebagian menjadikan penyebutan isim as-sabab atas al-musabbab ada empat jenis: al-qâbil, ash-shûrah, al-fâ’il dan al-ghâyah, yakni menyebut sesuatu dengan sebutan qâbil-nya seperti sâla al-wâdî (lembah mengalir); menyebut sesuatu dengan sifatnya, seperti menyebut kemampuan (al-qadriyah) dengan sebutan al-yaddu (tangan); menyebut sesuatu dengan menyebut pelakunya secara hakiki atau zhann, seperti menyebut al-mathar (hujan) dengan as-samâ‘ (langit) dan an-nabât (tumbuhan) dengan al-ghayts (hujan); dan menyebut sesuatu dengan menyebut tujuannya seperti menyebut al-‘inab (anggur) dengan al-khamr.
Dalam penyebutan al-musabbab atas as-sabab ada empat jenis lawan dari jenis-jenis yang disebutkan sebelumnya. Menurut sebagian, di antara hubungan itu adalah al-hulûl (berada) dalam satu tempat yang sama seperti al-hayâh pada iman dan ilmu; al-mawt pada kekufuran dan kebodohan; al-hulûl pada dua tempat saling berdekatan seperti ridhallâh fî ridhâ rasûlihi; dan al-hulul pada dua ruang berdekatan seperti Baitul Haram dalam firman Allah SWT: fihi ayat[un] bayyina[un] maqam Ibrahim (Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim (QS Ali Imran [3]: 97).
Jenis-jenis ini kembali pada hubungan al-hâliyyah dan al-mahalliyyah. Jenis-jenis sebelumnya terderivasi di bawah hubungan as-sabbabiyah dan al-musabbabiyah. Apa yang kami sebutkan di sini totalnya lebih dari 30 hubungan.
Sebagian orang menghitung termasuk hubungan itu apa yang tidak berkaitan dengannya, seperti hadzfu al-mudhâf (mudhaf disembunyikan) misal: wa is’al al-qaryah, yakni penduduknya, dan penyembunyian al-mudhâf ilayh semisal: anâ ibnu jallâ, yakni saya anak orang yang mulia. Penyebutan nakirah pada al-itsbât jika dijadikan untuk umum semisal: ‘alimat nafs[un]ma ahdharat, yakni setiap jiwa. Penyebutan yang ma’rifat dengan alîf lâm jika yang diinginkan adalah satu yang nakirah, semisal: udkhulu ’alayhim al-babu, yakni salah satu pintunya. Penyembunyian (al-hadzfu) semisal: yubayyinulLahu lakum an tadhillu (Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian agar kalian tidak sesat) (QS an-Nisa’ [4]: 176). Maknanya, Allah tidak suka kalian tersesat. Sebagai tambahan (az-ziyâdah) seperti firman AllahSWT: laysa kamitslihi sya’[un]. Maksudnya, huruf al-kâf adalah tambahan.
Seandainya ini dimasukkan niscaya hubungan itu sekira 40 hubungan. Tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa hubungan itu tidak lebih dari 21 hubungan, 20 hubungan, atau 25 hubungan.
Qarinah Majaz
Makna suatu lafal itu pada asalnya adalah hakikat. Makna itu beralih ke majaz ketika makna hakikat itu terhalang. Hal itu diketahui dari qarinah (indikasi) yang menunjukkannya. Para ulama menyatakan, untuk keabsahan majaz harus ada qarinah yang menghalangi makna hakikinya.
Menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, qarinah itu adalah apa yang disebutkan oleh pembicara untuk menentuan makna yang diinginkan atau untuk menjelaskan bahwa makna hakiki tidak diinginkan. Makna untuk menentukan makna yang diinginkan disebut qarînah mu’ayyinah. Ini terjadi pada hakikat dan majaz. Qarinah yang menghalangi makna hakiki disebut qarînah mâni’ah. Ini hanya terjadi pada majaz. Jika qarinah itu bersifat lafzhiyah, dari sisi maqâl disebut maqâliyah, dan jika dari sisi keadaan disebut hâliyyah.
Qarinah itu kadang bersifat inderawi (hissiyah). Misal, orang yang berkata akan makan pohon ini, maksudnya adalah buahnya. Kadang bersifat ‘aqliyah. Contohnya, firman Allah SWT: wa istafziz man istatha’ta minhum (Perdayalah siapa yang kamu (Iblis) sanggupi di antara mereka– (TQS al-Isra’ [17]: 64). Maksudnya bukanlah perintah agar membujuk, melainkan untuk menyatakan mampu membujuk.
Qarinah itu ada kalanya menurut tradisi dan ‘urf. Misalnya, wakil menjual, dia berhak menjual secara tunai dan dengan harga sepadan, sesuai dengan tradisi dan ‘urf yang berlaku.
Qarinah juga ada kalanya bersifat syar’i. Misalnya, tawkîl fî an-nikah, maksudnya bukanlah perwakilan menikahi, tetapi perwakilan melakukan ijab kabul dalam akad nikah.
Imam asy-Syaukani (w. 1250 H) di dalam Irsyâd al-Fuhûl menjelaskan:
Qarinah itu ada kalanya ada di luar pembicara (al-mutakallim) dan ucapan (kalam), yakni bukan berupa makna pada pembicara (al-mutakallim) dan sifat dia dan bukan dari jenis ucapan. Qarinah itu adakalanya pula berupa makna pada al-mutakallim atau bagian dari jenis ucapan.
Qarinah yang merupakan bagian dari ucapan, ada kalanya berupa lafal di luar dari lafal yang merupakan majaz, yang mana ada lafal di ucapan lainnya yang menunjukkan tidak diinginkannya makna hakiki; atau tidak ada di luar ucapan, tetapi ucapan itu sendiri atau bagian darinya yang menunjukkan tidak diinginkannya makna hakiki.
Bagian ini ada dua jenis: ada kalanya karena sebagian individu yang menjadi cakupan lafal itu lebih utama dari yang lain dalam dalalah lafal itu. Misal, ucapan, “Semua budakku merdeka.” Itu tidak terjadi pada mukatab. Padahal dia juga budak. Jadi ucapan itu merupakan majaz karena hanya terbatas pada sebagian cakupannya.
Qarinah yang berupa makna pada pembicara, seperti firman Allah SWT QS al-Isra’ [17]: 64. Maknanya adalah makna majaz karena Allah tidak memerintahkan kemaksiatan.
Adapun qarinah yang ada di luar ucapan, misal firman Allah SWT: fa man syâ’a falyu’min fa man sya’a falyakfur (Siapa saja yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman. Siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir (QS al-Kahfi [18]: 29).
Konteks firman Allah SWT: Innâ a’tadnâ li azh-zhâlimin nar[an] (Sungguh Kami telah menyediakan bagi kaum yang zalim itu neraka) (QS al-Kahfi [18]: 29) menghalangi makna hakikinya, yakni pilihan. Yang dimaksudkan adalah makna majaz berupa pengingkaran dan celaan.
Qarinah yang menghalangi makna hakiki ada kalanya bersifat ‘aqliyah, ada kalanya bersifat inderawi (hissiyah). Ada kalanya bersifat tradisi dan syar’i. Qarinah majaz tidak khusus dengan satu jenis dari jenis-jenis ini tanpa jenis lainnya.”
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]