Makna Nas (al-manthûq dan al-mafhûm)
Memahami nas berarti memahami lafal-lafal dan kalimat-kalimatnya. Ini penting dalam rangka ber-istidlal dengan nas. Ini bergantung pada pengetahuan tentang bagaimana ber-istidlal dengan lafal dan kalimat, yakni bagaimana memahami makna atau arti yang ditunjukkan oleh lafal itu.
Ma’nâ dibentuk dari ‘anâ–ya’nî–‘any[an] yang secara bahasa artinya menghendaki atau memaksudkan. Jadi ma’nâ (makna) adalah apa yang dikehendaki atau apa yang dimaksudkan dari lafal. Makna ini disebut juga madlûl yang diketahui dari dalâlah, yakni penunjukkan lafal atas makna.
Dalam hal ini, penunjukkan lafal itu ada kalanya melalui dalâlah lafal atas madlûl-nya, yakni dari sisi makna yang ditunjukkan oleh lafal, atau al-manthûq. Ada kalanya melalui dalâlah madlûl atas madlûl lain. Artinya, dari sisi makna yang ditunjukkan oleh makna lafal, bukan oleh lafal itu sendiri, atau al-mafhûm. Oleh karena itu untuk memahami nas, maka harus diketahui pembahasan al-manthûq dan al-mafhûm.
Hanya saja, menurut Al-‘Allamah Asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Jilid 3), sebelum membahas tentang al-manthûq dan al-mafhûm, penting diperhatikan dua perkara: Pertama, di dalam al-Quran dan as-Sunnah tidak ada lafal yang sia-sia (al-muhmal) karena tidak bisa dipahami. Kedua, Allah SWT tidak memaksudkan dari kalam-Nya makna yang menyalahi lahiriah (zhahir)-nya tanpa adanya penjelasan. Hal demikian berlaku di dalam al-Quran maupun as-Sunnah.
Di dalam al-Quran dan as-Sunnah tidak ada lafal yang muhmal (diabaikan). Hal itu karena Allah SWT tidak menyeru kita dengan sesuatu yang sia-sia atau muhmal. Artinya, Allah SWT tidak menyeru kita dengan lafal yang tidak memiliki penunjukkan atas makna. Sebabnya, yang demikian itu berarti ngelantur atau mengigau (al-hadzyân) dan itu merupakan kekurangan.
Ucapan ngelantur (al-hadzyân) ada dalam dua bentuk. Bisa berupa mengumpulkan lafal-lafal yang muhmal dan diucapkan. Bisa juga sekumpulan lafal yang diucapkan itu, dari sisi kumpulan lafalnya tidak menunjuk pada makna, meski tiap-tiap bagiannya atau tiap lafalnya menunjuk pada makna tertentu. Dua bentuk ucapan ngelantur itu termasuk ucapan muhmal (diabaikan). Yang demikian secara qath’i mustahil keluar dari Allah SWT. Karena itu tidak ada di dalam al-Quran lafal muhmal.
Juga tidak ada lafal muhmal di dalam as-Sunnah. Sebabnya, as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT dalam maknanya, dan diungkapkan oleh Rasul saw. menggunakan lafal dari beliau. Jadi mustahil pula ada di dalam as-Sunnah lafal yang muhmal. Sebabnya, jika ada yang muhmal, berarti ada wahyu dari Allah yang sia-sia. Yang demikian adalah mustahil.
Huruf-huruf hijaiyah yang ada di awal surat juga memiliki makna. Bukan lafal yang muhmal. Syaikh Atha’ bin Khali Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, ketika menjelaskan QS al-Baqarah [2] ayat 1 menyatakan, “Ayat ini, begitu pula huruf-huruf al-muqâtha’ah lainnya di awal-awal surat, semuanya termasuk al-mutâsyabih, yakni termasuk ayat-ayat yang memiliki lebih dari satu makna…Ada beberapa pendapat di situ. Pendapat yang rajih adalah bahwa itu merupakan nama-nama untuk surat yang mengandung tantangan untuk orang Arab…Pengucapan alîf lâm mîm di awal surat di depan orang-orang yang mendengarnya, menarik pendengaran dan perhatian mereka ke surat yang akan dibaca. Dalam hal itu ada makna al-ismu (nama) untuk menunjuk pada yang diberi nama. Karena itu kami katakan bahwa itu merupakan nama-nama untuk surat. Maka dari itu kita mengatakan: Alîf Lâm Mîm al-Baqarah, Surat Yasin…dst.”
Adapun firman Allah SWT:
وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّٞ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ ٧
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata, “Kami mengimani ayat-ayat yang mutasyâbihât. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS Ali Imran [3]: 7).
Ayat ini tidak jarang dijadikan dalil bahwa di dalam al-Quran ada lafal yang tidak bisa dipahami sebab yang mengetahui takwilnya hanya Allah SWT. Hal itu ketika waqaf dalam ayat ini diposisikan setelah lafal Allâh, sedangkan huruf al-wâwu pada wa ar-râsikhûna dianggap sebagai wâwu al-isti’nâf, yakni huruf wâwu yang mengawali kalimat baru. Jadi kalimat sebelumnya sudah sempurna. Sudah titik pada lafal Allâh. Dengan demikian dipahami bahwa di dalam al-Quran ada yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allah SWT.
Ucapan seperti ini tertolak dengan alasan berikut: Pertama, jika dimaknai demikian maka itu bertentangan dengan firman Allah SWT:
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩
Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu (QS an-Nahl [16]: 89).
Keberadaan al-Quran sebagai tibyân (penjelasan) mengharuskan semua yang ada di dalam al-Quran dapat dipahami. Jika ada yang tidak dapat dipahami maka bertentangan dengan keberadaan al-Quran sebagai tibyân. Ini mustahil karena bertentangan dengan ayat ini.
Kedua, waqaf di dalam QS Ali Imran ayat 7 itu tidak setelah lafal illâ Allâh. Sebabnya, huruf wâwu di sini adalah wâwu al-‘athaf. Bukan wâwu al-isti’nâf. Itu di-’athaf-kan kepada lafal Allâh. Jadi makna ayat tersebut bahwa Allah mengetahui takwilnya dan ar-râsikhûna fî al-‘ilmi juga mengetahui takwilnya. Wâwu al-isti’nâf itu tidak lain ketika kalimat sudah berhenti dan maknanya juga berhenti, lalu dimulai kalimat baru dan makna baru. Padahal di sini, kalimat dan maknanya belum berhenti. Kalimat “yaqûlûna âmannâ bihi” merupakan hâl dari “wa ar-râsikhûna fî al-‘ilmi”, bukan sebagai khabar-nya.
Di sini tidak bisa dikatakan, itu tidak bisa menjadi hâl sebab hâl itu, jika datang setelah al-ma’thûf dan al-ma’thûf ‘alayh, maka itu menjadi hâl bagi keduanya sekaligus. Padahal di sini, itu tidak bisa menjadi hal bagi al-ma’thûf ‘alayhi, yakni lafal Allâh. Sebabnya, mustahil Allah mengatakan “âmannâ bihi”. Dengan demikian ia hanya menjadi hâl bagi al-ma’thûf saja. Ini menyalahi ketentuan bahasa. Karena itu kalimat “yaqûlûna âmannâ bihi” merupakan khabar dari “wa ar-râsikhûna” dan bukan hâl darinya.
Tidak bisa dikatakan demikian. Itu benar jika tidak ada qarinah. Adapun jika ada qarinah dan datang al-hâl setelah al-ma’thûf dan al-ma’thûf ‘alayh, maka beralih hanya menjadi hâl bagi al-ma’thûf dan tidak menjad hâl bagi al-ma’thûf ‘alayh. Hal itu seperti dalam firman Allah SWT:
وَوَهَبۡنَا لَهُۥٓ إِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ نَافِلَةٗۖ ٧٢
Kami telah memberikan kepada dia (Ibrahim) lshak dan Ya’qub sebagai nâfilah untuk dirinya (QS al-Anbiya’ [21]: 72).
Kata nâfilah merupakan hâl dari Ya’qub saja. Tidak menjadi hâl dari Ishaq. Artinya, hanya menjadi hâl dari al-ma’thûf, tanpa al-ma’thûf ‘alayh. Pasalnya, nâfilah adalah cucu.
Begitu pula di dalam QS Ali Imran di atas. Mustahilnya Allah SWT mengatakan “âmannâ bihi” merupakan qarinah bahwa itu merupakan hâl dari al-ma’thûf, yakni wa ar-râsikhûna fî al-‘ilmi, tanpa menjadi hâl dari al-ma’thûf ‘alayh. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ar-râsikhûna fi al-‘ilmi mengetahui takwilnya. Dengan demikian di dalam al-Quran tidak ada lafal yang tidak punya dalâlah atas makna tertentu, jadi tidak ada yang muhmal.
Ketiga, Allah menambahkan sifat pada ar-râsikhûna dengan sifat fî al-‘ilmi. Sifat tambahan ini tidak lain diberikan ketika berbicara tentang pengetahuan, bukan diberikan ketika berbicara tentang tidak adanya pengetahuan. Jadi ungkapan wa ar-râsikhûna fî al-‘ilmi di situ ada isyarat bahwa yang dimaksudkan dalam ucapan itu adalah pengetahuan, bukan tidak adanya pengetahuan. Artinya, Allah mengetahui takwilnya. Ar-râsikhûna fi al-‘ilmi di antara para ulama juga mengetahui takwilnya. Dengan demikian tidak ada di dalam al-Quran lafal yang muhmal.
Adapun bahwa Allah SWT tidak memaksudkan dalam kalam-Nya yang menyalahi lahiriah (zhahir)-nya tanpa ada penjelasan, hal itu karena lafal itu dibuat untuk menunjuk pada makna tertentu. Ketika seseorang mengatakan lafal itu, tidak lain dia maksudkan adalah makna yang ditunjuk oleh lafal itu. Jika yang dia maksudkan bukan makna yang ditunjuk oleh lafal itu maka dia memberikan qarinah yang menunjukkan bahwa yang dia maksudkan adalah bukan makna untuk lafal itu. Bisa juga dia menjelaskan bahwa dia mengatakan ini, sementara yang dia maksudkan itu. Adapun jika tidak ada penjelasan itu maka tidak mungkin dipahami dari lafal itu selain makna yang dibuat oleh pemilik bahasa atau makna ‘urf yang mereka gunakan pada lafal itu.
Dari sini jelaslah, bahwa di dalam al-Quran tidak ada lafal yang punya makna menyalahi lahiriahnya, yaitu menyalahi makna yang ditunjuk oleh lafal itu; tanpa ada penjelasan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan makna zhahir itu. Ditambah lagi, jika di dalam al-Quran ada lafal yang maknanya menyalahi makna lahiriahnya tanpa disertai penjelasan tentang itu, berrti Allah menyeru kita dengan lafal yang tidak bisa dipahami. Artinya, di dalam al-Quran ada lafal yang muhmal. Hal itu mustahil.
Oleh karena itu, di dalam al-Quran tidak ada makna yang menyalahi makna lahiriahnya tanpa penjelasan. Artinya, di dalam al-Quran tidak ada makna lahiriah dan makna batiniah. Sebaliknya, semua yang ada di dalam al-Quran tidak lain yang Allah maksudkan dari lafal-lafalnya adalah makna yang dibuat oleh ahlu lughah atau yang mereka gunakan secara ‘urf atau secara syar’i. Tidak ada sama sekali selain yang demikian, kecuali ada qarinah atau penjelasan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]