Pengkhususan Dengan Pengecualian
Pengkhususan (at-takhshîsh), seperti yang sudah dijelaskan, adalah pengeluaran sebagian dari cakupan lafal, yakni pengeluaran sebagian dari cakupan keumuman makna lafal. Di antara bentuk pengkhususan dengan nas yang bersambung adalah pengkhususan dengan menggunakan pengecualian (at-takhshîsh bi al-istitsnâ‘).
Al-‘Allamah asy-syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3 menjelaskan, pengkhususan menggunakan dengan pengecualian adalah mengeluarkan apa yang disebutkan setelah “illâ” atau teman-temannya dari cakupan makna apa yang disebutkan sebelum “illâ” dan teman-temannya.
Pengecualian yang dimaksudkan adalah pengecualian secara bahasa Arab dengan menggunakan alat-alat yang secara bahasa digunakan untuk menyatakan pengecualian. Alat-alat itu antara lain lafal: “illâ, ghayru, siwâ, hâsyâ, khalâ, ‘adâ, mâ ‘adâ, mâ khalâ, laysa, lâ yakûnu” dan semacamnya. Induk pengecualian itu adalah lafal illâ. Artinya, apa yang disebutkan setelah lafal-lafal itu dikeluarkan dari cakupan makna lafal umum yang disebutkan sebelum lafal-lafal pengecualian itu.
Contohnya dalam firman Allah SWT:
مَن كَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِهِۦٓ إِلَّا مَنۡ أُكۡرِهَ وَقَلۡبُهُۥ مُطۡمَئِنُّۢ بِٱلۡإِيمَٰنِ ١٠٦
Siapa saja yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) (QS an-Nahl [16]: 106).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî menyatakan, pengecualian ini mengeluarkan dari keumuman di awal ayat yang mencakup semua kekufuran: kekufuran yang tampak yang keluar di lisan saja, sementara hati tenteram dengan keimanan. Hal itu menunjukkan bahwa kekufuran yang haram adalah yang keluar dari keridhaan dan pilihan tanpa paksaan.
Pengkhususan dengan menggunakan pengecualian ini berlaku menurut beberapa ketentuan. Pertama: Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Jilid 3 mengatakan, syarat keabsahan pengecualian adalah pengecualian itu harus bersambung (muttashil) dengan yang dikenai pengecualian (al-mustatsâ minhu) secara hakiki (haqîqatan) tanpa ada jeda pemisah di antara keduanya atau pada hukum bersambung (fî hukmi al-muttashil), yaitu yang dengan itu pembicara secara ‘urf tidak dinilai melakukan pengecualian setelah dia selesai dari ucapannya yang pertama, meski di antara keduanya ada jeda terputusnya nafas. Jika ada pemisah di antara keduanya maka tidak dinilai pengecualian.
Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî, pengecualian itu disyaratkan harus bersambung. Imam Malik berkata, “Jika dia diam (ada jeda) atau memutus ucapannya maka tidak ada pengecualian.”
Imam asy-Syafi’i berkata, “Disyaratkan pengecualian itu bersambung dengan ucapan yang pertama. Keterasambungan itu secara terangkai/tersusun. Jika di antara keduanya ada diam (jelad) maka terputus, kecuali jika diamnya itu untuk mengingat-ngingat (tadzakkur), menarik nafas, pingsan atau terputusnya suara. Begitulah pengecualian itu diputus oleh permulaannya dalam mengucapkan yang lainnya.”
Ibnu al-Hajib meringkas hal ini, yakni syarat pengecualian itu adalah ketersambungan secara lafal atau yang pada hukumnya seperti terputus/berhenti untuk menarik nafas, bersin atau semacamnya yang tidak menghalangi ketersambungan itu secara ‘urf”.
Ada pendapat tentang keabsahan pengecualian yang terpisah setelah jangka waktu tertentu. Menurut Ibnu Abbas, pengcualian tetap sah meski diucapkan setelah beberapa waktu, satu bulan, atau lainnya. Menurut Said bin Jubair, pengecualian tetap sah setelah empat bulan. Menurut Mujahid, penecualian tetap sah setelah dua tahun. Misalnya, orang bersumpah atas sesuatu. Lalu sebulan kemudian mengatakan, “In syâ`a Allaah.” Dia dinilai tidak melanggar sumpahnya.
Pendapat ini tertolak karena menyalahi sabda Rasul saw.:
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ، فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَفْعَل. وَفِيْ أَحْمَدِ والنَّسَائِيْ: وَلْيَفْعَلِ الَّذِي هُوَ خَيْر…
“Siapa saja yang bersumpah atas sesuatu sumpah, lalu dia melihat yang lainnya lebih baik, maka hendaklah dia membayar kafarah sumpahnya, dan melaksanakan (yang lebih baik).” Dalam riwayat Ahmad dan an-Nasai dikatakan, “Hendaklah dia melakukan yang lebih baik itu” (HR Muslim no. 1650, Ahmad no. 8734, at-Tirmidzi no. 1530 dan an-Nasai no. 3781).
Al-Khaththabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan mengatakan, “Andai perkaranya menurut pendapat mereka (keabsah pengecualian yang terpisah), niscaya untuk orang yang bersumpah ada jalan keluar dari sumpahnya sehingga dia tidak harus membayar kafarah sama sekali, padahal telah terbukti dari Nabi saw… (hadis ini).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî menyatakan, “Di antara dalil atas syarat ketersambungan pengecualian dengan ucapan adalah sabda Nabi saw., ‘Falyukaffir ‘an yamînihi.’ Sebabnya, andai pengecualian memberi faedah setelah keterputusan ucapan, niscaya Nabi saw, mengatakan, ‘Falyastatsni (Hendaklah dia melakukan pengecualian.’ Sebabnya, itu lebih mudah daripada membayar kafarah.”
Andai pengecualian tidak bersambung itu sah, niscaya Nabi saw. mengarahkan pada hal demikian. Sebabnya, itu adalah jalan keluar yang lebih mudah untuk orang yang bersumpah ketika menginginkan yang lebih baik dan tidak melanggar sumpah. Sebabnya, Nabi saw. menghendaki kemudahan, sementara pengecualian itu lebih mudah daripada membayar kafarah. Faktanya, Nabi saw. tidak mengarahkan pada hal demikian, Ini menunjukkan ketidakabsahan pengecualian yang terpisah itu.
Memang Nabi saw. pernan bersabda:
وَاللهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا، وَاللهِ لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا، وَالله لَأَغْزُوَنَّ قُرَيْشًا ثُمَّ سَكَتَ، ثُم قَالَ: إِنْ شَاءَ الله
“Demi Allah. Sungguh aku akan memerangi Quraisy, Demi Allah. Sungguh aku akan memerangi Quraisy. Demi Allah. Sungguh aku akan memerangi Quraisy.” Lalu beliau diam. Kemudian beliau bersabda, “In syâ`a Allaah (Jika Allah menghendaki.” (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Diamnya Nabi saw. di sini dimungkinkan diam yang tidak merusak ketersambungan. Sebabnya, tidak diriwayatkan bahwa beliau memutus pembicaraan, melakukan perkara lain atau meninggalkan majelis, sehingga bisa dikatakan ada pemisah. Malah diriwayatkan bahwa beliau diam, lalu bersabda, “In syâ`a AlLâh.” Ini menunjukkan bahwa itu adalah diam yang tidak memutus ketersambungan. Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Bârî, diamnya Nabi saw. itu dimungkinkan dalam bentuk at-tabarruk atau diam untuk menarik nafas.
Kedua: Yang dikecualikan (al-mustatsnâ) haruslah berasal dari jenis yang dikenai pengecualian (al-mustatsnâ minhu). Jika al-mustatsnâ bukan dari jenis al-mustatsnâ minhu, maka itu bukan pengecualian. Ini disebut al-istitsnâ‘u al-munqathi’, dan tidak sah dinilai pengecualian sehingga itu bukan pengkhususan. Contohnya firman Allah SWT:
وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلۡجِنِّ فَفَسَقَ عَنۡ أَمۡرِ رَبِّهِۦٓۗ ٥٠
(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam.” Lalu sujudlah mereka, kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin. Dia mendurhakai perintah Tuhannya (QS al-Kahfi [18]: 50).
Jadi Iblis tidak termasuk Malaikat. Artinya al-mustatsnâ bukan dari jenis al-mustatsnâ minhu. Karena itu, lafal illâ di sini bukan pengecualian. Maknanya adalah: tetapi Iblis tidak bersujud.
Ketiga: Pengecualian itu kembali pada al-mustatsnâ yang terdekat. Contohnya firman Allah SWT:
إِلَّآ ءَالَ لُوطٍ إِنَّا لَمُنَجُّوهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٥٩ إِلَّا ٱمۡرَأَتَهُۥ قَدَّرۡنَآ إِنَّهَا لَمِنَ ٱلۡغَٰبِرِينَ ٦٠
…kecuali Luth beserta para pengikutnya. Sungguh Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan bahwa dia (istrinya) itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan kaum kafir lainnya) (QS al-Hijr [15]: 59-60).
Istri Nabi Luth as. dikecualikan dari mereka yang diselamatkan dan diikutkan orang yang dibinasakan. Ini karena ketersambungan pengecualian itu dengan orang yang diselamatkan (al-munajjûn). Ketentuan kembalinya pengecualian pada al-mustatsnâ terdekat itu menurut para ahli bahasa merupakan hak ucapan dan konsekuensinya.
Keempat: Hukum pengecualian itu, jika menyertai khithaab yang di-’athaf-kan sebagian padas sebagian lainnya, maka pengecualian itu kembali pada ma’thûf yang paling dekat; tidak kembali pada yang sebelumnya, kecuali dengan adanya suatu qarînah. Contohnya dalam firman Allah SWT:
وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٤ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ مِنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَ وَأَصۡلَحُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٥
Orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik (berbuat zina), sementara mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kalian menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Mereka itulah kaum yang fasik; kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Sungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nur [24]: 4-5).
Pengecualian dengan illâ itu berlaku atas hilangnya sifat fasik bagi orang yang melakukan qadzaf yang telah bertobat. Namun demikian, ini tidak membuat kesaksiannya diterima dan tidak menghilangkan had atas dirinya.
Inilah ketentuan pengkhususan menggunakan pengecualian. Dengan itu hukum apa pun yang dikecualikan (al-mustatsnâ), dikeluarkan dari cakupan hukum al-mustatsnâ minhu (yang dikenai pengecualian). Artinya, hukum apa pun yang disebutkan setelah pengecualian (misalnya setelah illâ), dikeluarkan dari hukum apa yang disebutkan sebelum pengecualian itu. Inilah yang disebut pengkhususan dengan menggunakan pengacualian (at-takhshîsh bi al-istitsnâ‘).
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]