QIYAS
Al-Qiyâs adalah bentuk mashdar dari qâsa–yaqîsu–qiyâs[an] wa qays[an]. Secara bahasa al-qiyâs maknanya at-taqdîr (pengukuran), yakni mengetahui kadar (ukuran) sesuatu. Dikatakan: Qistu ats-tsawba bi adz-dzirâ’ (Aku mengukur kain dengan ukuran hasta) wa qistu al-ardha bi al-qashbah (aku mengukur tanah dengan ukuran qashbah), yakni aku mengetahui kadar (ukuran)-nya. At-Taqdîr (pengukuran) adalah nisbah (hubungan) antara dua hal yang mengharuskan adanya persamaan di antara keduanya. Jadi persamaan itu menjadi keharusan dalam at-taqdîr (Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 3/2; al-Isnawi, Syarh al-Isnâwî, 3/2; asy-Syaukani, Irsyâdu al-Fuhûl, hlm. 173; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, hlm. 601).
Qiyâs itu merupakan hubungan dan penyandaran antara dua perkara. Karena itu sering dikatakan: Si A di-qiyâs-kan terhadap si B dan tidak di-qiyâs-kan terhadap si C. Artinya, si A memiliki persamaan dengan si B, tetapi si A tidak memiliki persamaan dengan si C.
Adapun dalam istilah para ulama ushul, terdapat berapa pengertian al-qiyâs. Pertama: Menurut Qadhi Abu Bakar al-Baqilani, al-qiyâs adalah membawa ma’lum pada ma’lum lainnya dalam menetapkan hukum untuk keduanya atau menafikan hukum atau sifat dari keduanya dengan perkara yang menghimpun keduanya. Pengertian ini diadopsi oleh mayoritas pen-tahqiq dari mazhab Syafii (Lihat: Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm; Muhammad bin Umar bin al-Husain ar-Razi, Al-Makhshul fi Ilmi al-Ushul, v/9).
Kedua: Al-Qiyâs adalah pengumpulan (penyimpulan) hukum asal (tahshîl hukmi al-ashli) pada cabang karena keserupaan keduanya dalam ‘illat hukum menurut mujtahid (Abu al-Husain al-Bashri, Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqh, ii/195).
Ketiga: Al-Qiyâs adalah menyertakan hukum syariah suatu perkara pada perkara lain karena adanya kesamaan ‘illat hukum dalam kedua perkara tersebut (Lihat: Asy-Syayrazi, Al-Luma’, hal. 51; Ibnu Qudamah, Rawdhah an-Nâzhir, ii/227; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hlm. 603; Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 85).
Keempat: Al-Qiyâs adalah penetapan semisal hukum ma’lum pada ma’lum yang lain karena persekutuan (persamaan) keduanya dalam ‘illat hukum menurut orang yang menetapkan (al-mutsbit) (Lihat: As-Subki, Al-Ibhaj fi Syarhi al-Minhaj, iii/3; Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, iii/319).
Masih ada pengertian lainnya menurut para ulama. Semua definisi al-qiyâs tersebut mengharuskan adanya yang dipersamakan (al-musyabbah) dan yang dijadikan sandaran penyamaan (al-musyabbah bihi), aspek penyamaan (wajhu syabah). Artinya, dalam al-qiyâs harus ada: al-maqîs, al-maqîs ‘alayh dan wajhu al-qiyâs.
Berdasarkan definisi manapun di antara definisi al-qiyâs, sesuatu yang menjadikan al-qiyâs itu ada adalah persekutuan al-maqîs dan al-maqîs ‘alayh pada satu perkara, yakni adanya penghimpun di antara keduanya. Perkara yang menghimpun antara al-maqîs dan al-maqîs ‘alayh itu adalah sesuatu yang membangkitkan hukum (al-bâ’its ‘alâ al-hukmi) yang diistilahkan sebagai ‘illat hukum.
Dengan demikian qiyâs yang dimaksudkan adalah qiyâs syar’i, yaitu qiyâs yang didasarkan pada ‘illat syar’i.
Kehujjahan Qiyâs
Qiyâs merupakan dalil syariah atas hukum-hukum syariah, yakni hujjah untuk menetapkan bahwa suatu hukum adalah hukum syariah. Al-Qiyâs telah terbukti merupakan dalil syariah. Kehujjahan qiyâs sebagai dalil syariah itu ditetapkan berdasarkan dalil qath’i dan dalil zhanni.
Berdasarkan dalil qath’i, Qiyâs merupakan dalil syariah karena posisinya kembali atau merujuk pada nas itu sendiri. Sebab ‘illat yang menjadi penentu qiyâs itu tidak dianggap sebagai ‘illat kecuali jika ditunjukkan oleh syariah. Jadi Qiyâs dinilai sebagai dalil syariah merupakan suatu keniscayaan. Pasalnya, pada hakikatnya Qiyâs syar’i itu kembali pada nas yang menyatakan atau menunjukkan ‘illat-nya.
Jadi Qiyâs sebagai dalil syariah itu dalilnya adalah nas yang menunjukkan ‘illat-nya itu sendiri. Jika dalil ‘illat itu al-Quran maka dalil Qiyâs itu adalah al-Quran. Jika dalil ‘illat itu as-Sunnah maka dalil Qiyâs itu adalah as-Sunnah. Jika dalil ‘illat-nya Ijmak Sahabat maka dalil Qiyâs itu adalah Ijmak Sahabat. Dengan demikian dalil bahwa Qiyâs merupakan dalil syariah itu merupakan dalil yang qath’i. Sebab dalilnya adalah dalil yang menunjukkan pada ‘illat-nya yakni: al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Dengan demikian dalil syariah bahwa Qiyâs merupakan hujjah syar’iyyah adalah himpunan dalil-dalil yang menunjukan bahwa al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat merupakan hujjah syar’iyyah.
Adapun dalil-dalil zhanni yang menunjukkan bahwa Qiyâs merupakan dalil syariah yaitu as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Telah terbukti bahwa Rasul saw. memberikan indikasi penggunaan Qiyâs dan beliau menyetujui qiyâs.
Ibnu Abbas ra. menuturkan bahwa pernah ada seorang wanita berkata kepada Nabi saw., “Ibuku meninggal dan beliau punya utang puasa nadzar. Apakah aku boleh berpuasa untuk beliau?” Rasul saw. menjawab:
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ أَكَانَ يُؤَدِّى ذَلِكِ عَنْهَا، قَالَتْ نَعَمْ. قَالَ: فَصُومِى عَنْ أُمِّكِ
“Bagaimana pandanganmu seandainya ibumu punya utang lalu engkau membayarnya apakah hal itu melunasi utangnya?” Wanita itu berkata, “Benar.” Beliau bersabda, “Karena itu berpuasalah atas nama ibumu.” (HR Muslim).
Seorang wanita lain pernah datang dan berkata kepada Rasul saw., “Ibuku bernadzar untuk berhaji dan meninggal sebelum berhaji. Apakah aku harus berhaji atas namanya?” Rasul saw. bersabda:
نَعَمْ حُجِّى عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ. قَالَتْ نَعَمْ. فَقَالَ: فَاقْضُوا الَّذِى لَهُ، فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Benar berhajilah atas namanya. Bagaimana pendapatmu andai ibumu punya utang. Apakah engkau membayarnya?” Wanita itu berkata, “Benar.” Beliau bersabda, “Tunaikanlah apa yang menjadi hak Allah. Sungguh (hak) Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” (HR al-Bukhari).
Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa pernah seorang laki-laki berkata kepada Rasul saw., “Ibuku meninggal dan ia punya utang puasa sebulan. Apakah aku harus bayar atas beliau?” Rasul menjawab:
لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَه عَنْهَا، قَالَ نَعَمْ. قَالَ: فَدَيْنُ اللهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Andai ibumu punya utang. Apakah engkau membayarnya?” Dia berkata, “Benar.” Rasul saw. bersabda, “Utang kepada Allah lebih hak untuk dibayar.”
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Qiyâs merupakan hujjah. Sebab dalam hadis-hadis itu Rasul saw. mengaitkan utang kepada Allah dengan utang adami dalam hal wajibnya dibayar dan manfaatnya. Itu adalah bentuk qiyâs.
Umar bin al-Khathab ra. pernah bertanya kepada Rasul saw. tentang orang yang berpuasa mencium istrinya. Rasul bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِماَءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ، قُلْتُ لاَ. بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم، فَفِيمَ
“Bagaimana pendapatmu, andai engkau berkumur, sementara engkau berpuasa?” Umar menjawab, “Tidak apa-apa.” Rasulullah saw. bersabda, “Lalu mengapa?” (HR Ahmad, Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Dalam hadis ini Rasul saw. menunjukkan qiyâs. Sebab Rasul saw. memahamkan Umar bahwa berciuman tanpa keluarnya mani tidak merusak puasa sebagaimana bahwa berkumur tanpa menelannya tidak merusak puasa.
Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dan Abu al-Husain al-Bashri di Al-Mu’tamad fî Ushûl al-Fiqhi menyebutkan bahwa ketika Rasul saw. mengutus Muadz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy’ari ke Yaman, beliau bertanya, “Dengan apa kalian berdua memutuskan?” Keduanya menjawab, “Jika tidak kami temukan hukum di dalam al-Kitab dan as-Sunnah, kami qiyâs-kan perkara dengan perkara yang lain. Lalu apa yang lebih mendekati kebenaran kami amalkan.” Rasul saw. pun membenarkan sikap keduanya itu.
Adapun Ijmak Sahabat, maka telah terjadi berulang-ulang mereka menggunakan Qiyâs dan menilai Qiyâs sebagai dalil syar’i.
Imam as-Sarakhsi di Al-Mabsûth dan Asy-Syayrazi di dalam At-Tabshirah menyebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah meng-qiyâs-kan kakek (dari jalur ayah) dengan cucu (dari jalur anak laki-laki) sebagai pihak yang menghijab saudara dalam hal waris.
Imam al-Ghazali menyebutkan di dalam Al-Mushtashfâ fî ‘Ilmi al-Ushûl bahwa Abu Bakar pun menjadikan nenek dari pihak ibu berserikat dengan nenek dari pihak ayah dalam bagian seperenam harta waris berdasarkan Qiyâs.
Masih banyak peristiwa lainnya ketika Sahabat meng-qiyâs-kan perkara dengan perkara lainnya. Berbagai peristiwa itu masyhur, diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkari praktik tersebut. Padahal jika praktik itu menyalahi syariah, tentu akan mereka ingkari. Hal itu menunjukkan Ijmak Sahabat bahwa Qiyâs merupakan dalil syariah dan hukum yang ditunjukkan oleh Qiyâs itu merupakan hukum syariah.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]