Ragam Al-Mahfum
Al-Mafhûm merupakan bentuk maf’ûl dari fahima-yafhamu-fahm[an] wa fahâmat[an]. Dikatakan fahimahu; maknanya ‘alimahu wa ‘arafahu, yakni mengerti, memahami atau mengetahui. Dengan begitu, al-mafhûm dapat diartikan: apa yang dipahami, dimengerti atau diketahui dari ucapan.
Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ‘ menyatakan, al-mafhûm adalah ash-shûrah adz-dzihniyah li al-alfâzh (gambaran yang terbayang dalam benak dari suatu ungkapan). Abu al-Biqa’ al-Kafawi di dalam al-Kulliyât menyatakan, al-mafhûm adalah gambaran yang terbayang di dalam benak dari suatu ungkapan, baik ungkapan itu ditetapkan untuk gambaran tersebut atau tidak. Sebagaimana makna adalah gambaran yang terbayang di dalam benak dari suatu ungkapan yang memang ditetapkan untuk gambaran tersebut.
Makna dari suatu ungkapan disebut mafhûm, madlûl dan ma’nâ. Abu Hilal al-‘Asykari di dalam Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyah, mengutip al-Fadhil al-Yazdzi, menyatakan bahwa apa yang dipahami dari suatu lafal (ungkapan) disebut mafhûm; apa yang dimaksudkan dari lafal tersebut disebut ma’nâ; dan apa yang ditunjuk oleh lafal disebut madlûl. Ini merupakan perbedaan yang bersifat i’tibâriyah (anggapan).
Istilah al-mafhûm telah menjadi istilah tersendiri yang digunakan oleh para ulama ushul di dalam ushul fikih. Para ulama ushul menggunakan istilah al-mafhûm saat mengklasifikasikan dalâlah lafal.
Dalâlah lafal menurut para ulama ada tiga macam: dalâlah al-muthâbaqah, dalâlah at-tadhammun dan dalâlah al-iltizâm. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menyatakan: Dalâlah lafal itu adakalanya bersifat lafzhiyyah atau ghayru lafzhiyyah.
Dalâlah lafzhiyyah kadangkala berkaitan dengan kesempurnaan makna lafal yang ditetapkan untuk lafal tersebut atau pada sebagiannya. Yang pertama adalah dalâlah al-muthâbaqah. Yang kedua adalah dalâlah at-tadhammun.
Adapun dalâlah ghayru al-lafzhiyah adalah dalâlah al-iltizâm. Intinya, lafal itu mempunyai makna. Makna itu memiliki kelaziman dari luar. Jadi ketika memahami madlul dari suatu lafal, benak (pikiran) beralih dari madlul lafal ke makna lazimnya. Andai ditetapkan tidak ada peralihan pikiran, niscaya yang lazim itu tidak menjadi mafhum.
Dalâlah al-iltizâm sama dengan dalâlah at-tadhammun dalam hal membutuhkan pertimbangan pikiran (an-nazharu adz-dzihniy); dalam mengetahui kelaziman itu di dalam dalâlah al-iltizâm dan mengetahui bagian dalam dalâlah at-tadhammun. Hanya saja, dalam at-tadhammun pertimbangan pikiran itu untuk mengetahui keberadaan bagian tersebut masuk di dalam madlul lafal. Sebaliknya, dalam al-iltizâm, untuk mengetahui keberadaannya ada di luar dari madlul lafal. Oleh karena itu dalâlah at-tadhammun sifatnya lafzhiyyah. Berbeda dengan dalâlah al-iltizâm (yakni bersifat ghayru lafzhiyyah atau bersifat ma’nawiyah).
Selanjutnya para ulama ushul membagi ketiga macam dalâlah tersebut menjadi al-manthûq dan al-mafhûm. Sebagian ulama, khususnya ulama Syafiiyah, menggunakan istilah sedikit berbeda yaitu dalâlah al-manzhûm untuk menyebut al-manthûq dan dalâlah ghayr al-manzhûm untuk menyebut al-mafhûm. Ini seperti yang ditempuh oleh Imam al-Amidi di dalam al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. Menurut ‘Iyadh bin Nami bin ‘Awadh as-Sulami di dalam Ushûl al-Fiqh al-Ladzî lâ Yasa’u al-Faqîh Jahlahu, perbedaan ini tidak memiliki faedah kecuali mengetahui istilah. Artinya, itu hanya perbedaan istilah atau sebutan saja.
Para ulama membagi dalâlah lafal hanya dalam dua klasifikasi, al-manthûq dan al-mafhûm. Al-manthûq adalah mâ dalla ‘alayhi al-lafzhu qath’[an] fî mahalli an-nuthqi (apa yang ditunjukkan oleh lafal secara pasti pada posisi prononsiasi). Yang dimaksud fî mahalli an-nuthqi adalah fî al-‘ibârah al-manthûq bihâ (pada ungkapan yang diucapkan). Al-Mafhûm adalah dalâlah selain al-manthûq. Artinya, al-mafhûm adalah mâ dalla ‘alayhi al-lafzhu lâ fî mahalli an-nuthqi (apa yang ditunjukkan oleh lafal tidak pada posisi prononsiasi), yakni apa yang ditunjukkan oleh lafal pada apa yang di-taqdir di luar dari apa yang diucapkan. Itu adalah makna yang lazim untuk lafal tersebut dan tidak dinyatakan secara gamblang (sharîh).
Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan, “Dalâlah ghayru al-manzhûm adalah apa yang dalâlah-nya bukan dengan sharih redaksi dan penetapannya. Hal itu adakalanya madlûl-nya dimaksudkan oleh orang yang berbicara atau tidak dimaksudkan. Jika dimaksudkan, adakalanya menentukan kebenaran orang yang berbicara atau kebenaran apa yang dilafalkan, atau tidak menentukan. Jika menentukan, dalâlah lafalnya disebut dalâlah al-iqtidhâ`. Jika tidak menentukan, adakalanya keberadaannya dipahami pada posisi cakupannya atas lafal secara prononsiasi pertama-tama. Jika pertama maka dalâlah-nya disebut dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ`. Jika kedua maka dalâlah-nya disebut dalâlah al-mafhûm. Adapun jika madlul-nya bukan maksud orang yang berbicara maka dalâlah lafal terhadapnya disebut dalâlah al-isyârah.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz 3 menjelaskan: al-mafhûm adalah apa yang dipahami dari lafal pada selain posisi prononsiasi, artinya apa yang yang ditunjukkan oleh madlul lafal, yakni makna yang ditunjukkan oleh makna lafal. Al-Manthûq adalah apa yang dipahami dari dalalah lafal. Al-Mafhûm adalah apa yang dipahami dari madlul lafal. Contohnya firman Allah SWT:
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ ٢٣
Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan, “Ah!”” (QS al-Isra’ [17]: 23).
Dalâlah lafal itu adalah jangan berkata, “Ah!” kepada ibu-bapak. Ini adalah al-manhûq. Namun, dari madlul lafal itu, yaitu larangan berkata “Ah!”, bisa dipahami juga, “Jangan memukul keduanya.” Dengan demikian di antara mafhum dari firman Allah itu adalah, “Jangan memukul keduanya.” Pengharaman memukul kedua orangtua yang dipahami dari firman Allah itu telah ditunjukkan oleh mafhum ayat tersebut. Jadi seruan di situ telah menunjukkan hukum melalui al-mafhûm. Itu disebut dalâlah al-ma’nawiyah dan dalâlah al-iltizâm.
Dalâlaj al-iltizâm adalah dalâlah lafal terhadap kelaziman maknanya. Itu pada hakikatnya merupakan madlul makna. Bukan madlul lafal. Ia ditunjukkan oleh lafal secara tidak langsung, yakni dari dalâlahnya terhadap maknanya, bukan dari lafalnya. Artinya, makna itu dipahami dari lafal, bukan pada posisi prononsiasi, yakni dipahami dari makna lafalnya. Jadi al-mafhûm adalah dalâlah al-iltizâm.
Dengan memperhatikan dalâlah al-iltizâm menjadi jelas bahwa kelaziman itu kadang termasuk apa yang dituntut oleh akal atau apa yang dituntut oleh syariah karena keharusan benarnya orang yang berbicara atau kesahihan terjadinya apa yang dilafalkan. Hal itu adalah dalâlah al-iqtidhâ‘.
Kadang menjadi kelaziman dari madlul lafal secara asal penetapannya (wadh’u-nya). Bukan keberadaan lafal menunjukkan terhadapnya dengan asal penetapannya (wadh’u-nya). Hal itu adalah dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘.
Kadang merupakan kelaziman dari ucapan yang diredaksikan untuk menjelaskan hukum, atau menunjukkan hukum dan kelaziman itu tidak menjadi yang dimaksudkan. Yang dimaksudkan tidak lain adalah hukum tersebut, namun ucapan itu memberi makna tersebut meski tidak menjadi yang dimaksudkan dari ucapan itu. Hal itu adalah dalâlah al-isyârah.
Kadang kelaziman itu dipahami dari tarkîb al-jumlah (susunan kalimat), kelaziman untuk susunan ucapan. Hal itu adalah al-mafhûm. Jika bersesuaian dengan manthuq-nya dalam hal positif dan negatif, maka merupakan mafhûm al-muwâfaqah dan disebut fahwâ al-khithâb, yakni maknanya sebagaimana disebut sebagai tanbîh al-khithâb. Jika berkebalikan untuk manthûq-nya maka merupakan mafhûm al-mukhâlafah, dan disebut dalîl al-khithâb sebagaimana juga disebut lahnu al-khithâb”. Demikian yang dijelaskan di dalam Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz 3.
Dengan penjelasan di atas, al-mafhûm, yang dalam istilah sebagian ulama adalah dalâlah ghayru al-manzhûm, terdiri dari empat macam: dalâlah al-iqtidhâ’, dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘, dalâlah al-isyârah dan dalâlah al-mafhûm atau mafhûm. Dalâlah al-mafhûm atau mafhûm sendiri ada dua jenis: jika bersesuaian dengan manthuq-nya maka disebut mafhûm al-muwâfaqah; jika berkebalikan dengan manthuq-nya maka disebut mafhûm al-mukhâlafah.
Dari sisi penunjukan terhadap hukum, al-mafhûm atau dalâlah ghayru al-manzhûm itu sama saja statusnya dengan al-manthûq atau dalâlah al-manzhûm. Artinya, hukum yang ditunjukkan atau digali melalui al-mafhûm atau dalâlah ghayru al-manzhûm itu merupakan hukum syariah. Sama dengan hukum yang ditunjukkan atau digali melalui al-manthûq atau dalâlah al-manzhûm.
Hanya saja, secara tingkatan, al-manthûq lebih dikedepankan dari al-mafhûm. Secara berturut-turut tingkatan semua dalâlah itu dari yang paling dikedepankan hingga yang paling akhir adalah: dalâlah al-muthâbaqh, lalu dalâlah at-tadhammun, lalu dalâlah al-iqtidhâ‘, lalu dalâlah at-tanbîh wa al-îmâ‘, lalu dalâlah al-isyârah, lalu mafhûm al-muwâfaqah dan paling akhir mafhûm al-mukhâlafah.
Tingkatan ini diperhatikan tentu ketika terjadi tabarakan atau kontradiksi di antara dalâlah-dalâlah tersebut. Adapun jika tidak terjadi tabrakan atau tidak ada kontradiksi di antaranya, maka masing-masing hukum yang ditunjukkan oleh dalâlah-dalâlah itu sama-sama merupakan hukum syariah. Tidak berbeda satu dari yang lain.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]