Seruan Kepada Umat
خِطَابُ الْأُمَّةِ
Khâthaba bermakna tawjîhu al-kalâm ilâ ghayr (mengarahkan ucapan kepada orang lain). Al-Khithâbah merupakan pengarahan atau penginformasian kepada orang yang mendengar, atau yang pada posisi itu, atas apa yang diinformasikan atau diucapkan, yakni diserukan berupa lafal-lafal yang mungkin untuk dipahami. Adapun al-khithâb yang dimaksudkan adalah dalam makna al-makhthûb, yakni apa yang diarahkan, diinformasikan atau diserukan itu sendiri; bukan pengarahan atau penginforma-siannya, yakni al-kalâm, ucapan atau pembicaraan. Jadi al-khithâb atau seruan itu tidak lain adalah makna-makna yang dikandung oleh lafal dan kalimat ucapan atau pembicaraan.
Khithâb al-ummah maksudnya adalah khithâb li al-ummah (seruan untuk umat). Khithâb yang dimaksud di sini adalah khithâb dari Asy-Syâri’, yakni dari Allah dan Rasul-Nya untuk umat. Dalam hal ini ada tiga hal yang perlu ditetapkan: Pertama, cakupan khithâb itu terhadap umat yang ada sesudah zaman Rasul saw. Kedua, seruan kepada salah seorang atau sebagian dari umat apakah mencakup seluruh umat. Ketiga, seruan untuk umat itu apakah juga mencakup Rasul saw.
Seruan kepada Umat Mencakup Seluruh Umat hingga Hari Kiamat.
Khithâb atau seruan Asy-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) itu dinyatakan atau disampaikan pada zaman Rasul saw. Menurut ketentuan at-takhâthub (pembicaraan) tentu saja yang diseru secara langsung adalah orang yang ada pada zaman itu. Seruan itu kadang dalam bentuk umum, seperti “yâ ayyuha an-nâs (wahai manusia)”, “ yâ ‘ibâdalLâh (wahai hamba-hamba Allah)”, “yâ ibna âdam (wahai anak Adam)”, “ya ayyuha al-ladzîna âmanû (wahai orang-orang beriman),” dan semisalnya.
Dalam hal ini, seperti dinyatakan oleh Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmî, mengutip Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl, tidak ada perbedaan dalam hal seruan itu mencakup orang sesudah orang-orang yang ada pada saat seruan itu disampaikan atau dikeluarkan dan baru ada pada masa setelah mereka. Sebabnya, seruan itu secara qath’i ditujukan kepada orang-orang yang ada ketika itu. Adapun orang yang datang sesudah mereka, meski tidak dicakup oleh seruan itu, diposisikan sama dengan orang-orang yang ada dalam taklif dengan hukum-hukum itu. Sebabnya, seruan tersebut bersifat mutlak dan tidak ada yang menunjukkan pengkhususannya atas orang-orang yang ada saja.
Secara at-takhâthub (pembicaraan) menurut bahasa atau secara lafal, seruan itu memang ditujukan kepada orang-orang yang ada kala itu. Namun, secara syar’i seruan itu berlaku untuk seluruh umat yang datang sesudah zaman Rasul saw. hingga Hari Kiamat. Sebabnya, seruan itu adalah seruan risalah, sementara risalah Islam yang dibawa oleh Rasul itu diserukan untuk manusia sampai Hari Kiamat. Hal itu ditegaskan dalam firman Allah SWT:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ لِأُنذِرَكُم بِهِۦ وَمَنۢ بَلَغَۚ ١٩
Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan itu aku memberikan peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran (kepada merekaa) (QS al-An’am [6]: 19).
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ ٢ وَءَاخَرِينَ مِنۡهُمۡ لَمَّا يَلۡحَقُواْ بِهِمۡۚ ٣
Dialah Yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, mengajari mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah)—yang sebelumnya mereka itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata—serta kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka (QS al-Jumu’ah [62]: 2-3).
Lafal “lammâ yalhaqû bihim (yang belum berhubungan dengan mereka)” itu jelas mencakup orang zaman itu maupun zaman sesudahnya sampai Hari Kiamat.
Rasul saw. pun bersabda dalam riwayat Jabir bin Abdullah ra.:
وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّة …
…dan aku diutus kepada manusia seluruhnya (HR al-Bukhari no. 438, ad-Darimi no. 1328, an-Nasa’i no. 432, ath-Thabarani di Mu’jam al-Kabîr no. 6674).
Dalam riwayat Abu Umamah al-Bahili ra., Rasul bersabda:
أُرْسِلْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّة …
… dan aku diutus kepada manusia seluruhnya (HR Ahmad no. 22137 dan 22209, al-Bazar no. 8674, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 1019 dan 4267).
Rasul saw. juga bersabda:
وَبُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَأَسْوَدَ …
… dan aku diutus kepada semua (manusia) berkulit putih dan hitam (HR Muslim no. 521 dan al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 3793 dan 12709 dari Jabir bin Abdullah; Ahmad no. 21435 dan al-Bazar no. 4077 dari Abu Dzar; Ahmad no. 2256 dari Ibnu Abbas).
Seruan kepada Seorang atau Sekelompok Orang Merupakan Seruan kepada Umat Seluruhnya
Seruan kepada salah seorang dari umat secara lafal, yakni Bahasa, adalah khusus untuk orang itu. Namun, secara syar’i, seruan itu berlaku untuk umat seluruhnya secara umum. Hal itu karena umat seluruhnya sama saja dituntut dengan hukum-hukum Syariah. Itu karena merupakan seruan risalah yang ditujukan kepada umat seluruhnya. Sebabnya, Rasul saw. diutus kepada seluruh manusia hingga Hari Kiamat. Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ ٢٨
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya (QS Saba’ [34]: 28).
Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua ayat dan hadis di atas.
Selain itu, para Sahabat telah berijmak dalam berbagai peristiwa untuk merujuk pada hukum dan keputusan Nabi saw. kepada salah seorang atau sebagian dari umat. Mereka, misalnya, merujuk dalam had zina pada had yang diputuskan Rasul saw. terhadap Maiz al-Aslami dan al-Ghamidiyah. Dalam penetapan jizyah mereka merujuk jizyah yang Rasul saw. tetapkan atas Majusi Hajar. Masih banyak contoh lainnya. Itu menunjukkan bahwa hukum, yakni seruan atas salah seorang atau sekelompok orang, juga berlaku atas umat seluruhnya.
Adapun jika seruan itu khusus untuk orang yang diseru saja maka Rasul saw menjelaskan bahwa seruan itu khusus untuk dirinya saja. Contohnya Abu Burdah bin Niyar berkata, “Ya Rasulullah, aku punya kambing jadza’ah (belum genap satu tahun).” Beliau bersabda:
ضَحِّ بها, وَلَا تَصْلُحُ لِغَيْرِكَ
Berkurbanlah dengan hewan tersebut dan ini tidak boleh untuk selain dirimu (HR Muslim no. 1961, Abu Sa’id Ibnu al-A’rabi no. 2076).
Dalam redaksi lain dinyatakan:
ضَحِّ بها، وَلَنْ تُوُفِيَّ أَوْ تُجْزِئَ عَن أَحَدٍ بَعْدَكَ
Berkurbanlah dengan hewan tersebut dan ia tidak akan memenuhi atau mencukupi dari seorang pun sesudahmu (HR Abu Dawud ath-Thayalisi di dalam Musnad Abu Abû Dâwud ath-Thayalisi no. 779, Abu ‘Awanah di dalam Al-Mustakhraj Abû ‘Awânah no. 7812 dan ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Awsath no. 1158).
Misal, Abu Bakrah ra. pernah datang, sementara Rasul saw. sedang rukuk. Lalu ia rukuk sebelum sampai shaf lalu berjalan menuju shaf. Rasul saw. bersabda kepada dia:
زَادَكَ الله حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
Semoga Allah menambahmu perhatian dan jangan engkau ulangi (HR al-Bukhari no. 783, Ahmad no. 20405, 20435; Abu Dawud no. 683).
Juga pengkhususan Rasul saw. untuk Khuzaimah dengan menerima kesaksiannya seorang diri, pengkhususan beliau untuk kebolehan meratap saat wafatnya Saad bin Muadz, dan lainnya. Seandainya hukum atau seruan untuk salah seorang atau sekelompok dari umat itu berlaku umum untuk umat seluruhnya, tentu tidak diperlukan pernyataan dan penjelasan pengkhususan itu.
Atas semua itu, disusunlah kaidah bahwa seruan kepada salah seorang atau sekelompok orang berlaku untuk umat seluruhnya kecuali dinyatakan pengkhususan untuknya.
Seruan untuk Umat juga Mencakup Rasul saw.
Jika seruan kepada umat menggunakan lafal khusus, menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal itu disepakati tidak berlaku bagi Rasul saw.
Adapun jika seruan kepada umat itu menggunakan lafal umum atau mutlak, misalnya “yâ ayyuha an-nâsa”, “yâ ‘ibâd”, “yâ ibna âdam”, “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû” dan semisalnya, maka Rasul saw. juga tercakup oleh seruan itu. Sebabnya, lafal seruan itu bersifat umum dan Rasul saw. tercakup dalam keumuman maknanya. Rasul saw tercakup oleh seruan itu kecuali ada dalil yang mengeluarkan beliau dari cakupannya.
Para Sahabat juga memahami bahwa seruan kepada umat juga mencakup Rasul saw. Rasul saw. membenarkan pemahaman itu. Karena itu para sahabat meminta penjelasan ketika Rasul saw. tidak melakukan apa yang beliau seruan kepada umat.
Diriwayatkan bahwa Rasul saw. memerintahkan para Sahabat untuk mem-faskh haji dan menjadikannya umrah, tetapi beliau tidak mem-faskh. Karena itu para Sahabat berkata, “Engkau menyuruh kami mem-faskh, tetapi engkau tidak mem-faskh.” Beliau tidak mengingkari apa yang mereka pahami masuknya beliau dalam perintah itu, tetapi beliau beralih menjelaskan alasan (udzur)nya:
إِنِيّ قَلَّدْتُ هَدْيًا
Aku menuntun hewan kurban.
Imam al-Amidi menyebutkan hal itu di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm.
Dalam riwayat lain Rasul saw. ketika itu bersabda:
لَوْ أَنِيّ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ لَمْ أَسُقِ الْهَدْيَ، وَجَعَلْتُهَا عُمْرَةً، فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ لَيْسَ مَعَهُ هَدْي فَلْيَحِلَّ، وَلْيَجْعَلْهَا عُمْرَة
Andai aku telah menerima perkaraku aku tidak tinggalkan dan aku tidak menggiring hewan kurban dan aku jadikannya umrah, maka siapa saja dari kalian tidak membawa hewan kurban hendaklah bertahallul dan menjadikannya umrah (HR Muslim no. 1218, Abu Dawud no. 1905, Ibnu Majah no. 3074, an-Nasai no. 2712).
Jadi, seruan kepada umat juga mencakup seruan kepada Rasul saw., kecuali ada pengecualian atau pengkhususan beliau keluar dari seruan itu. Jika ada pengecualian atau pengkhususan maka seruan itu hanya untuk umat.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]