Takrifat

Seruan Rasul saw.

خِطاَبُ الرَّسُوْل صلى الله عليه وسلم


Ahmad bin Muhammad al-Fayyumi (w. 770 H) di dalam Mishbâh al-Munîr menyatakan, khâthaba mukhâthabat[an] wa khithâb[an] adalah percakapan antara yang berbicara dan yang mendengarkan.

Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) di dalam Mu’jam Maqâlîd al-‘Ulûm fî al-Hudûd wa ar-Rusûm menjelaskan, al-khithâb adalah ucapan yang menjadikan pendengar bisa memahami sesuatu.

Menurut Zakariya al-Anshari (w. 926 H) di dalam Al-Hudûd al-Anîfah wa at-Ta’rifât ad-Daqîqah, al-khithâb adalah pengarahan ucapan kepada orang lain untuk memahamkan. Hal yang senada dikatakan oleh Ayyub bin Musa al-Kafawi (w. 1094 H) di dalam al-Kulliyât Mu’jam fî al-Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyah.

Menurut al-Munawi (w. 1031 H) di dalam At-Tawqîf ‘alâ Muhimmât at-Ta’ârîf, al-khithâb adalah ucapan yang dengan itu orang yang diseru memahami sesuatu.

Artinya, al-khithâb dapat dimaknai seruan, yakni ucapan yang ditujukan kepada yang diseru. Dapat juga dipahami, al-khithâb adalah isi pembicaraan atau percakapan. Khithâb ini dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan.

Dari situ, khithâb ar-Rasûl saw. dapat dimaknai isi pembicaraan atau percakapan Rasul saw. Ini mencakup seruan atau ucapan yang keluar dari Rasul saw. atau yang ditujukan kepada Rasul saw. Khithâb ar-Rasûl saw. ini terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadis.

Pembahasan tentang seruan Rasul saw. (khithâb ar-Rasûl saw.) dalam konteks ushul fikih penting untuk mengetahui cakupan taklif atau hukum yang dibawa oleh seruan itu. Dalam hal ini ada tiga aspek yang dibahas: Pertama, apakah seruan kepada Rasul saw. itu juga merupakan seruan kepada umat. Kedua, apakah seruan kepada umat juga mencakup beliau, yakni menjadi seruan untuk beliau. Ketiga, apakah seruan kepada salah seorang atau sebagian dari umat juga mencakupi umat secara keseluruhan.

Ketiga pembahasan ini juga berguna, di antaranya untuk mendudukkan posisi hukum dalam hal tampak kontradiksi di antara seruan-seruan taklif atau hukum. Dengan itu dapat dipisahkan, mana hukum yang khusus untuk Nabi saw., dan mana hukum yang untuk umat.

 

Khithâb kepada Rasul saw.: Khithâb kepada Umat Beliau

Imam asy-Syawkani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menyatakan, jumhur berpendapat bahwa seruan khusus kepada Nabi saw. semisal “yâ ayyuha ar-Rasûl” atau “yâ ayyuha an-Nabiyy”, tidak berlaku umum mencakup umat kecuali dengan dalil lain dari luar lafal tersebut. Namun,  telah ditetapkan dengan ‘urf syar’iy bahwa Nabi saw. memiliki posisi teladan dan diikuti. Jadi beliau adalah qudwah. Kita diperintahkan untuk mengikuti beliau kecuali dalam apa yang ditunjukkan oleh dalil khusus atas pengkhususan beliau dengan seruan itu. Dari hal ini dipahami bahwa seruan (khithâb) kepada Rasul saw. itu mencakup para pengikut beliau secara ‘urf. Artinya, lafal semata menurut bahasa, seruan kepada Nabi saw. tidak mencakupi umat, tidak lain itu mencakup puka umat menurut al-‘urf asy-syar’iy.

Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3 menjelaskan, bahwa seruan kepada Rasul diarahkan kepada beliau dengan sifat beliau sebagai rasul dan bukan dengan sifat personalitas beliau. Artinya, itu merupakan seruan (khithâb) untuk rasul umat, dan itu merupakan seruan untuk umat, dan termasuk bersifat umum. Sama seperti seruan yang ditujukan kepada kepala negara, itu merupakan seruan kepada negara secara keseluruhan. Seruan yang ditujukan kepada pemimpin wilayah, itu merupakan seruan yang ditujukan kepada wilayah itu secara keseluruhan. Jadi sifat pihak yang diseru membuat seruannya itu termasuk redaksi umum dan bukan redaksi khusus. Berbeda seandainya seruan itu ditujukan kepada person tertentu maka seruan itu khusus untuk person itu saja.

Artinya, secara asal bahasa (wadh’[an]), seruan kepada Nabi saw. tidak termasuk redaksi bersifat umum. Namun, sifat pihak yang diseru, yakni Rasul saw., sebagai rasulnya umat, membuat seruan (al-khithâb) itu termasuk redaksi umum dan bukan redaksi khusus. Artinya, seruan yang ditujukan kepada Rasul saw. merupakan seruan kepada umat secara keseluruhan.

Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan seruan (khithâb) kepada Rasul saw. disampaikan menggunalan lafal jamak. Misalnya dalam firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡۖ ١

Hai Nabi, jika kalian menceraikan istri-istri kalian,  hendaklah kalian menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhan kalian (QS ath-Thalab [65]: 1).

 

Seruan ayat ini diawali dengan “yâ ayyuhâ an-Nabiyy” yang menunjukkan bahwa mukhâthab-nya adalah Nabi saw. dan bersifat tunggal (mufrad). Namun, seruan kelanjutannya berubah menggunakan mukhâthab jamak. Allah tidak berfirman “idzâ thallaqta an-nisâ`…”, tetapi menggunakan redaksi “idzâthallaqtum an-nisâ`”, “wa ahshû”, dan “wa ittaqûlLâha” dengan dhamir mukhâthab jamak, yakni kalian (antum). Ini menunjukkan seruan kepada Nabi saw. itu juga mencakup umat beliau.

Seruan kepada Rasul saw. merupakan seruan kepada umat beliau juga ditunjukkan oleh firman Allah SWT berikut:

فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٞ مِّنۡهَا وَطَرٗا زَوَّجۡنَٰكَهَا لِكَيۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٞ فِيٓ أَزۡوَٰجِ أَدۡعِيَآئِهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡهُنَّ وَطَرٗاۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولٗا  ٣٧

Lalu tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikan dia), Kami menikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, jika anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi (TQS al-Ahzab [33]: 37).

 

Jika hukum yang dibawa oleh ayat ini hanya khusus untuk Rasul saw. dan tidak berlaku untuk umat maka pernyataan ‘illat dalam ayat tersebut (yakni: likay lâ yakûna ‘alâ al-mu`minîn harajun fî azwâji ad’iyâ`ihim idzâ qadaw minhunna watharan) menjadi tidak ada maknanya. Hal demikian adalah mustahil. Ini menunjukkan bahwa seruan hukum kepada Rasul saw. itu juga menjadi seruan hukum untuk umat.

Selain itu, ketika seruannya khusus untuk Rasul saw. maka dinyatakan pengkhususannya untuk beliau saja. Misalnya, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِنَّآ أَحۡلَلۡنَا لَكَ أَزۡوَٰجَكَ ٱلَّٰتِيٓ ءَاتَيۡتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَ مِمَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَيۡكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّٰتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَٰلَٰتِكَ ٱلَّٰتِي هَاجَرۡنَ مَعَكَ وَٱمۡرَأَةٗ مُّؤۡمِنَةً إِن وَهَبَتۡ نَفۡسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنۡ أَرَادَ ٱلنَّبِيُّ أَن يَسۡتَنكِحَهَا خَالِصَةٗ لَّكَ مِن دُونِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۗ ٥٠

Hai Nabi, sungguh Kami telah menghalalkan bagi kamu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki, yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu. (Demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawini dirinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin (QS al-Ahzab [33]: 50).

 

Ayat ini diawali dengan seruan “yâ ayyuhâ an-Nabiyy …”. Jadi jelas secara bahasa seruan dan hukumnya ini ditujukan kepada Nabi saw. Hanya saja berikutnya ditegaskan pengkhususan seruan dan hukum itu untuk beliau saja dengan lafal “khâlishat[an] laka min dûni al-Mu`minîn”. Jika memang seruan untuk Nabi itu maknanya khusus untuk Nabi saw. saja, tentu tidak diperlukan penjelasan pengkhususan dan penjelasan pengkhususan itu menjadi tidak ada faedahnya. Yang demikian mustahil. Hal itu menunjukkan bahwa seruan untuk Nabi saw. itu juga seruan untuk umat. Dengan demikian ketika seruan hukum itu khusus untuk Nabi saw. maka perlu ada  pengkhususan untuk beliau.

Demikian juga dalam firman Allah SWT:

وَمِنَ ٱلَّيۡلِ فَتَهَجَّدۡ بِهِۦ نَافِلَةٗ لَّكَ ٧٩

Pada sebagian malam hari bersembahyang, bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagi dirimu (QS al-Isra’ [17]: 79).

 

Imam ath-Thabari di dalam Jâmi’u al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân (Tafsîr ath-Thabarî) mengutip Ibnu Abbas ra. makna “nâfilat[an] laka”, yakni “khâlishat[an] laka. Maknanya, secara nafilah bahwa itu untuk Nabi saw. khusus, dan beliau diperintahkan melakukan qiyamul lail dan diwajibkan kepada beliau.

Imam Ibnu Katsir di Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm menjelaskan makna “nâfilat[an] laka”, yakni: “Engkau dikhususkan dengan kewajiban tersebut. Jadi mereka menjadikan qiyamul lail sebagai wajib atas beliau, tidak bagi umat. Al-‘Awfiy meriwayatkan dari Ibnu Abbas, itu adalah salah satu pendapat ulama dan salah satu pendapat asy-Syafi’iy rahimahulLaah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.”

Maka dari itu, disimpulkan bahwa seruan kepada Rasul saw. merupakan seruan untuk umat beliau selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya kekhususan untuk beliau saja. Jika ada dalil yang mengkhususkan untuk Rasul saw. maka seruan itu tidak mencakup umat.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven + 2 =

Back to top button