Tarikh

Islamisasi Karawang Raya (Dari Syaikh Qura Hingga Kesultanan Islam) (Bagian 1)

Karawang Raya—yang meliputi Karawang dan sebagian Bekasi, Purwakarta dan Subang saat ini—merupakan bagian dari Bilad al-Jawi (dikenal pula dengan Nusantara, bagian terbesar dari Asia Tenggara). Dakwah Islam sampai ke Bilad al-Jawi melalui jaringan perdagangan laut yang menghubungkan Arab-Persia dengan Cina melalui India. Cirebon, Karawang dan Gresik merupakan pintu masuk utama islamisasi selain Aceh dan Malaka. Bahkan proses dakwah Islam di Cirebon dan Karawang mendahului gerakan Wali Sanga dan Kesultanan Demak Bintara. Di antara tokoh penting yang terlibat dalam islamisasi di Karawang Raya ialah Syaikh Quro atau Syaikh al-Qurra‘ Maulana Hasanuddin. Peran beliau banyak disebutkan dalam naskah Cirebonan, semisal Carita Purwaka Caruban Nagari, riwayat Pangeran Aria Cerbon dari pamannya, Pangeran Wangsakerta. Islamisasi Karawang Raya juga disebutkan dalam berbagai riwayat masyhur yang dinukil dalam naskah Kabantenan, Sajarah/Babad Banten dan naskah Banyumasan, Babad Pasir. Sumber penting lainnya ialah Piagem Kuningan Kandangsapi era Sultan Agung Mataram yang biasa dinukil di berbagai kajian sejarah Karawang.

 

Awal Mula Islamisasi: Pesantren Syaikh Qura

Syaikh Qura sampai ke Karawang Raya bersama rombongan Laksamana Cheng Ho dari Cina masa Dinasti Ming yang singgah di Champa. Beliau tiba di Tatar Sunda melalui Cirebon dan sempat menjalin hubungan baik dengan Ki Gedeng Tapa. Namun, karena tekanan penguasa Pajajaran, ia akhirnya hijrah dari Cirebon, kemudian mendirikan pusat dakwah dan pendidikan Islam di Tanjungpura, Karawang. Pada masa tersebut Cina masih memberikan kelonggaran bagi kaum Muslim, namun dengan banyak syarat yang menyulitkan, terutama keharusan untuk penyesuaian Islam dengan budaya Cina. Berbeda dengan masa sebelumnya, saat Dinasti Yuan dari Mongol berkuasa. Mereka tidak ikut campur terhadap urusan internal kaum Muslim. Bahkan cenderung mendukung. Pada masa tersebut, yakni sekitar abad ke-14 M, saudara mereka di bagian Timur, yakni Ilkhanate, Kipchak maupun Chatagai memilih Islam sebagai agama dan jalan hidup. Pada masa sebelumnya, yakni setelah kejatuhan Baghdad, pemimpin Kipchak sejak masuk Islam tak ragu untuk mendukung Khilafah Abbasiyah. ia memisahkan diri dari Mongol dan bekerja sama dengan Mamluk.

Selama di Karawang, islamisasi ala Syaikh Qura dipusatkan di mesjid dan pesantren sebagai upaya kaderisasi dakwah sekaligus menarik minat masyarakat, terkhusus melalui pendidikan al-Quran. Jejak dakwah yang masih eksis hingga saat ini berwujud Mesjid Agung Syaikh Qura Karawang. Mesjid tersebut menjadi pusat islamisasi penting dan pernah mendampingi langsung pemerintahan sebagian penguasa Karawang Raya. Capaian penting lainnya ialah lahirnya sosok Muslimah negarawan, yakni Nyai Subanglarang, putra Ki Gedeng Tapa, yang dinikahi Pamanah Rasa, dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Dari pernikahan tersebut lahir Pangeran Cakrabuana Haji Abdullah Iman, Syarifah Muda’im Nyimas Rara Santang, ibunda Sunan Gunung Jati dan Pangeran Kean Santang. Kader penting lainnya ialah sang putra, Syaikh Bentong, yang menjadi bagian dari perkumpulan para wali, penasihat kuasa di Demak dan Cirebon. Beberapa kader lain dikirim hingga ke Lemahabang, Karawang. Dapat dikatakan islamisasi Syaikh Qura merupakan pondasi utama bagi islamisasi Pakuwati Cerbon yang dilakukan Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah beserta pendukungnya di masa berikutnya.
 

Masjid Agung Syaikh Qura Karawang
 

Pengaruh Cirebon–Banten: Darul Islam Karawang Raya

Dalam banyak kajian seputar sejarah Karawang Raya sering hanya menyebutkan nukilan Kasumedangan – Mataraman, kemudian disimpulkan Karawang Raya dianggap sebagai wilayah penting dimulai sejak era Susuhunan Agung Mataram. Namun, terdapat sumber lainnya yang menyebutkan Karawang Raya, berkaitan erat dengan dakwah Islam atau jihad fi sabilillah dari Banten – Cirebon. Disebutkan dalam Sajarah/Babad Banten:

“Wus sampurna lampah raka ing Ki Emas, akeh sukuring mami, yatah kaya ngapa, ing ampah pakanira, perang kalahe Pakuwan iki, matur anembah, adhapur polahneki, sampun butul atutur – tutur dhapurnya, apahos yen kawarni, mangka Panembahan, ngaturakeun jarahan, sakehe munggeng tulis, mangka ngandika, Susuhunan Wukirjati, kaparehen tingkahe andum jarahan, ewuh beda wong kedhik, iku pandumingwang, sun watesyi kewala, Karawang watesyi iki, yen sawitannya, ngadimah Pakuwati, syakilyan Karawang punika ya, dadi ngadimahneki, putra Surasuhan, iku dadi miliknya, makaten pandume uni, sampun palasta, sawirahosing kardi”.

Terjemah:

Sudah tunai tugas Kanda kepada Ki Mas, banyak bersyukur aku, lalu bagaimana, dengan tugasmu, sehingga bisa kalah Pakuan itu, berkata menyembah, diceritakan tindakannya, sudah selesai melaporkan, panjang jika diceritakan, maka Panembahan, menghaturkan hasil rampasan, semua dicatat, maka berkata Susuhunan Gunungjati, bagaimana caramu membagi rampasan, tanpa membedakan sedikitpun, begini caraku membagi, kubatasi saja, Karawang batasnya, bahwa mengabdinya, (menjadi) bagian Pakuwati, sebelah barat Karawang itu, menjadi bagiannya, putra Surasoan, itu menjadi miliknya, demikian pembagiannya dahulu, sudah selesai semua pekerjaannya. (Bersambung)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × two =

Back to top button