Tarikh

Islamisasi Karawang Raya (Dari Syaikh Qura Hingga Kesultanan Islam) (Bagian 2)


Nukilan naskah ini merupakan kelanjutan dari riwayat seputar upaya Banten dalam melakukan futûhât ke Pakuan, Bogor, pusat kuasa Padjadjaran. Serangkaian jihad fî sabilillah dilaksanakan sejak era Maulana Hasanuddin ibn Sunan Gunung Jati. Dengan pertolongan Allah SWT, pada akhirnya negeri Pakuan berhasil dibebaskan lalu dibangun kembali sesuai dengan prinsip raharja kang nagari, anatakaken kang syareat. Pasca futûhât Pakuan dilakukan penataan wilayah antara Cirebon dan Banten, yaitu menjadikan Karawang Raya sebagai batas administrasi antara Cirebon dan Banten. Secara rinci disebutkan dalam Babad Pasir bahwa Karawang Raya diserahkan oleh Sunan Gunung Jati kepada Banyak Belanak atau Pangeran Senapati Mangkubumi dengan Udug – Udug di Karawang sebagai batas kuasanya. Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa Islamisasi Karawang terjadi sejak masa Sunan Gunung Jati. Sebagian riwayat menyebutkan Ki Gedeng Karawang atau Ratu Krawang menyatakan masuk Islam dan tunduk pada Cirebon. Hanya saja, terjadi ikhtilaf antara riwayat Kabantenan yang menyatakan futûhât Pakuan terjadi pada masa Maulana Hasanuddin dan Sunan Gunung Jati dengan riwayat Cirebonan yang menyatakan terjadi pada masa setelahnya, yakni era Maulana Yusuf dan Panembahan Ratu.

Terlepas dari beragamnya riwayat yang ada, Karawang Raya telah menjadi bagian Darul Islam sejak masa awal Kesultanan di Cirebon dan Banten. Artinya, ia bukan sekadar wilayah dakwah, namun juga negeri yang pernah diterapkan syariah Islam melalui kuasa para Sultan yang bergelar Panatagama atau Qaimuddin yang bermakna “yang menegakkan hukum-hukum agama.

Yang menarik ialah syiar jihad fî sabilillah Cirebon dan Banten sebagai penguasa Karawang Raya berkaitan erat dengan Khilafah Utsmaniyah, semisal meriam Ki Amuk Banten dan panji perang Macan Ali, yang keduanya memuat syiar Utsmaniyah: Pedang Dzulfiqar.

 

Karawang Raya: Penopang Jihad Para Wakil Khalifah Utsmaniyah

Sejak kafir penjajah Belanda berhasil mengelabui Pangeran Jayakarta, lalu mendirikan markas utama di Batavia, para penguasa Islam di Tatar Sunda dan Tlatah Jawi berupaya keras untuk mengusir mereka. Dalam perjalanannya memang terlihat seperti “konflik keras” antar kuasa Islam. Namun, dengan mengecualikan para pengkhianat semisal Amangku Rat I dan semisalnya, dapat dipahami bahwa Banten, Mataram dan masing-masing pendukungnya bertujuan untuk menyatukan negeri-negeri Islam dan mengusir kafir penjajah Belanda. Karawang Raya sebagai wilayah subur menjadi penopang utama logistik mujahidin, terutama di bidang pangan atau penyediaan makanan. Meskipun terjebak dalam “pusaran konflik”, fungsi Karawang Raya tak banyak berubah. Bahkan setelah para penguasa Islam, Karawang Raya mendapat mandat Imarah Ammah dari Khilafah Utsmaniyah melalui Asyraf Makkah sebagai Wali Hijaz, yakni Sultan Abu al-Mafakhir, Sultan Agung Hanyakrakusuma dan Sultan Ageung Tirtayasa. [Bersambung]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 5 =

Back to top button