
Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680) (Bagian Kesebelas)
Selain informasi mengenai Pangeran Tumenggung Parung, sedikit sekali data mengenai Bogor yang dapat kita jumpai dalam sumber-sumber Banten. Negara ini memang menguasai wilayah yang terbentang dari Lampung hingga Bogor. Namun, berdasarkan data-data yang tersedia dari sumber Eropa, tampak ada ketidakmerataan jumlah populasi di seluruh wilayah Kesultanan. Memang dilihat dari karakteristiknya, Kesultanan Banten adalah negara maritime. Karena itu pembangunan lebih banyak diarahkan di pesisir. Bogor yang terletak di pedalaman pastinya tidak akan mengalami pembangunan yang sama seperti kota-kota pelabuhan. Sumberdaya manusianya pun, terutama yang bersedia memeluk Islam, kemungkinan lebih banyak direkrut bagi kepentingan pembentukan dan memperkuat tentara Banten. Ini wajar. Pasalnya, pemindahan penduduk dari daerah yang di-futûhât ke ibukota pihak yang menang kadang menjadi salah satu tujuan perang.1
Ibukota Kesultanan di Banten Lama terlalu padat penduduk dengan angka mencapai 200.000 jiwa pada tahun 1682.2 Karena itulah, Sultan Ageung Tirtayasa menginisiasi proyek-proyek pembangunan di luar ibukota Banten Lama dengan memindahkan sangat banyak penduduk ibukota ke wilayah-wilayah yang kekurangan penduduk. Salah satu proyek yang beliau bangun adalah penggalian terusan dari Sungai Tanara (Cidurian) ke Sungai Untung Jawa (Cisadane) yang mulai dikerjakan dari tahun 1659. Terusan yang dibuat itu ditujukan untuk menghubungkan Ibukota Kesultanan dengan pedalaman Pandeglang melalui Sungai Cidurian dan pedalaman Bogor melalui sungai Cisadane.97
Kebijakan pembangunan ekonomi dilakukan Sultan Ageung Tirtayasa dalam hal; (1) pemerataan populasi; (2) penghubungan koneksi wilayah pesisir-pedalaman. Ini tentu menjadi salah satu faktor mengapa Banten bisa mencapai puncak kejayaannya di era beliau.
Sejak masa Sultan Abû’l-Mafâkhir hingga Sultan Ageung Tirtayasa, pergolakan hebat terjadi di Pulau Jawa karena visi ekspansionis tiga kekuatan utama di pulau ini: Banten, Mataram dan VOC Belanda. Mereka saling berebut pengaruh dengan dorongan motivasi yang berbeda-beda. Mataram, berkat ide keagungbinataraan Sultan Agung Hanyokrokusumo, mengukuhkan bahwa hanya boleh ada satu penguasa di Pulau Jawa. Menurut dia, “Siapa saja yang tidak taat kepada Raja, kepada perintah sang Raja, sama saja dengan menentang kehendak Yang Maha Agung (Sapa tan anut ing Gusti, mring parentahe sang katong, aprasasat mbadal ing karsa Hyang Agung).”3
Akan tetapi, Sultan Ageung Tirtayasa dari Banten tidak bisa begitu saja tunduk kepada Pemerintahan Mataram. Pasalnya, sebagaimana perkataannya sendiri, “Aku tidak akan mau takluk kepada Mataram. Rajaku hanyalah Kanjeng Sultan (Syarîf) Zayd di Makkah (Ora yen isun arepa, taluk maring Mataram, among to lah ratunisyun, Kanjeng Sulthan Jahed Mekah)”.
Jadi, ketika Sultan Agung Mataram menuntut ketundukan Banten kepada dirinya, Sultan Ageung Banten sudah terlebih dulu memberikan kesetiaan kepada Syarîf Zayd bin Muhsin, Gubernur Khilafah ‘Utsmaniyah di Hijaz. Kesetiaan kepada otoritas Makkah yang mewakili Khilafah tidak bisa diganti begitu saja dengan kesetiaan kepada Mataram.
Di luar pihak Banten dan Mataram, VOC di Batavia punya niat tersendiri untuk mencari celah menguasai Jawa. Dalam suratnya kepada Heeren XVII, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterzoon Coen berkata, “Perdagangan di Hindia dapat dilakukan dan dijaga dengan peperangan serta sokongan persenjataan dari Anda … Selain itu, tidak akan ada perdagangan tanpa peperangan dan peperangan tanpa perdagangan.”5
Alhasil di sepanjang abad ke-17, Bogor yang di sebelah baratnya ada Banten, sebelah utaranya ada Batavia, dan sebelah timurnya ada Mataram melalui Priangan terhimpit oleh motivasi tiga kekuatan tersebut yang saling mendorong satu sama lain. Ada beberapa catatan yang menjelaskan para pemimpin Bogor (baik di wilayah Kota atau Kabupaten hari ini) sempat berpindah loyalitasnya kepada Mataram. Namun, karena manajemen disiplin militer Sultan Agung Mataram sangat keras, banyak pemimpin Bogor dan daerah Priangan yang menarik kesetiaannya dari Mataram.6 Ini seperti kasus Dipati Ukur yang terkenal. Beberapa bangsawan Bogor yang berkuasa di Jasinga, Parung (sekitaran Situ Lebak Wangi), dan Kuripan (Ciseeng) menyatakan kesetiaannya kembali kepada Banten.7
Apalagi ketika Sultan Agung Mataram wafat pada 1645, lalu digantikan oleh anak dan cucu penguasa terbesar Mataram tersebut yang berbeda 180 derajat kepribadiannya. Betapa populer kisah kekejaman Amangkurat I dan keberpihakan kepada kafir VOC yang juga ditunjukkan penggantinya, Amangkurat II. Sultan Ageung Tirtayasa sampai heran dan menulis surat kepada Amangkurat II, kemudian menuduh dia “bukan Muslim maupun Kristen, melainkan sesuatu di antara keduanya.”8
Perbedaan ideologi antara Banten dan Mataram ini tentu berpengaruh pada cara berpikir dan standar loyalitas pihak-pihak di bawah mereka. Sebagai gambaran, mari kita simak korespondensi antara seorang komandan Banten, Kiai Aria Suradimarta, kepada Bupati Indramayu yang memihak Mataram, Kiai Ngabehi Wira Lodra. Surat mereka masing-masing dibaca intel VOC dan dimuat dalam Dagregister bertanggal 7 Desember 1679, sebagai berikut:
“Surat ini dari Kiai Aria Suriadimarta, pembawa surat ini Wantar dan Sayuti, kepada Kiai Wira Lodra. Saya ingin bertanya kepada Tuan, apakah Tuan seorang yang beragama Kristen atau seorang Muslim? Apakah Tuan akan mendengar perintah Allah, atau perintah Kristen? Juga apakah Tuan akan menjadi seorang pemeluk Kristen, lalu (siapa) yang akan Tuan perangi? Jika Tuan tetap menjadi seorang Muslim, maka akankah tetap menjadi Muslim?”
Balasannya:
“Surat ini dari Kiai Ngabehi Wira Lodra untuk Kiai Aria Suriadimarta. Tuan sudah mengirim surat kepada saya melalui kurir Sayuti dan si Wantar. Dalam surat itu Tuan bertanya siapa saya. Bahwa, saya tahu hanya satu raja, yaitu Susuhunan Amangkurat. Beliaulah raja saya, yang saya ikuti dan kepada dia saya tunduk. Bergantung kepada Tuan, mengapa Tuan datang ke sini: Saya menunggu Tuan kapan pun. Mengenai pertanyaan Tuan bahwa saya akan menjadi seorang Kristen, tentu itu jauh dari kebenaran. Namun, bahwa Mataram dan Kompeni adalah satu; Kompeni datang membantu raja saya.”9
[Bersambung]
Catatan kaki:
- Mumuh Muhzin Z., Kota Bogor, 40-41.
- Sebagai perbandingan, jumlah keseluruhan penduduk dari bagian Jawa di Banten tahun 1814 berjumlah 231.000 jiwa. Dan di tahun 1682 sebelumnya, 200.000 penduduk hanya tinggal di Banten Lama! Lihat: Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, 178. 97Ibid, 156-157.
- Sudibyo, “Berkaca di Cermin yang Retak: Tipe Kepemimpinan Jawa dan Melayu Menurut Babad dan Hikayat”, Manuskripta, Vol. 6 No. 1 (2016), 97-98.
- Sajarah Banten, Pupuh Asmarandana (no. LIII) bait 5, 258. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 405.
- Piet Hagen, Perang Melawan Penjajah: Dari Hindia Timur Sampai NKRI 1510 – 1975, Penerjemah Fajar Muhammad Nugraha, (Depok: Komunitas Bambu, 2022), 89.
- Mumuh Muhzin Z., Kota Bogor, 53-54.
- Mufti Ali, Aria Wangsakara Tangerang: Imam Kesultanan Banten, Ulama-Pejuang Anti Kolonialisme (16151681), (Pandeglang: Yayasan Bhakti Banten dan Pemkab Tangerang, 2019), 13-14.
- Ibid, 66.
- Ibid, 179-180.