Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Kedelapan)
Anaknya kini melanjutkan kepemimpinan Dâr al-Islâm Banten: Maulana Yusuf. Pada awal masa pemerintahannya Maulana Yusuf lebih berfokus untuk mengonsolidasikan kekuatan internal negaranya di Banten. Sajarah Banten mengenang Maulana Yusuf sebagai penguasa yang “membangun kota benteng dari batu bata dan karang” (gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis) di pusat Ibukota Banten. Kerja pembangunannya yang lain adalah membuka pemukiman penduduk, mengumpulkan persenjataan besar, membangun sawah ladang, sistem irigasi, dan bendungan.1
Meski demikian, beliau tetap berkewajiban menuntaskan apa yang telah dimulai ayahnya dan diamanatkan kakeknya. Walau sudah sangat melemah, Ibukota Pajajaran di Pakuan belum kunjung dibebaskan. Maka dari itu, sebagai pukulan terakhir, Maulana Yusuf mempersiapkan angkatan bersenjata sekali lagi untuk memenuhi wasiat Sunan Gunung Djati dan usaha Panembahan Hasanuddin sebelumnya: futûhât total Kota Pakuan.
Pemberangkatan pasukan dari Banten Lama dilakukan pada 1 Muharram tahun Alip, dengan sangkala (angka tahun yang disusun dalam kata-kata Jawa bernilai angka) bumi rusake iki, dinilai Djajadiningrat sebagai tahun 1579 Masehi,2 alias Muharram 987 Hijrah.
Pasukan Islam berjalan terus dipimpin Maulana Judah. Ia senantiasa menyemangati tentara Banten dengan meneriakkan, “Hayyâ bismilLâh!” Beliau juga terus melafalkan doa, “BismilLâhi’r-Rahmâni’r-Rahîm lâ hawlâ wa lâ quwwata illâ bilLâh al-‘aliyy’il-‘azhîm.” Setelah itu menegaskan makna doanya, “Itulah niatnya orang yang hendak SabîlulLâh Ta’âlâ.3
Rombongan pasukan berhenti di sebuah tempat yang disebut “Parungsiaji” (Parung?). Di sana mereka mendirikan pesanggrahan (tempat peristirahatan, basecamp pasukan). Setelah itu Maulna Yusuf mengadakan rapat militer di sana sebelum menyerang Pakuan.
Ki Jong Jo, mualaf Sunda yang menjadi teman setia Almarhum Maulana Hasanuddin memulai pembicaraan. Menurut redaksi Hikayat Hasanuddin, dia berkata, “Tuanku, patik pinta biar patik amuk dan patik bawa ra’yat lima ratus, dan nanti patik masuk mengamuk dari dalam, serta patik bakar waktu tengah malam.”
“Dari mana jalan yang boleh masuk?” Tanya Maulana Yusuf.
“Dari pintu sebelah kidul (selatan),” jawab Ki Jong Jo, “karena yang menunggu pintu sebelah kidul itu saudara patik.”
Sajarah Banten menerangkan bahwa saudara Ki Jong Jo yang masih mengabdi ke Pajajaran menyimpan sakit hati kepada Nusiya Mulya karena perkara jabatan. Ki Jong Jo bermaksud memanfaatkan konflik internal itu untuk membuka gerbang benteng Pakuan secara diam-diam, kemudian memulai serangan kejut di tengah malam dengan 500 orang pasukannya.
“Sebagai … (tambahan) Tuanku, apakala jaya perang kita ini, patik minta ra’yat patik supaya bolehlah kiranya Tuanku merdahekaken padanya,” pinta Ki Jong Jo sopan. Ia mengharapkan bahwa futûhât Islam yang diagendakan Banten benar-benar akan membawa pembebasan sejati bagi masyarakat Pakuan.
“Insyâ’ AlLâhu Ta’âlâ.” Demikian Maulana Yûsuf menjamin.4
Untuk jalannya peperangan, mari kita simak penuturan yang diriwayatkan Sandimaya dalam Sajarah Banten:
Maka tersebutlah, sekarang sudah tengah malam. Maka Ki Jong Jo memberi aba-aba menyerbu kota (ketika) saatnya tengah malam. Gempar orang dalam kota karena tidak diketahui masuknya. Ki Jong Jo bermaksud mengamuk bersama pembantunya (yang berjumlah) lima ratus orang tadi. Ramai orang yang berperang saling merobohkan, mereka berebut hidup, yang cepat (menyelamatkan diri) ke hutan, yang terkejar (pasti) mati. Tersebutlah rajanya, Sang Prabu Seda (Nusiya Mulya) dan Pucukumun (?), (dan) Prabu Alengleng Dang Kakaleng (?) itu, musnah tidak diketahui lagi. Kalau menurut ceritanya, mereka menjadi sanghyang (pramunggu, makhluk halus), hilangnya tidak diketahui.5
Maulana Yusuf sangat terbantu dengan strategi serangan kejut Ki Jong Jo pada tengah malam yang gelap gulita. Setelah Ki Jong Jo membuat kegemparan di dalam benteng Pakuan, Ki Jong Jo membuka gerbang benteng dari dalam. Masuklah pasukan Maulana Yusuf dan Maulana Judah ke benteng Pakuan dalam serangan malam. Pertempuran terus berlangsung sampai subuh. Ketika matahari terbit, seisi kota sudah takluk oleh pasukan Islam. Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak yang tertancap selama ribuan tahun itu menyaksikan sejarah baru di kaki gunungnya: Bendera Islam berkibar diiringi semburat teduh mentari pagi di Dayeuh Pakuan. Raja terakhir Pajajaran, Nusiya Mulya, yang menurut Sajarah Banten menghilang entah kemana, dikabarkan pergi ke Pulosari dan mencoba mendirikan kekuasaannya kembali. Danasasmita menduga Nusiya Mulya berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes di lereng Gunung Pulosari.6
Namun usahanya sia-sia. Dia tidak diakui lagi sebagai raja dan meninggal dalam kesendirian di tengah hutan.
Siyâsah Syar’iyyah Banten atas Bogor
Kita harus mengakui, sumber-sumber yang menjelaskan kondisi Pakuan (Bogor) di era Kesultanan Banten sangat minim. Tidak sebanyak tuturan kondisinya pada Pakuan era Pajajaran atau Buitenzorg era kolonialisme Belanda. Zaman awal Islam di Bogor seolah “dilompati” begitu saja. Dari sini agak dimaklumi kalau banyak narasi yang melupakan kepengaturan Islam Banten atas Kota Pakuan semenjak di-futûhât Maulana Yusuf rahimahulLâh. Dinarasikan, Pakuan seolah menjadi kota terlantar yang ditutupi hutan belukar setelah dibebaskan untuk Islam. Gerakan futûhât kota ini oleh Banten bahkan disalahpahami sebagai “gerakan penghancuran” Pakuan dengan niat “menjajah” dan “pembumihangusan” budaya Sunda yang adiluhung.7
Dari segi motifnya saja, banyak sekali narasi yang tidak benar-benar memahami niat perebutan Pakuan (Bogor) oleh pasukan Islam pimpinan Banten. Bagi penulis Carita Parahiyangan yang sedari awal memang berpihak kepada Padjadjaran, penyerangan Banten dianggap bencana: “Lalu datang perubahan. Budi tenggelam di dalam nafsu, datang bencana dari Islam.” (Tembey datang na prebeda. Bwana alit sumurup ring ganal, metu sang hara ti Selam).8
Sejarahwan Barat yang mencoba menafsirkan kejadian ini pun gagal memahami motif Banten. Perhatikan tafsiran de Graaf dan Pigeaud: “Mungkin mereka merasa penyaluran hasil bumi ke kota pelabuhan, guna usaha perdagangannya, terancam. Mungkin juga harapan untuk mendapat banyak rampasan perang merangsang semangat tempur mereka.”9
Padahal dua sejarahwan Belanda ini juga menggunakan sumber-sumber pribumi untuk menyusun karya mereka. Namun, mereka enggan dan tidak tertarik untuk melampirkan ungkapan islami dari sumber-sumber tesebut yang melatarbelakangi pembebasan Pakuan. Alih-alih mengungkap motif dakwah dan jihad, mereka malah menyerahkannya pada dunia “perkononan” dan menerka-nerkanya ke maksud ekonomi nan kapitalistik.
Dilansir dari Hikayat Hasanuddin, Maulana Judah selaku salah satu komandan pasukan Banten di samping Maulana Yusuf, tatkala memimpin perjalanan pasukan dari Banten ke Pakuan, senantiasa membaca doa yang selalu diaminkan tentaranya. Setelah berdoa, Maulana Judah tegas menyatakan: “Itulah niatnya orang yang hendak SabîlulLâh Ta’âlâ” (ikilah Sabilullah).10 Atau dalam redaksi Sajarah Banten, “Kita (akan) berjihad akbar” (kita sabilulullah agung).11
Warga Banten sangat memahami apa makna “SabîlulLâh” yang sebenarnya adalah kependekan dari Jihâd fî Sabîlillâh (Jihad di jalan Allah). Sandimaya, seorang sesepuh yang menuturkan seluruh isi naskah Sajarah Banten kepada Sandisastra – penulis naskah tersebut, “menuturkan tatacara Perang Sabil” (tutur parnataning sabil).
Merujuk pada zaman Nabi saw., jihad itu hukumnya ada dua, “pardlu kipayah” (fardhu kifâyah, wajib secara komunal) dan “pardlu ngen” (fardhu ‘ayn, wajib secara individu). “Artinya itu begini, dik” (tegese yayi mangkana), Sandimaya menjelaskan, “Jika ada orang kafir yang tinggal bersama (di suatu tempat), (itu) menjadi kifâyah. (Namun) jika orang kafir yang mendatangi, (menjadi) fardhu ‘ayn.” (lamon ana kang wong kapir, ing padha enggon sanunggal, dadya kipayah sireki, yen wong kapir tekani, dadi pardlu ngen punika).12
Pemahaman ini sangat sesuai dengan hukum jihad dalam fikih Islam, yang menerangkan “jihad ofensif” hukumnya fardhu kifâyah, sedangkan “jihad defensif” hukumnya fardhu ‘ayn. [Bersambung]
Catatan Kaki:
1 Sajarah Banten, Pupuh Sinom (no. XXII) bait 3, 118. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 288.
2 Sajarah Banten, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 17, 113. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 284; Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 145146.
3 Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 52.
4 Ibid, 54; Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XXI) bait 5-7, 114. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 285.
5 Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XXI) bait 9-11, 114-115. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 285-286.
6 Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 80.
7 Barangkali, yang pertama kali menyebarkan narasi ini adalah J. Faes, sejarawan Belanda yang mengarang buku Geschiedenis van Buitenzorg, ditulis tahun 1902. Secara “brutal” dan tanpa dasar, Faes mengungkapkan bahwa Banten “menghancurkan kerajaan (Pajajaran) dan penduduknya dibunuh atau diusir” (het geheel rijk verwoest en de bevolking vermoord of verdreven werd). Lihat: J. Faes, Geschiedenis van Buitenzorg, (Batavia: Albrecht & Co, 1902), 1. Dikutip dari Mumuh Muhzin Z., Kota Bogor: Studi Tentang Perkembangan Ekologi Kota Abad ke-19 sampai Abad ke-20, (Tesis: Universitas Gadjah Mada, 1994), 40.
8 Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 177.
9 H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, 208.
10 Jan Edel (ed.), Hikajat Hasanoeddin, 52-53.
11 Sajarah Banten, Pupuh Kinanthi (no. XIX) bait 15, 113. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 283.
12 Ibid, Pupuh Sinom (no. LXVI) bait 3-4, 312-313. Ibid, 450.