Tarikh

Visi Politik Sultan Aceh (2)

Jika kita bertandang ke makam Sultan Manshur Syah di Komplek Bapperis Banda Aceh, kita akan mendapati makamnya yang paling besar dibandingkan makam-makam lain yang ada di sana. Terpahat pula epitaf beraksara Arab di kepala makamnya. Dipahat dengan gaya “anyaman tikar” yang rumit, namun indah sekali. Pada kenyataannya, beliau adalah Sultan Aceh terakhir yang namanya diabadikan dalam tradisi pahat batu nisan Aceh. Pasalnya, setelah ia wafat, Aceh terjun dalam situasi perang melawan Belanda yang menyebabkan kondisi kesultanan tersebut sangat kacau dan tak menentu.

Sebelum itu, kuasa Sultan Manshur Syah masih sangat independen dan berdaulat sehingga nilai peradaban Islam di Aceh dapat terjaga dengan baik.

Hâdzâ al-qabru maulânâ malik al-mukarram al-mu’azhzham mahalli al-man’am sayyidunâ” (Inilah kubur tuan kami, raja yang mulia lagi agung, yang mengesahkan dan memberikan anugerah, penghulu kami). Begitu kalimat pembuka yang menggelari tokoh yang bernama: “Sri Paduka Sulthan ‘Ala’uddin Manshur Syah Zhillullah fi al-‘Alam”.

Khalladallâhu sulthânahu wa mulkahu wa ‘amma fadhlahu wa sya’nahu”. Terzikir sekalimat doa yang mengakhiri nama Sultan Manshur Syah, “Semoga Allah mengekalkan kesultanan dan kerajaannya, dan meluaskan kebaikan serta perihalnya.”

Salah satu inskripsi di pusara Sultan Manshur Syah bertuliskan shalawat panjang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Menurut pembacaan Teungku Taqiyuddin Muhammad, itu berasal dari rangkaian shalawat yang digubah oleh Sayyid Nuruddin asy-Syuni dalam Mishbah azh-Zhulam, dan Sayyid ‘Abdul Qadir al-Jailani dalam ash-Shalah al-Kubra. Shalawat itu kemudian dinukilkan oleh Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitabnya, Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat. Termaktub pula di pusara Sultan Manshur Syah sebuah untaian kalimat indah:

حبب فتى السنية لك عسبان التي يفرع تاريخها من تلك الهجرة العالية الشريفة المحمدية

Pemuda yang lahir dari rahim wanita terhormat yang engkau sunting sangat menyukai pelepah-pelepah kurma yang sejarahnya bercabang dari hijrah Muhammad yang mulia dan tinggi itu.

 

Secara sekilas, kalimat ini terlihat seperti sekadar ungkapan kata-kata yang hendak menggambarkan Sultan Manshur Syah sebagai “pemuda yang lahir dari rahim wanita terhormat yang engkau sunting, sangat menyukai pelepah-pelepah kurma” (habbaba fatâ as-saniyyah laka ‘usbân). Apa arti dari ungkapan tersebut? Sejatinya, ungkapan ini bermaksud mengungkapkan kapan tahun wafat Sultan Manshur Syah, karena kalimat ini diakhiri dengan ungkapan, “yang sejarahnya bercabang dari hijrah Muhammad yang mulia dan tinggi itu”. Kita tidak akan bisa mengungkap tahun wafat Sultan Manshur Syah yang tertera dalam epitaf makamnya jika tidak menggunakan metode Hisab al-Jummal (sistem bilangan abjad), yakni sebuah sistem angka yang menggunakan ke-28 abjad Arab untuk melambangkan nilai-nilai numerik. Maka dari itu kalimat:   memiliki nilai numerik sebagai berikut:

 

Semua nilai yang terkandung dalam semua abjad Arab dalam kalimat tersebut, jika dijumlahkan, akan menghasilkan angka 1286, “yang sejarahnya bercabang dari hijrah Muhammad”.

Maka dari itu, dari kalimat ini bisa disimpulkan bahwa Sultan Manshur Syah wafat pada tahun 1286 Hijriah. Bertepatan dengan tahun 1869 Masehi.1 Dalam pengungkapan tahun wafat untuk orang hebat ini saja, warga Kesultanan Aceh dapat merangkai Hisab al-Jummal dalam sebuah ungkapan yang sangat indah dan tepat. Betapa tingginya tingkat intelektual, cita rasa bahasa dan kemampuan sastra Arab di kalangan warga Aceh pada masa Sultan Manshur Syah berkuasa.

 

Aksi Politik Sultan Manshur Syah

Sultan Manshur Syah yang lahir dengan nama Tuanku ‘Ibrahim merupakan anak dari Sultan Jauhar al-‘Alam Syah bin Sultan Muhammad Syah (k. 1786-1823), seorang penguasa Aceh keturunan Bugis yang trahnya bergelar ‘Ala’uddin. Ketika Tuanku ‘Ibrahim masih kanak-kanak, ayahnya, Sultan Jauhar al-‘Alam Syah, wafat pada 1823, dan takhta beralih kepada anaknya yang lain, Tuanku Dawud, yang setelah berkuasa bergelar Sultan Muhammad Syah (k. 1823-1838). Selama masa kepemimpinan saudaranya ini, Tuanku ‘Ibrahim sudah banyak berlatih sebagai negarawan dan berperan aktif dalam menegakkan peraturan Islam dan kesultanan. Kecakapannya inilah yang akhirnya terpakai dengan efektif ketika ia sah diangkat sebagai sultan pada tahun 1838, dan mendapat gelar Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah.

Pada saat yang bersamaan, keuntungan fantastis yang penjajah Belanda dapatkan dari Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) membuat negara kolonial lain seperti Inggris meneteskan air liurnya. Sepanjang abad ke-19 Inggris mengungguli Belanda dalam hal kekuatan maritim dan perdagangannya di Selat Malaka. Pendirian Penang (1786) dan Singapura (1819) oleh Inggris menyebabkan hubungan perdagangan Inggris dengan Sumatera semakin bertambah luas. Untuk menghindari terjadinya konflik Inggris-Belanda di Selat Malaka, kedua pihak mengukuhkan Perjanjian London pada 1824 untuk membagi kue kekuasaan di antara mereka; Semenanjung Malaya untuk Inggris dan Sumatera untuk Belanda.2

Dalam perjanjian tersebut, posisi kesultanan Aceh dibiarkan menggantung. Sadar bahwa kedaulatan negaranya dijadikan bulan-bulanan oleh Inggris dan Belanda, Sultan Manshur Syah memperkuat patroli atas perairan Sumatera dan memblokade semua kemungkinan infiltrasi pengaruh asing dari kapal-kapal dagang Inggris, Belanda, Amerika dan Italia.3

Pemerintah Batavia, dengan berlandaskan Perjanjian London 1824 menganggap manuver Aceh sebagai aktivitas perompakan dan merasa wajib untuk melindungi pelayaran internasional.4

Perang urat syaraf pun terjadi. Baik pihak Belanda maupun Sultan Manshur Syah saling menggalakkan aksi diplomatik untuk menunjukkan hegemoni siapa yang paling besar. Belanda berhasil membujuk beberapa sultan di Sumatra Timur untuk bersahabat dengan Belanda, namun dengan cepat Sultan Manshur Syah berhasil memutus ikatan Belanda dengan sultan-sultan tersebut untuk kembali taat pada kepemimpinan Aceh. Demi itu semua, Sultan Manshur Syah mengerahkan armada sebesar 200 kapal perang untuk menyambangi sultan-sultan di Sumatera Timur seperti di Langkat, Deli, Serdang, Asahan, sampai Batubara untuk mengesahkan mereka sebagai “Wazir Sultan Aceh”.5

Bahkan menurut peta Asia Tenggara yang digambar oleh Sayyid Muhammad Ghauts, utusan Sultan Manshur Syah yang dikirim ke Khilafah ‘Utsmaniyyah pada tahun 1850, gelar “Wazir Sultan Aceh” tidak hanya diberikan kepada sultan-sultan di Sumatera Timur, tetapi juga kepada seluruh penguasa Islam (bahkan non-Islam yang anti-Belanda) se-Asia Tenggara, yakni: Minangkabau, Selangor, Kedah, Pattani, Kelantan, Trengganau, Pahang, Banjar, Bone, Semarang dan Bali.6

Ini semua menunjukkan, betapa luasnya jaringan diplomasi dan kekuasaan Kesultanan Aceh di bawah pimpinan Sultan Manshur Syah. Ia menghendaki persatuan atas dasar keadilan dan hak hidup dalam kemerdekaan. Semuanya itu, Sultan Manshur Syah yakini, hanya akan terwujud dalam bingkai Ummah Islamiyyah, dengan beliau sebagai pemimpinnya di Asia Tenggara, yang mendapat otorisasi resmi dari Khilafah ‘Utsmaniyah; sebagaimana yang akan kita lihat lebih lanjut. [Bersambung] [Nicko Pandawa]

 

Catatan kaki:

1        Taqiyuddin Muhammad, Tokoh Pemersatu Islam di Asia Tenggara, https://www.mapesaaceh.com/2015/09/tokoh-pemersatu-islam-nusantara.html

2        M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Penerjemah Dharmono Hardjowdjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), 216-217.

3        M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013), 174.

4        Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Penerjemah Samsudin Berlian, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), 357.

5        Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid pertama, (Medan: Waspada, 1981), 550.

6        Baþbakanlýk Osmanlý Arþivi (BOA), Ýrade *ariciye Evra3ý (Ý.HR), 73/3511.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 5 =

Back to top button