FikihTsaqafah

Hadis Ahad Wajib Diamalkan

Soal:

Hadis paling agung dalam akidah merupakan hadis ahad, yaitu hadis yang di dalamnya Jibril datang bertanya kepada Rasulullah saw. Di dalamnya beliau bertanya, “Tahukah kalian, siapa penanya itu?” Para Sahabat berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajari  kalian agama kalian.” (HR al-Bukhari).

Ini adalah khabar/hadis ahad dalam akidah. Lalu mengapa hadis tersebut kita tolak?

 

Jawab:

Pertama: Tampaknya Anda belum memahami jawaban yang kami keluarkan pada tanggal  09/10/2022 seputar penilaian hadis sebagai dalil dalam hukum-hukum syariah. Anda belum paham benar. Kami tidak mengatakan bahwa khabar ahad itu ditolak. Bahkan kami mengatakan wajib mengamalkan khabar ahad. Namun, khabar ahad tidak dinilai sebagai dalil yang qath’i dalam akidah. Artinya, kita tidak berdalil dengan hadis ahad dalam perkara akidah. Sebabnya, hadis ahad adalah zhanni. Akidah tidak diambil dengan zhann (dugaan). Ini bukan perkara yang diada-adakan (bid’ah), tetapi tertera di Kitabullah. Banyak ayat yang di dalamnya Allah SWT mencela orang-orang yang mengambil akidah dengan zhann (Lihat, misalnya: QS an-Najm [53]: 23; QS an-Najm [53]: 27-28; QS Yunus [10]: 36; QS Ghafir [40]: 35; QS al-An’am [6]: 81 dll).

Ayat-ayat ini gamblang dalam mencela orang yang mengikuti dugaan (azh-zhann), dan gamblang dalam mencela orang yang mengikuti tanpa sulthân, yakni tanpa dalil yang qath’i. Celaan dan ancaman terhadap mereka merupakan dalil atas larangan yang tegas dari mengikuti dugaan (zhann), dan menunjukkan larangan yang tegas (nahy[un] jâzim[un]) dari mengikuti apa saja yang tidak didasarkan pada dalil qath’i.

Karena ayat-ayat ini terbatas pada akidah maka semua itu khusus tentang akidah. Semua ini menunjukkan dengan penunjukan yang qath’i (dalâlah qath’iyyah) bahwa akidah wajib tegak di atas dalil yang qath’i. Jika tidak maka tidak dinilai. Sebabnya, tidak boleh dalil akidah itu zhanni.

Ayat-ayat itu menunjukkan dua perkara: Pertama, tidak boleh i’tiqaad dengan dalil zhanni, yakni apa yang ditunjukkan oleh ayat-ayat zhann. Kedua, wajib tegak dalil qath’i atas akidah sehingga menjadi akidah, yakni yang ditunjukkan oleh ayat-ayat as-sulthân al-mubîn. Ini berkaitan dengan akidah.

Adapun hukum-hukum syariah boleh dalilnya zhanni. Tidak disyaratkan dalilnya harus qath’i. Telah ditetapkan dengan nas al-Quran al-Karim bahwa keputusan diputuskan dengan kesaksian dua orang saksi. Rasulullah saw. memutuskan dengan kesaksian seorang saksi dan sumpah pemilik hak; lalu memutuskan dengan kesaksian seorang wanita dalam masalah persusuan. Semua ini adalah khabar ahad.

Ber-istidlaal dengan khabar ahad dalam memutuskan hukum adalah semisal dengan menerima kesaksian dan memutuskan dengan kesaksian. Semua ini berkaitan dengan amal, yakni dalam hukum syariah.

Para Sahabat ridhwaanulLâhalayhim menerima ucapan seorang utusan dalam hal penginformasian kepada mereka tentang hukum syariah, seperti perintah menghadap kiblat (HR Muslim). Demikian juga terkait pengharaman khamr (HR al-Bukhari).

Semua itu membuat tidak ada syubhat (keraguan) bahwa dalil zhanni boleh digunakan untuk ber-istidlaal atas hukum syariah.

Sesungguhnya di antara nikmat Allah SWT adalah bahwa Allah telah melarang kita mengambil akidah dengan zhann dan Allah menjadikan akidah harus didasarkan pada dalil qath’i. Dengan itu  umat berhimpun di atas akidah Islam tanpa perbedaan pendapat. Akidah menjadi bersih dan murni tanpa adanya di antara kaum Muslim saling mengkafirkan saudaranya sesama Muslim karena perbedaan pendapat keduanya dalam hadis zhanni tentang akidah. Hal itu karena perbedaan pendapat dalam akidah bisa menjadi jalan untuk kufur. Berbeda dengan hukum syariah yang disandarkan kepada hadis-hadis ahad. Perbedaaan pendapat dalam hukum syariah tidak akan menjadi jalan kekufuran. Siapa yang berpendapat tentang kebolehan al-muzâra’ah karena dia memiliki hadis-hadis ahad yang shahih tidak akan mengkafirkan orang yang berpendapat tentang keharaman al-muzâra’ah karena dia memiliki hadis-hadis ahad yang shahih. Dengan demikian boleh mengamalkan yang qath’i dan zhanni dalam hukum syariah, tetapi terlarang mengambil yang zhann dalam akidah karena akidah wajib diambil dari dalil yang meyakinkan (qath’i).

Kedua: Hadis ahad tidak diambil sebagai dalil dalam akidah ini dinyatakan oleh para fukaha. Imam Abdurrahim bin al-Hasan bin Ali al-Isnawi asy-Syafi’iy, Abu Muhammad, Jamaluddin (w. 772 H) mengatakan di dalam kitabnya, Nihâyah as-Sûl Syarhu Minhâj al-Wushûl, “Ketahuilah bahwa ungkapan dalil-dalil itu merupakan jalan keluar bagi  banyak perkara ushul fikih seperti keumuman, khabar ahad, qiyas dan istishhâb, dan lainnya. Para ulama ushul, meskipun berpendapat tentang kebolehan mengamalkan semua itu, mereka tidaklah memiliki dalil-dalil untuk fikih. Yang ada adalah amârah. Sebabnya, menurut mereka dalil tidak disebutkan kecuali atas yang dipastikan (al-maqthû’ bihi).”

Jadi para ulama ushul tidak menilai dalil-dalil fikih, yakni dalil-dalil hukum syariah, sebagai dalil. Mereka menilai itu hanya sebagai amârah (tanda) atas hukum syariah. Hal itu karena dalil-dalil zhanni tidak dinilai sebagai dalil menurut mereka, tetapi dinilai sebagai amârah. Menurut mereka, dalil tidak disebutkan kecuali atas apa yang dipastikan. Jadi dalil-dalil ushuluddin wajib qath’i. Begitulah sebagaimana dikatakan oleh Imam asy-Syathibi (w. 790 H) di dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât, “Sungguh ushul fikih dalam Islam itu bersifat qath’i, bukan zhanni…Andai boleh menjadikan dalil zhanni sebagai asal dalam ushul fikih, niscaya boleh menjadikan dalil zhanni itu sebagai asal dalam ushuluddin. Tentu tidak demikian berdasarkan kesepakatan.”

Beliau berpendapat bahwa dalil ushul fikih harus qath’i, sama seperti dalil ushuluddin, yang menurut kesepakatan harus qath’i. Ushuluddin adalah akidah itu sendiri. Jadi akidah adalah ushuluddin.

Ketiga: Meski demikian, ada perkara yang wajib ditegaskan, yaitu bahwa tidak adanya i’tiqaad terhadap dalil zhanni bukan berarti penolakan terhadap apa yang ada di dalam hadis-hadis ahad dan tidak membenarkan apa yang ada di dalamnya. Maknanya adalah tidak mengambil hadis-hadis ahad itu sebagai dalil akidah yang menjadikan seorang Muslim bisa mengkafirkan saudaranya sesama Muslim lainnya (yang berbeda pendapat dengan dirinya).

Dinyatakan di dalam Al-Kurâsah halaman 12 file word sebagai berikut:

Pengharaman i’tiqaad terhadap dalil zhann bukan berarti menolak apa yang ada di dalam hadis-hadis ahad ini dan tidak membenarkan apa yang ada di dalamnya. Akan tetapi, maknanya adalah hanya tidak memastikan (‘adamu al-jazmi) apa apa saja yang dinyatakan di dalam hadis-hadis tersebut. Hadis-hadis ahad tetap diterima dan dibenarkan. Apa yang dinyatakan di dalamnya juga dibenarkan, tetapi dengan pembenaran yang tidak tegas (tashdîq ghayru jâzim). Jadi yang haram adalah i’tiqaad terhadap yang zhanni dengan pembenaran yang tegas. Namun, apa saja yang dinyatakan di dalamnya yang merupakan tuntutan untuk diamalkan maka harus diamalkan. Rasulullah saw., misalnya, bersabda:

إِذَا فَرَغ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الأَخِيرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بالله مِنْ أَرْبَع، مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Jika salah seorang dari kalian selesai dari tasyahud akhir maka hendaklah dia berlindung kepada Allah dari empat perkara: dari azab Jahanam, dari azab kubur, dari fitnah yang hidup dan yang mati dan dari fitnah Dajjal (HR Ibnu Majah).

 

Nabi saw. juga berdoa di dalam shalat:

اللَّهُمَّ إِنِيّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوذ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ، اللَّهُمَّ إِنِيّ أَعُوذ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Dajjal dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah selama hidup dan fitnah kematian. Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang (HR al-Bukhari).

 

Kedua hadis ini merupakan khabar ahad dan di dalamnya ada tuntutan untuk melakukan amal (thalab fi’lin), yakni tuntutan melakukan doa ini setelah selesai dari tasyahud. Jadi disunnahkan berdoa dengan doa ini setelah selesai dari tasyahud. Lalu apa yang ada di dalamnya (misal: tetang azab kubur dan Dajjal, red.). dibenarkan, tetapi tidak menjadi akidah selama hal itu dinyatakan dalam hadis ahad atau dalil zhanni. Namun, jika ia dinyatakan dalam hadis mutawatir maka ia wajib diyakini. Demikian penjelasan dalam Al-Kurâsah.

Keempat: Sekarang kita sampai pada hadis Jibril as. yang ditanyakan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah, oleh Imam Muslim dan yang lainnya dari Abu Hurairah dan dari Umar bin al-Khaththab. Di dalamnya Jibril bertanya kepada Rasulullah saw. tentang rukun Islam dan rukun Iman. Ini adalah hadis shahih yang tidak boleh ditolak. Hadis ini pun tidak bertentangan dengan nas yang qath’i. Namun, hadis ini saja tidak cukup dijadikan dalil dalam perkara akidah, Namun demikian, sejumlah perkara akidah yang dinyatakan di dalamnya telah dinyatakan di dalam dalil-dalil lainnya yang bersifat qath’i. Rukun Iman telah dinyatakan oleh ayat-ayat al-Quran al-Karim. Demikian juga Rukun Islam. Jadi sejumlah perkara yang dinyatakan di dalam hadis tersebut merupakan perkara yang dipastikan dengan dalil-dalil yang qath’i lainnya selain hadis ini. Jadi ia diambil dalam akidah karena dalil-dalil qath’i-nya itu (Lihat, misalnya: QS an-Nisa‘ [4]: 136).

Demikian juga iman pada al-qadar (takdir) dengan makna ilmu Allah dan tulisan di Lawh al-Mahfuuzh (Lihat, misalnya: QS al-Ahzab [33]: 38; QS ath-Thalaq [65]: 3; QS al-An’am [6]: 38; QS al-Isra’ [17]: 58).

Demikian juga Rukun Islam. Hal itu pun ada dalam Kitabullah (Lihat, misalnya: QS Muhammad [47]: 19; QS al-Baqarah [2]: 183; QS al-Baqarah [2]: 43; QS Ali Imran [3]: 97).

Alhasil, hadis ahad tidak boleh ditolak, tetapi dipahami menurut arahnya secara benar sebagaimana yang dijelaskan di atas.

[Disarikan dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah pada 11 Jumadal Ula 1444 H-05 Desember 2022 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/85781.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/693836162303756

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − seven =

Back to top button