Hiwar

KH Shiddiq al-Jawi: Dunia Islam Harus Bersatu di Bawah Naungan Khilafah

Pengantar:

Gaza makin membara. Duka mereka makin menganga. Genosida atas bangsa Palestina masih terus dilakukan oleh Yahudi secara membabi-buta. Namun, dunia tetap diam seribu bahasa. Tak ada yang sudi membela. Termasuk negara-negara Arab dan sekitarnya. Mereka seolah tak berdaya.

Kapan derita Palestina akan berakhir? Mengapa semua ini terjadi? Apa akar penyebabnya? Mengapa Dunia arab dan Muslim seolah tak berdaya. Sebaliknya, mengapa Israel seolah begitu digdaya? Bagaimana solusi atas semua persoalan yang mendera umat ini, khususnya di Palestina.

Itulah di antara beberapa pertanyaan yang diajukan kepada KH Shiddiq al-Jawi dari (Institut Muamalah Indonesia) dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut wawancara lengkapnya.

 

Kyai, sebagaimana diketahui, derita pen­du­duk Gaza semakin berat. Kelaparan begi­tu mendera mereka. Bantuan makanan sudah banyak, namun tidak bisa masuk karena dicegah oleh Israel. Akhirnya, banyak yang membusuk. Bagaimana menurut Kyai?

Kondisi ini lebih tepat disebut “pelaparan” (tawjî’). Ada unsur kesengajaan atau by design. Bukan “kelaparan” (al-majâ’ah) yang terjadi secara alami, misalnya kelaparan karena gagal panen atau bencana alam. Ini kondisi yang sangat buruk dan menyayat hati. Ini jelas bertentangan dengan norma-norma ajaran Islam. Tidak dapat diterima sama sekali oleh nilai-nilai kemanusiaan (qîmah insâniyyah) yang universal. Karena itulah, simpati dan dukungan kepada penduduk Gaza tidak hanya datang dari umat Islam, tetapi juga datang dari berbagai komunitas non-Muslim lokal dan internasional. Mereka merasakan kepedihan yang sangat mendalam karena terusik rasa kemanusiaannya.

 

Di sisi lain Mesir menjaga ketat pintu Rafah. Banyak relawan yang tidak bisa masuk. Mengapa Mesir bisa bersikap seperti itu?

Mesir mempunyai setidaknya tiga alasan. Pertama: Mesir khawatir relawan atau konvoi bantuan akan dibombardir oleh pesawat Israel. Kedua: Mesir khawatir kalau membuka penyeberangan Rafah, Hamas dan simpatisannya akan menginfiltrasi Mesir. Ketiga: Mesir menghindari eksodus massal warga Palestina dari Gaza masuk ke Mesir. Tiga alasan ini sebenarnya hanya dalih saja. Alasan sesungguhnya ada dua. Pertama, karena Mesir telah mengikuti garis politik AS untuk mendominasi Timur Tengah. Ini sebagai imbal balik yang diberikan Mesir. Pasalnya, AS selama ini telah melindungi rezim-rezim diktator di Timur Tengah, termasuk Mesir. Kedua, karena rezim Mesir telah kehilangan karakter aslinya sebagai orang Arab dan penguasa Muslim, yaitu karakter “bertanggung jawab kepada orang lain” (al-mas‘ûliyât ‘an al-ghayr) dan “karakter militeristik (siap berperang)” (al-thabî’at al-’askariyah). Demikian sebagaimana pernah dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Mafâhîm Siyâsiyyah (hlm. 64).

 

Mengapa negeri-negeri Muslim begitu lemah terhadap Israel? Tidak bisa memaksa Israel hatta memaksa Israel agar bantuan makan bisa masuk ke Palestina?

Ada dua sebab utama. Pertama, karena negeri-negeri Muslim tidak mempunyai kekuatan politik yang cukup untuk memaksa Israel agar bantuan bisa masuk ke Palestina. Kekuatan politik yang lemah ini disebabkan perpecahan negeri-negeri Islam akibat konsep nation-state dari Barat yang otomatis melemahkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Kedua, karena pemimpin negeri-negeri Islam tahu bahwa di balik Israel ada negara besar yang menjadi pelindungnya, yaitu Amerika Serikat. Para pemimpin negeri Islam itu adalah agen-agen Amerika Serikat itu juga. Ini tentu membuat para pemimpin Muslim itu segan dan ewuh-pakewuh untuk memaksa Israel agar bantuan makanan bisa masuk ke Palestina.

 

Mengapa Israel kelihatan kuat?

Israel terlihat kuat sebenarnya bukan karena kekuatan diri sendiri, melainkan karena ada unsur eksternal di luar dirinya, yaitu Amerika Serikat. Israel telah mendapat dukungan politik, dana dan militer yang sangat besar dari Amerika Serikat. Dukungan politik, misalnya pada 4 Juni 2025 lalu, Amerika Serikat memveto draft resolusi Dewan Keamanan PBB, yang menyerukan gencatan senjata dan akses kemanusiaan tanpa batas di Gaza. Bantuan dana dan senjata Amerika Serikat kepada Israel selama ini juga terbukti sangatlah besar. Lembaga think-tank bernama Council on Foreign Relations menyatakan Israel telah menerima lebih dari 300 miliar dollar AS dalam bentuk bantuan militer dan ekonomi sejak Israel berdiri tahun 1948. Menurut laporan tahun 2023 dari Congressional Research Service (CRS), Israel adalah penerima kumulatif terbesar bantuan luar negeri AS sejak Perang Dunia II.

 

Di sisi lain, negeri-negeri Islam di Timur Tengah begitu menyambut gembira lawatan Donald Trump ke negeri mereka. Trump bahkan dapat investasi besar. Ini menunjukkan apa, Kyai?

Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin Timur Tengah tidak menjalankan politik sesuai syariah (siyasah syar’iyyah), melainkan semata-mata berdasarkan kalkulasi untung-rugi sesuai dengan prinsip pragmatisme. Para pemimpin Arab itu menyambut kunjungan Donald Trump kemungkinan karena Trump memiliki kebijakan yang lebih menguntungkan kepentingan Arab. Misalnya dukungan terhadap program nuklir Iran dan penggulingan terhadap rezim Assad di Suriah, yang sejalan dengan prioritas beberapa negara Arab. Lawatan Trump ini juga dapat menguntungkan secara ekonomi, khususnya dalam komoditi mineral dan semikonduktor, yang dapat memperkuat hubungan dagang dan ekonomi antara negara-negara Arab dan Amerika Serikat. Padahal seharusnya mereka melihat Trump dari perspektif syariah, yaitu melihat AS sebagai pemimpin negara kafir penjajah, yang selalu berusaha mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam. Mereka juga seharus­nya melihat Trump sebagai pendukung Israel yang melakukan genosida yang sangat kejam kepada Muslim Palestina.

 

Tampak jelas rakyat negeri-negeri Timur Tengah begitu membela dan mensupport saudaranya di Gaza. Namun, rezimnya

justru bertolak belakang. Fenomena apakah ini?

Sikap pemimpin tidak selalu simetris dan tercermin dalam sikap rakyatnya. Para pemimpin Timur Tengah diam terhadap kaum Muslim Gaza. Tidak demikian halnya dengan sikap rakyatnya yang Muslim. Mereka tidak rela diam. Mereka justru ingin memberikan bantuan untuk mengatasi pelaparan yang dahsyat di Gaza. Hal ini menurut saya menunjukkan bahwa rakyat yang Muslim itu masih relatif murni pemahaman Islamnya. Sebaliknya, para pemimpinnya telah banyak yang teracuni oleh paham-paham Barat dalam berpolitik, seperti ide sekularisme, demokrasi, kapitalisme, nasionalisme, pragmatisme, dsb. Inilah faktor yang menjadikan langkah-langkah politik para pemimpin itu sangat sering bertentangan dengan rakyatnya yang masih berpegang dengan Islam. Namun, pada saat yang sama, sikap mereka itu bersesuaian dengan politik luar negeri yang dijalankan oleh negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat.

 

Apa hukumnya penguasa yang diam saat melihat kondisi di Gaza?

Haram penguasa Muslim diam melihat kondisi Gaza saat ini. Sebaliknya, wajib hukumnya mereka membela kaum Muslim di Gaza yang dizalimi, dan memberi bantuan kepada mereka. Dalilnya adalah hadits dari Barra‘ bin ‘Azib ra. bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan kita tujuh perkara dan melarang kita dari tujuh perkara. Tujuh perkara yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. adalah: menjenguk orang sakit, mengantarkan jenazah (ke pemakaman), mendoakan orang bersin, memenuhi undangan (walimah), menyebarkan salam, menolong orang yang dizalimi (nashrul mazhlûm) dan memenuhi sumpah.” (HR al-Bukhari, no. 5635). Dalam hadis lain, Rasulullah saw. mengharamkan sikap diam tidak mau menolong Muslim yang dizalimi. Sabda beliau, ”Siapa saja yang di sisinya ada seorang Mukmin yang dihinakan, tetapi tidak mau menolong Muslim tersebut, padahal dia mampu menolong dirinya, maka Allah akan menghinakan dia di hadapan seluruh makhluk pada Hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad).

 

Benarkah dalih yang menyatakan, kita tidak sanggup melawan Israel karena di belakangnya ada Amerika?

Ada benarnya, tetapi tidak mutlak benar. Memang secara empiris seolah kita tidak sanggup melawan Amerika Serikat. Namun, kita harus selalu ingat firman Allah SWT (yang artinya): Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah (TQS al-Baqarah [2]: 249). Maka dari itu, kita, umat Islam, wajib Bersatu. Menjadi satu kekuatan. Jangan terpecah-belah atas dasar negara bangsa (nation-state). Dengan begitu agar umat Islam di seluruh dunia mampu melawan Israel dan negara pendukung di baliknya, yaitu Amerika Serikat.

 

Bagaimana dengan alasan normalisasi/perdamaian, karena perang kita pasti kalah. Benarkah?

Normalisasi hubungan antara negeri Muslim dengan Israel hukumnya haram, karena Israel adalah Dawlah Muhâribah Fi’l[an], atau kafir harbi yang secara de facto telah dan sedang memerangi umat Islam, khususnya umat Islam di Palestina. Terkait dengan hukum jihad, far­dhu ‘ain atas penduduk Muslim Palestina, untuk berperang melawan Israel. Bagi penduduk Muslim di sekitar atau di luar Palestina, seperti penduduk Mesir, Yordania, Libanon, Suriah, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab, Qatar, dan sebagainya. Hukumnya fardhu kifayah untuk melawan Israel. Jadi, inilah dasar keharaman normalisasi hubungan dengan Israel, lha wong yang diperintahkan Allah itu adalah berperang melawan Israel, kok malah melakukan perdamaian atau normalisasi hubungan dengan Israel.

Lalu bagaimana dengan pertimbangan ”kalau melawan Israel pasti kalah”? Begini. Ada penjelasan pertimbangan kekuatan dalam jihad dalam kitab Nazhârât Siyâsiyyah (hlm. 96), karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani. Jadi kalau jihad itu hukumnya fardhu ‘ain, misalnya bagi penduduk Palestina, maka wajib berperang, dengan kekuatan berapa pun yang kita miliki, tidak peduli menang atau kalah. Namun, kalau jihad itu hukumnya fardhu kifayah, maka kekuatan kita (umat Islam) minimal adalah setengah dari kekuatan musuh kafir. Misalkan musuh mempunyai 2000 orang tentara, maka umat Islam minimal mempunyai kekuatan setengahnya, yaitu 1000 orang. Hal ini berdalil firman Allah SWT bahwa satu orang beriman, akan dapat mengalahkan dua orang yang beriman (QS al-Anfal [8]: 66).

 

Bagaimana dengan alasan fiqh waqi’ atau mencegah bahaya yang lebih besar kalau kita melawan Israel yang kuat?

Alasan tersebut tidak dapat diterima. Ada asumsi yang salah, yaitu asumsi bahwa yang melawan Israel hanya satu negeri saja, misalnya Mesir saja, Yordania saja, dsb, bukan seluruh umat Islam di seluruh dunia dalam satu kesatuan. Jika asumsi salah ini yang digunakan, maka kesimpulannya juga salah, yaitu yang melawan pasti kalah. Namun, kalau asumsinya kita ubah, yaitu yang melawan Israel itu bukan hanya satu negeri saja, melainkan umat Islam di seluruh dunia dalam satu kesatuan, maka mengalahkan Israel bukanlah sesuatu yang mustahil.

 

Jika negeri-negeri Timur Tengah tidak bisa diharapkan, lantas model Negara Islam seperti apa yang bisa diharapkan bisa menyelesaikan semua permasalahan di Timur Tengah, bahkan dunia?

Jelas, yang bisa diharapkan adalah negara yang akan menyatukan seluruh umat Islam di seluruh negeri-negeri Islam di dunia menjadi satu kesatuan politik, yaitu Negara Khilafah. Tidak mungkin kita berharap pada negara-negara Arab yang ada sekarang di Timur Tengah, yang lemah karena kekuatannya hanya bersifat parsial umat, bukan seluruh umat. Selain itu, para pemimpin negara-negara Arab itu adalah agen-agen Amerika Serikat, yang menjadi pelindung Israel. Bagaimana mungkin para budak akan berperang melawan musuh yang dilindungi oleh majikannya sendiri?

 

Apa yang harus dilakukan agar membangun Timur Tengah yang berpihak pada Islam?

Timur Tengah harus dibangun atas dasar Islam melalui dua hal strategis: Pertama, melepaskan posisi para pemimpinnya dari agen-agen politik negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Kedua, membangun kekuatan politiknya sendiri bagi umat Islam di seluruh dunia, dalam Negara Khilafah.

 

Dengan cara apa Khilafah bisa menyelesaikan permasalahan Timur Tengah dan Dunia?

Dengan menjalankan politik luar negerinya, yaitu nasyrul-Islam atau mengemban dakwah Islam sebagai risalah universal ke seluruh dunia, dengan metode atau tharîqah-nya, yaitu jihad fî sabilillah. Hal ini didahului dengan dakwah pada negara-negara yang akan diperangi sebagai sasaran jihad. Tujuannya untuk menghilangkan hambatan-hambatan fisik yang menghalangi sampainya risalah Islam kepada masyarakat mereka. Jihad fî sabilillah yang dilancarkan oleh Khilafah inilah yang kita harapkan akan dapat melawan Israel, bahkan dapat melawan negara kafir penjajah Amerika Serikat yang melindungi Israel.

 

Kontribusi apa yang harus dilakukan oleh Umat Islam agar Khilafah bisa segera tegak?

Kontribusi umat Islam adalah ikut serta berjuang menegakkan Khilafah itu. Caranya adalah bergabung dengan jamaah dakwah yang ikhlas yang telah dan sedang berjuang menegakkan Khilafah di negeri-negeri Islam di seluruh dunia, agar kita dapat menerapkan Islam secara kâffah (keseluruhan).

WalLâhu a’lam. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 − 5 =

Back to top button